Terlahir di dalam lingkungan keluarga yang sangat menjunjung tinggi nilai-nilai agama, serta terikat status sosial sebagai putri dari salah satu pemuka agama terbaik di kota, tidak lantas membuat Lafayetta menjadi besar kepala dan menjauhkan diri dari dunia luar. Ia tetap tumbuh seperti remaja seusianya, bersosialisasi layaknya masyarakat pada umumnya, dan memiliki mimpi yang juga ingin diperjuangkan seperti pemuda-pemudi lainnya. Benar-benar seperti manusia yang tak terbatas oleh status sosial.
Namun, satu-satunya hal yang menjadi pembeda antara Faye dan anak-anak kiai lainnya di sini ialah terletak pada cita-cita. Jika umumnya seorang gus atau ning ingin mengikuti jejak orang tua; entah sebagai ustaz, ustaza, dan lain sebagainya, maka berbeda halnya dengan Faye yang justru tidak ingin berkecimpung di dunia keagamaan ketika ia sudah dewasa nanti.
Sejak kecil, Faye sangat suka membaca buku, terutama tentang sejarah. Banyak buku yang sudah dilahap habis olehnya. Pun demikian dengan ribuan pengetahuan mengenai masa lalu yang sudah berhasil merebut hatinya. Baik itu sejarah dunia, maupun sejarah Islam. Dari situ, Faye sempat bercita-cita ingin menjadi seorang arkeolog. Ia ingin mendekati seluruh jejak sejarah di dunia, lalu menyerbarluaskannya pada masyarakat. Untuk apa? Tentunya agar kenangan-kenangan berharga yang pernah terpatri di atas bentala tersebut tidak mudah direnggut oleh masa.
Dan salah satu upaya Faye untuk bisa meraih mimpinya sejak dulu adalah dengan keluar dari aturan yang biasa mengikat putra-putri kiai atau semacamnya, yaitu; mengenyam pendidikan di sekolah swasta berbasis agama Islam atau bahkan mengabdi di pondok pesantren.
Tidak, bukannya Faye meremehkan instansi-instansi pendidikan swasta semacam itu. Hanya saja Faye paham, jika ia bersekolah di sana, maka ruang geraknya nanti akan sangat dibatasi. Faye tidak mau jalannya menuju mimpi harus menemui terlalu banyak hambatan. Apalagi, jika belajar tentang sejarah, akan terasa lebih menyenangkan jika bisa bepergian langsung ke tempat-tempat yang dijejaki oleh masa lalu, bukan?
Lalu, apakah keputusan Faye tersebut mendapat persetujuan dari pihak keluarga? Tentu saja tidak. Ada ummi dan dua kakaknya yang menentang. Menurut mereka, sudah sepantasnya bagi seorang ning seperti Faye untuk mengenyam pendidikan di sekolah berbasis Islam supaya bisa menguatkan kadar keimanan di tengah gempuran zaman yang semakin ngawur. Apalagi, abi juga merupakan kiai tersohor dan memiliki pesantren yang diminati banyak orang. Malu, jika putri bungsu Kiai Arifin Mahfud terpantau berbeda dari dua kakak laki-lakinya.
Dan... tentang menjadi arkeolog?
Tentu mimpi besar milik Faye ini ditertawakan. Menurut ummi, Adamar, dan Fardan, perempuan seperti Faye tidak perlu repot-repot menjelajahi dunia untuk mengulik sejarah yang sudah berlalu. Faye hanya cukup menjadi perempuan yang rajin, cerdas, kuat, dan patuh saja, agar suatu hari nanti bisa menjadi istri serta ibu yang sempurna bagi keluarga kecilnya.
Faye yang dulu merasa sangat terintimidasi hanya bisa menangis. Tidak berdaya melawan ibu serta dua kakak yang notabene lebih tua darinya. Faye tidak berani melawan, karena sejatinya ia tak pernah diajari untuk tumbuh menjadi anak yang kurang ajar.
Beruntung, abi menjadi satu-satunya pelita bagi Faye kecil kala itu. Dengan tegas beliau memperbolehkan Faye untuk bersekolah di sekolah umum, dengan catatan Faye tidak boleh menjadi arkeolog. Meski persyaratan tersebut terasa memberatkan, namun gadis berkulit seputih santan itu menerima. Yang penting ia tidak harus berjalan di atas stereotipe anak-anak kiai. Itu saja.
Hingga kini, Faye berhasil membuktikan pada ummi serta dua kakaknya bahwa tidak ada yang salah bagi seorang ning untuk bersekolah di sekolah umum. Nyatanya, Faye justru menjadi siswa berprestasi di salah satu SMA negeri di Semarang, dengan nilai-nilai akademiknya yang nyaris menyentuh angka sempurna di semua kategori. Jelas hal ini sedikit demi sedikit mengikis keraguan mereka, meski belum juga sepenuhnya bisa menerima keinginan si putri bungsu untuk bisa bergerak sebebas kupu-kupu.
KAMU SEDANG MEMBACA
MADELEINES
RomanceMenjadi anak perempuan terakhir dari seorang pemuka agama yang memiliki pesantren dengan reputasi terbaik di seluruh penjuru negeri tidaklah mudah. Faye, harus menghadapi berbagai aturan dan tradisi yang kadang-kadang membuatnya sulit untuk bergerak...