7. Tumbal

479 93 22
                                    

Shua terus memikirkan kejadian yang menimpanya kemarin. Otaknya terus memikirkan semua kemungkinan yang ada.

Mungkinkah studio miliknya memang angker? Namun, karena merasa tidak enak dengannya, para karyawannya tidak berani mengatakan apapun?

Tapi, jika dipikir-pikir lagi, kalau memang studio miliknya angker, harusnya sudah banyak desas-desus yang ia dengar dari para karyawannya, sehingga Shua bisa mengambil tindakan dengan melakukan pengusiran setan. Dan, jika ada karyawannya yang penakut, dia pasti sudah lebih dulu mengajukan resign. Namun kenyataan berkata sebaliknya, karyawannya terlihat betah-betah saja berlama-lama di studio.

Tidak ada yang aneh dengan studionya. Lalu, apa itu artinya memang hanya Dika yang aneh?

"Nggak mungkin. Masa iya, orang sesempurna itu bisa kesurupan?" Tanyanya entah kepada siapa.

"Tapi ... bisa aja, sih. Dia kan ganteng, baik, ceria, enerjik, friendly, disiplin, bertanggung jawab, beribawa. Manusia aja banyak yang suka, apalagi sebangsa setan? Bukan nggak mungkin kan, kalo fansnya dia juga bisa berasal dari alam lain?"

Shua bergidik. "Ngeri juga sih, kalo sampe beneran begitu."

Mata Shua membulat, ketika ada satu pemikiran yang menurutnya sangat masuk akal. "Jangan-jangan ... si Dika ikutan sekte-sekte sesat? Penyembah setan? Iblis? Kayak artis-artis sama penyanyi Hollywood gitu? Biar makin terkenal? Iya, kan? Terus, tumbalnya anak kecil, makanya yang nempel sama dia juga bocil."

Shua menutup mulutnya, terkejut dengan pemikirannya sendiri, yang menurutnya sangat masuk akal. "Kalo beneran gimana? Tapi ... mukanya dia, muka-muka orang baik. Nggak neko-neko! Kayaknya nggak mungkin, deh. Tapi kan ... orang jaman sekarang nggak bisa dinilai dari muka doang?"

"Gimana cara kasih tau yang lain? Mana udah tanda tangan kontrak juga. Tapi ... gue nggak punya bukti, kalo dia emang ngelakuin itu." Shua menggigit ujung kuku telunjuknya. "Ntar, kalo gue jadi tumbalnya dia, gimana dong?"

Shua tersentak, ketika ponselnya berbunyi. Wanita itu mengerutkan keningnya, ketika melihat nomor baru yang tertera dilayar ponsel. "Nomor nggak dikenal. Angkat nggak, ya?"

Kepala Shua menggeleng. "Enggak, deh! Paling orang iseng doang!"

Ponselnya pun berhenti, namun hanya sebentar. Sebab, nomor tersebut kembali menelpon.

"Lah, kayaknya penting deh. Makanya nih orang telpon lagi."

Tanpa banyak berpikir, Shua pun segera menerima panggilan tersebut. "Halo?"

"Halo?"

"Siapa ini?" Tanya Shua.

"Ini Dika. Mahardika." jawab Dika.

Shua menjauhkan ponselnya, karena terkejut. Namun, perasaan was-was lebih mendominasi untuk saat ini. "Mau ngapain nih, orang? Kenapa tiba-tiba telpon? Mau jadiin gue tumbal ya?"

"Halo? Bener dengan nomor Bu Shua?"

Shua menggigit bibir bawahnya. "Jangan-jangan dia tau lagi, kalo lagi gue omongin? Terus dia nggak suka. Makanya dia telpon, karena mau jadiin gue tumbalnya?"

Mendadak detak jantung Shua berdebar kencang, Shua menelan ludahnya gugup, ketika menempelkan ponsel ke telinganya kembali. "I-iya. Kenapa ya?"

"Bisa kita ketemu?"

Mata Shua kembali membulat, mendengar permintaan Dika. Tidak menyangka, jika Dika akan langsung mengajaknya bertemu. Padahal menurut Shua, dia hanya membicarakan laki-laki itu sendirian. "Se-sekarang?"

"Iya. Bisakah? Saya harap, Bu Shua lagi nggak sibuk."

Wajah Shua mendadak pias. Tamat sudah riwayatnya. Sepertinya benar, dia akan menjadi tumbal, karena mengetahui sesuatu dari Dika. Cepat atau lambat, dekat atau jauh, Shua yakin, dia pasti akan tertangkap oleh Dika, karena telah mengetahui rahasianya.

Kidult [Miss Independent Series]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang