Langit di kota Cambridge hari ini tampak begitu cerah. Gumpalan awan membentuk gradasi indah, dengan setiap lekukan tak beraturan yang meninggalkan sensasi takjub di mata penikmatnya. Sayangnya, Faye sedang tidak dalam kondisi yang bagus untuk mengagumi mahakarya sang angkasa tersebut. Sebab, di liburan kali ini ia harus menelan rasa kecewa karena tak mendapat tiket untuk terbang ke Indonesia. Seluruh penerbangan menuju tanah air selama sebulan ke depan sudah fully booked.
Mengingat jatah libur yang tidak panjang, pada akhirnya, mau tak mau Faye pun harus menghabiskan masa tenangnya di sini.
Kini, sudah genap lima hari sejak libur musim dingin dimulai. Di kota yang sudah tak lagi asing baginya, Faye terdiam. Ia bingung harus melakukan apa untuk mengisi waktu. Di asrama, tinggal dia dan dua orang berbeda jurusan yang masih bertahan. Sisanya, memilih pulang dan menikmati liburan bersama keluarga masing-masing.
"Sekarang jadi nyesel, deh, enggak nerima tawaran Mas Ray waktu itu," cicit Faye galau. Tangannya sibuk mencoret buku agenda tanpa tujuan. Sementara ingatannya, melayang pada momen beberapa waktu lalu saat Ray menawarkan diri untuk memesankan tiket pesawat agar mereka bisa melakukan perjalanan udara bersama.
"Salah Mas Ray, sih! Ngapain coba waktu itu terang-terangan bilang cemburu sama Mas Ringga, kan? Fay jadi malu dan enggak betah dekat-dekat terlalu lama sama Mas Ray, kan!"
Ya, benar. Faye menolak penawaran Albany Ray Antasena waktu itu karena ia merasa tak nyaman berdekatan dengan si pemuda manis tersebut, pasca insiden pernyataan cemburu.
Bukannya apa-apa. Hanya saja, Faye sendiri sedang dalam posisi bingung dan tak mengerti apa yang sedang terjadi dengan hatinya. Di satu sisi, ia senang bisa berkomunikasi secara intens dengan teman seperantauannya itu, namun di sisi lain, ia jadi sering mengalami gelisah tanpa sebab bahkan hanya karena teringat nama Ray saja.
Lalu, ketika pemuda yang mampu membolak-balikkan hati Faye dalam sekejap itu sempat mendeklarasikan kata cemburu serta mengajaknya untuk melakukan perjalanan bersama menuju negeri tercinta kemudian, salahkah Faye jika ia menolak karena merasa makin tak ingin mendapat serangan panik yang lebih dari biasanya?
"Enggak, enggak. Kamu enggak salah, Fay. Kamu udah bener. Mas Ray aja yang kampret!"
Suara kalem Faye itu terasa menggema saking sepinya asrama. Tetapi, sedikit banyak ia bersyukur. Berkat situasi yang sepi ini, kapan pun Faye ingin mereog tampaknya tak masalah. Sebab tak ada orang yang akan menertawakan aksi gilanya.
"Jadi, sebulan ini kita mau ngapain, Fay?" tanya Faye pada dirinya sendiri. Beberapa kali ujung bolpoin diketuk-ketukkan di keningnya. Efek dari gagal mudik membuat otaknya macet seketika.
"Rebahan doang? Bosan lah, pasti. Mau ke perpus juga... rasanya aneh. Bukan masa belajar juga."
Setelah beberapa saat menimbang, ia pun menyerah. Memilih untuk meletakkan bolpoin dan menutup buku agenda yang sedikit pun tak terisi hal penting. Di malam yang bersuhu tak lebih dari tujuh derajat celsius ini, bukankah lebih baik jika Faye bergelung di bawah selimut bulunya yang super hangat? Soal apa yang akan dikerjakannya selama masa kegiatan perkuliahan off, biar ia pikir besok saja.
Namun, baru lima menit Faye nyaris terlelap, Tiba-tiba ia dikejutkan dengan ketukan di pintu yang terdengar cukup keras. "Siapa yang ngetuk pintu kamar Faye jam segini?" gerutunya pelan.
Meski ia sudah beranjak, namun Faye belum bergerak menuju pintu. Ada perasaan ragu bercampur takut yang berkecamuk dalam dirinya. Menjadi satu-satunya penghuni lantai dua seperti sekarang saja sudah membuatnya mati-matian menahan rasa takut, apalagi sekarang pintunya tengah diketuk berkali-kali dmegan suara yang terdengar sangat nyaring? Tidak masalah jika itu perbuatan usil hantu, Faye bisa melafalkan ayat-ayat suci Al-Quran untuk membentengi diri. Tetapi jika itu bukan makhluk halus, melainkan manusia yang tidak bertanggung jawab, bagaimana? Faye tidak memiliki skill bela diri sama sekali!
Dengan tangan sedikit gemetar, Faye berusaha mencari nomor keamanan untuk meminta bantuan. Tapi, sebelum jempolnya berhasil menekan tombol hijau di samping nomor tujuan, sebuah suara yang tidak begitu asing pun mulai terdengar.
"Lafayetta? Are you there?" kata suara itu dengan lantang. Sedikit banyak, ada perasaan lega dalam hati Faye. Tetapi ia tetap tidak boleh lengah. Meski sosok tersebut mengetahui namanya, bukan berarti dia bukan orang yang lolos dari kecurigaan bukan?
"Ini aku, Margareth. Penghuni kamar pojok di lantai tiga."
Sambungan kalimat itu kian membuat Faye menemukan kata lega yang sesungguhnya. Ia tahu siapa Margareth. Maka dari itu, dengan segera ia beranjak menuju pintu dan menyambut teman seasramanya yang juga tidak pulang ke rumah.
"Maaf, membuatmu menunggu lama, Margareth. Tadi aku sedang tidur. Aku perlu waktu sebentar untuk membangunkan diriku dari dunia mimpi," ujar Faye kemudian. Ia bersungguh-sungguh saat meminta maaf, meski sedikit dibumbui alasan klasik di dalamnya.
"Tidak apa. Sudah kuduga kau pasti sedang tidur. Cuaca sedang dingin, bukankah tidur adalah hal yang paling menyenangkan untuk dilakukan?"
Keduanya pun tertawa. Sama-sama menyetujui gagasan pokok yang Margareth cetuskan barusan.
"Omong-omong, ada apa kau mencariku, Margareth? Apa ada sesuatu yang bisa kubantu?" Faye langsung menodongkan pertanyaan, sesaat setelah tawa mereka mereda. Gadis bermata hijau yang tengah berdiri menjulang di hadapan Faye itu pun lantas menepuk kening. Seolah teringat pada hal yang membuatnya mengetuk pintu kamar Faye malam-malam, yang sempat terlupakan sejenak.
"Ah iya, Lafayetta. Ada sesuatu untukmu."
"Apa itu?"
Margareth menyodorkan dua buah kotak berbeda ukuran. Yang satu berukuran kecil normal, sementara satunya lagi berukuran besar setinggi dada Faye. Kotak yang sama-sama berwana cokelat dengan hiasan pita di beberapa sisi itu, spontan membuat kening Faye berkerut.
"Aku baru saja tiba di gerbang depan, saat seorang staf memberiku ini. Katanya, ada kiriman untukmu. Berhubung aku mengatakan bahwa aku menuju kemari, staf tersebut menitipkannya padaku. So, here is it."
Penjelasan panjang dari bibir Margareth masih menyisakan tanya tak terucap di pihak Faye. Ia bingung, kiriman dari siapa ini? Seingatnya, ia tidak memesan barang secara daring belakangan ini.
"Ah, okay. Thank you so much, Margareth. Maafsudah merepotkanmu."
Setelah berbasa-basi sebentar, Margareth pun undur diri. Sementara Faye, kini sepenuhnya kehilangan rasa kantuk dan duduk termenung menatapi dia kotak misterius yang ditujukan untuknya.
Tak lama, muncul sebuah ide brilian dalam kepala Faye. Ia lantas meraih ponsel, membuka fitur kamera dan menggantinya ke mode video, lalu menempatkan gawainya tersebut di posisi yang pas di mana seluruh bagian tubuh Faye dan kotak-kotak itu terekam sempurna di layar. Ya, ini sebuah alternatif untuk berjaga-jaga, jika misalkan isi dari dua wadah tersebut membahayakan dirinya. Paling tidak, harus ada bukti.
Ketika jemari-jemari terampil Faye berhasil menguak seluruh isi dari dua bingkisan tersebut, Faye pun membuang napas kasar. Ia nyaris tidak percaya, dengan apa yang sedang dilihatnya kini.
"Dua boneka beruang berbeda ukuran, dan dari dua orang yang berbeda? Sebercanda ini, ya, semesta sama Faye?"
- To be continued.
Malang, 14 April 2023
15.58 WIB
All Rights Reserved
Pialoey 💙
KAMU SEDANG MEMBACA
MADELEINES
RomanceMenjadi anak perempuan terakhir dari seorang pemuka agama yang memiliki pesantren dengan reputasi terbaik di seluruh penjuru negeri tidaklah mudah. Faye, harus menghadapi berbagai aturan dan tradisi yang kadang-kadang membuatnya sulit untuk bergerak...