9. The Truth

10 4 0
                                    

Sempat mengalami drama serta kepanikan akibat kehilangan jejak Ray yang sudah tidak lagi berada di toko buku, kini Faye mulai bernapas lega. Ia tidak tahu bagaimana kinerja semesta, yang jelas saat ini ia sangat bersyukur. Sebab tanpa diduga, ia berpapasan dengan Ray di taman penuh rumput hijau di sekitaran Tower Bridge. Seperti biasa, di leher pemuda itu tengah tergantung sebuah kamera yang sering dibawa untuk hunting foto.

 Seperti biasa, di leher pemuda itu tengah tergantung sebuah kamera yang sering dibawa untuk hunting foto

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Faye?"

Mata Faye memanas tanpa diminta. Genangan air kini melesak, memenuhi area mata dan siap meluncur jika sang empu menghendaki.

"Kamu kenapa di sini—hei!" Ray diserang panik. Dia terkejut melihat kehadiran Faye di London, ditambah air muka gadis itu yang terlihat kacau. Gadis itu hendak menangis. Ray jadi tidak sampai hati melihatnya.

"Kamu kenapa, Fay? Ada apa? Coba ngomong sama aku. I'll help you as much as I can." Tangan Ray hendak menarik tubuh mungil Faye ke dalam pelukan, tetapi niat itu ia batalkan saat akal sehatnya kembali mengingatkan siapa Lafayetta sebenarnya. Sebagai gantinya, Ray hanya menangkap bahu Faye yang bisa saja runtuh jika tidak segera ia topang.

Faye yang mendapat perlakuan tersenut dari Ray pun kontan menangis. Tidak tahu. Rasa yang berkecamuk di dalam hatinya kini merupakan kombinasi antara senang, sedih, lega, juga takut. Semua bercampur menjadi satu.

Sekali lagi Faye bertanya pada diri sendiri, sebenarnya, dia ini kenapa? Mengapa bisa bersikap seperti orang gila hanya karena tidak mendapat kabar selama tiga hari dari sosok Albany Ray Antasena?

"Mas Ray ..." panggil Faye lirih. Air mata sudah berhenti mengalir, tetapi sisa isakan masih tertinggal sedikit.

"Iya, Lafayetta?"

"Apa kabar?"

"..."

"Mas Ray... marah ya, sama Fay?"

"Kenapa kamu nanyanya gitu, Fay?"

"Mas enggak jawab pertanyaanku."

Sempat terdiam sebentar, Ray pun akhirnya bersuara. Mencoba memahami apa yang sedang Faye coba ingin sampaikan. Menggunakan kepala dingin tentunya.

"... alhamdulillah, baik. Kamu gimana? Masih demam? Pusing?" jawab Ray kemudian.

Faye mendongak. Matanya yang sembab dengan semburat merah membalas tatapan Ray. Mencoba mencari kebenaran di sana. "Fisik Fay udah membaik. Tapi enggak dengan hati Fay."

Lagi-lagi Ray hanya diam. Menunggu kelanjutan kalimat dari Faye yang tampaknya akan tercetak sebentar lagi.

"Sejak kejadian di kafe tiga hari lalu, Mas Ray tiba-tiba ngilang. Enggak pernah kabarin Faye lagi, bahkan nggak balas chat sama sekali." Pelan tapi pasti, Faye menyuarakan buah pemikirannya. "Emangnya Faye punya salah apa sama Mas Ray? Apa yang udah Mas dan Abi bicarain waktu itu? Kalau masalahnya adalah Abi ngomong yang enggak-enggak ke Mas Ray, dengan tulus Faye mewakili beliau buat minta maaf. Tapi tolong jangan gantung Faye kayak gini."

Sejenak, Ray terdiam. Mencoba mencerna ucapan Faye yang terdengar... sedih, tapi agak ambigu.

Setelah hampir lima menit berlalu dengan aksi saling diam, Ray memecah keheningan sebab mengerti apa yang Faye maksudkan dalam tuturnya tadi. "Lafayetta," panggil Ray.

