"Anggap aja ini salam perkenalan dari aku, Fay. Kamu udah traktir aku kopi plus makan siang, dan sekarang aku bagi kamu sekotak kue manis favoritku. Adil, kan?"
Sungguh. Faye tidak pernah menyangka jika ia akan terus teringat dengan jawaban lugas dari Ray di ujung pertemuan mereka berminggu-minggu lalu. Bahkan kue bernama madeleines yang ia tahu berasal dari Prancis itu saja sudah habis di hari ke dua pasca pemberian.
Kini, sudah nyaris dua bulan mereka belum bertemu kembali-padahal menimba ilmu di college yang sama. Tetapi bodohnya, Faye tidak sekalipun terpikirkan untuk bertukar kontak dengan Ray saat itu. Akibatnya? Faye dilanda perasaan tak sabar ingin bertemu dan mendengar kabar pria itu lagi!
"Fay, ingat. Kamu ini anak Kiai. Jangan genit," peringat Faye pada dirinya sendiri. Ujung bolpoinnya tengah digerak-gerakkan tak tentu arah, di atas sebuah halaman kertas putih di dalam binder. Seperti sedang berusaha mengendalikan sesuatu dalam diri yang sulit untuk dikontrol. "Kalaupun kamu punya kontaknya Mas Ray, emangnya kenapa? Mau spam chat tiap hari dan ngelalaiin tugas-tugas sampai dapat nilai jelek?" gerutunya lagi.
Faye tidak tahu jika rasa penasaran dan haus komunikasi seperti ini akan terjadi padanya. Biasanya, sedekat apa pun ia dengan teman-teman sekolah, tak pernah sekali pun menemui fase menggemaskan begini. Ditambah lagi, ajaran ilmu agamanya sangat kuat. Faye tak pernah tumbang dan melanggar batasan yang sudah agamanya terapkan untuk hubungan antara perempuan dan laki-laki yang tak memiliki ikatan sakral semacam kekeluargaan.
Lalu, kenapa sekarang ia malah belingsatan sendiri? Belum tentu di sana Ray juga terpikir ingin bertukar kabar dengannya, kan?
Larut dalam pikiran yang terlanjur kusut, membuat Faye berjingkat singkat saat sebuah nada notifikasi meluncur di gawai pintarnya. Sebuah pesan dari Danielle, kawan baru yang juga satu almamater dan asrama dengan Faye. Bertanya apakah ia sudah makan malam atau belum.
Lafayetta YS.
Okay, see you there, Dan.
I'm on my way now.Setelah membalas pesan tersebut, Faye bergegas membereskan peralatan tulis dan laptopnya. Kemudian ia bergerak meninggalkan area perpustakaan menuju Seat&Eat-restoran yang menjadi titik temunya dengan Danielle. Dua gadis berbeda ras itu sepakat untuk makan malam di sana hari ini.
Begitu Faye tiba di lokasi, ia segera memasuki restoran yang tidak terlalu luas namun beraura homey tersebut. Langkahnya memelan seiring dua kakinya menapaki anak tangga yang akan mengantarkannya ke meja pesanan di lantai dua. Sejenak, Faye memindai. Mencari keberadaan teman bulenya berada. Kebetulan, malam ini Seat&Eat ramai pengunjung.
"Here, Laf!"
Sebuah teriakan dari arah teras membuat Faye memusatkan perhatian ke sana. Semakin dekat jaraknya dengan meja di mana Danielle berada, semakin jelas pula bahwa di meja tersebut, Danielle tidak sendirian. Ada dua orang laki-laki yang menduduki kursi di sebelahnya.
Siapa?
"Akhirnya kamu datang juga, Laf!" ujar Danielle dengan senyum penuh keceriaan. Gadis berdarah Inggris-Australia itu lantas mempersilahkan Faye duduk di sisi kirinya. Lalu, Danielle, dengan cepat mulai memperkenalkan Faye pada dua sosok lelaki yang tengah sibuk berjibaku di depan laptop, seolah kehadirannya tidak memengaruhi fokus mereka sama sekali.
"Boys, listen up! This is Laf, my dearest mate that I've been told you."
Laf sendiri merupakan nama kesayangan yang Danielle beri untuk Faye, yang bisa berarti dua hal; singkatan dari nama depannya yaitu Lafayetta, dan pelesetan dari kata love. Sedekat itu Danielle mengartikan kehadiran Faye dalam hidupnya, walaupun mereka baru kenal beberapa bulan.
KAMU SEDANG MEMBACA
MADELEINES
RomanceMenjadi anak perempuan terakhir dari seorang pemuka agama yang memiliki pesantren dengan reputasi terbaik di seluruh penjuru negeri tidaklah mudah. Faye, harus menghadapi berbagai aturan dan tradisi yang kadang-kadang membuatnya sulit untuk bergerak...