Sebagai pemilik nama, reaksi yang mampu Faye berikan pertama kali adalah mengalihkan objek pandangan menuju sang lawan bicara. "Ya, Mas?" katanya pelan. Suara serak akibat menangis masih belum hilang. Percaya atau tidak, ada rasa senang tersendiri di dalam hati Ray saat mendengarnya. Entah. Dia merasa seperti menjadi orang istimewa yang memiliki akses eksklusif untuk melihat Faye yang seperti ini; diam, menangis, suara serak, dan terlihat tidak berdaya. Seolah-olah, Ray bisa mengubah semua itu menjadi kebahagiaan untuk Faye.

"Boleh aku tanya sesuatu?" Faye mengangguk. Posisinya dan Ray yang sudah duduk santai di hamparan rumput membuatnya sedikit rileks. "Kamu... kenapa sedih karena enggak dapat respons dariku?"

"Soalnya ..."

Faye terdiam. Otaknya tiba-tiba kosong. Di saat yang sama, sekali lagi pertanyaan itu muncul, kenapa ia bisa jadi seperti ini? Apa yang salah? Sembilan belas tahun hidup sebagai manusia, tidak sekalipun Faye merasa sedih hingga terlihat kacau seperti sekarang. Mengapa dirinya menemui banyak perubahan semenjak bertemu dengan Ray? Apa benar pemuda itu ada kaitannya dengan semua ini?

"... Mas Ray itu teman seperjuangan yang paling dekat sama Faye. Cuma sama Mas, nggak tahu kenapa Faye jadi ngerasa aman. Rasanya kayak udah kenal lama sama Mas." Setelah mengucapkan hal itu, Faye langsung membuang muka. Menghindari tatapan intens Ray yang lagi-lagi membuat jantungnya berdebar liar. Kamu ini ngomong apa, sih, Fay?

Satu detik...
Dua detik...
Tiga detik...

Ray mengembangkan lesung pipi terbaiknya dengan sempurna. Sebuah kesimpulan sudah bertengger di puncak kepala. Tetapi ia tidak menyuarakannya langsung. Takut jika pemikirannya salah, dan membuat gadis di sampingnya ini mendapat rasa malu yang lebih parah lagi.

"Beneran waktu itu ada apa-apa pas Mas Ray ngomong sama abi Fay?"

Lelaki penyuka kegiatan fotografi itu pun menggeleng. "Enggak, Fay. Enggak ada hal buruk yang terjadi. Semuanya aman," katanya.

"Terus, kalau nggak ada masalah, kenapa Mas Ray abaiin chat dari Faye?"

"Itu..."

"Tuh, kan. Mas Ray bohong!"

"Enggak, Fay, bukan gitu."

"Terus apa? Mas enggak suka temenan sama anak kiai kayak Faye?"

Lagi, Ray menggeleng. Kali ini lebih kuat. "Aku mau jawab, tapi tolong jangan marah lagi, ya?"

"..."

"Janji, Lafayetta?"

"Oke."

"Jadi, sebenarnya ..." Ray sedikit menggantung kalimatnya. Meneliti respons dari Faye dulu sebelum berlanjut menjelaskan. "Adik aku berkunjung ke sini. Tiga hari. Baru tadi pagi aku amtarin dia ke bandara buat balik ke Jakarta.

"Maaf kalau aku jadi terkesan ngabaiin kamu, Fay. Karena sejujurnya, selama Rasdan ada di sini, ponselku dipakai sama dia buat komunikasi sama aku, selagi kami nggak bersama. Itulah sebabnya, semua pesan kamu cuma berakhir centang dua biru tanpa balasan. Maafin aku, ya. Harusnya aku kabarin kamu pakai ponsel satu lagi biar kamu enggak panik kayak begini."

"Tunggu, tunggu. Jadi, tiga hari ini Mas Ray nggak ngabaiin Faye?"

"Iya."

"Jadi ini cuma salah paham?"

"Betul, Fay."

Salah paham. Hanya Faye yang overthinking di sini. Padahal nyatanya...

"Aaaaaaaaaaa! Enggak mau tahu, Faye sebel sama Mas Ray!!"

Begitu saja Faye berlari. Meninggalkan Ray dengan sejuta rasa malu yang sudah Faye sebar di depan wajahnya. Sudahlah. Tidaka da yang lebih memalukan bagi Faye selain hari ini.

- To be Continued

Malanh, 30 Maret 2023
23.21 WIB
All Rights Reserved
Pialoey💙







MADELEINESTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang