Bagian - 1

1.5K 121 1
                                    

"Fotonya emang nggak terlalu jelas sih, tapi kamu pasti hafal banget, secara dia saudaramu sendiri." Untuk yang kedua kalinya Rafli menunjukkan gambar Jovita berada di sebuah kelab malam bersama dengan laki-laki yang sudah berumur.

"Nih, aku juga ada videonya. Lihat!" Di situ memperlihatkan pergerakan Jovita sedang menuangkan alkohol ke gelas, lalu diberikan pada laki-laki yang duduk di sebelahnya.

"Aku rada lupa sih, ini orangnya beda atau sama dengan yang pernah aku temui sebelumnya. Seingatku sih beda. Kalau nggak salah, yang waktu itu aku lihat nggak setua ini. Begini, Bro. Sori sebelumnya. Ini cuma saran aja sih. Kalian cuma dua bersaudara, kalau bisa jangan terlalu cueklah sama Mbakmu."

Biantara bukan tidak peduli, tapi dia sudah pernah menanyakan langsung pada yang bersangkutan tapi hasilnya nihil.

"Bian, ada salah satu komputer di lab RPL yang nggak bisa dibuka. Tadi saya sudah minta Hendi buat cek, sampai sekarang kok belum ada kabar. Tolong kamu samperin dia sekarang, ya. Siapa tahu dia memang lagi kesusahan dan butuh bantuan." Seorang dosen mata kuliah pemrograman memintanya untuk segera ke laboratorium jurusan. Yang langsung dibalas dengan anggukan oleh Biantara.

"Jancok! Nek wes masalah Linux aku paling males! Lapo se komputer di lab itu nggak diganti iMac semua. UKT mahal tapi fasilitas kurang."

"Kita cabut sekarang?" Sebenarnya Bian bersyukur karena tidak perlu repot-repot mengalihkan topik yang dibawa Rafli ke hadapannya. Membicarakan tentang Jovita, sama halnya dengan membuka aibnya sendiri.

"Kamu yang disuruh benerin, ngapain ngajak-ngajak aku?! Mending aku pulang aja ke kontrakan. Saran aku, jangan pake operating system linux, balik aja ke windows. Biar kalau sewaktu-waktu ada kendala yang lain bisa benerin. Yang paham linux itu nggak banyak di jurusan. Kamu bakalan terus repot sendiri."

"Ikut sekalian lah, Raf. Bantuin juga."

"Aku mau ngelarin laporan sistem informasi. Kalau aku ini orangnya realistis, Bro. Ora sudi aku dimanfaatkan."

Biantara membiarkan Rafli keluar kelas lebih dulu, dan ia segera menuju ke gedung fakultas dengan berjalan kaki. Informasi yang ditunjukkan Rafli tentang Jovita cukup mengusiknya. Poros otaknya terus memikirkan cara untuk menghentikan Jovita dari pekerjaan yang dilakoni. Mungkin Biantara sudah terlambat untuk menyelamatkan harga diri perempuan itu, tapi setidaknya ia sudah berusaha menuntunnya kembali ke jalan yang lurus.

"Biaaaan! Aku punya kabar bagus buat kamu. Coba tebak!"

Biantara masih sibuk menekuri layar komputer saat Medina tiba-tiba masuk ke dalam laboratorium dan berdiri di sebelahnya.

"Apa tuh?" Gumam Biantara datar.

"Hiiiih, tebak dulu dong, Biiii!" Benar-benar khas cewek satu ini yang ekspresif.

Biantara belum mengalihkan padangannya dari layar. "Kamu akhirnya dapat tiket konser blackpink? Selamat!"

"Bukan itu, Biiii. Ya Allah, kan aku sudah dapat tiketnya hasil nge war minggu lalu. Aman deh kalau soal tiket mah. Tebak lagi dong. Ini bukan tentang aku, tapi kamuuuu."

"Apa, Medi?"

"Ya ditebak dulu dong. Nggak seru ih, Bian!"

"Heeeem, kamu ulang tahun dan mau nraktir aku sekarang? Kebetulan banget nih aku lagi laper."

"Ulang tahunku sudah lewat, Bian! Kesel banget deh. Ini soal pamanku. Kamu disuruh langsung ke kantornya."

Perhatian Biantara yang tadinya hanya pada urusan komputer, beralih sepenuhnya pada Medina. "Ohya? Kapan kamu bilang ke pamanmu?" Tanyanya. Beberapa waktu lalu Biantara pernah meminta Medina untuk menghubungkan dirinya dengan paman Medina yang seorang pemilik marketplace paling laris di Indonesia.

"Kemarin aku ada reoni keluarga. Kalau acara besar keluarga gini Om Agam pasti nyempetin datang. Terus aku ngomong tentang kamu."

"O gitu." Bian manggut-manggut, perasaan senang merambati dadanya.

"Say thank you lah, Bro. Kalau kamu nanti jadi orang sukses kayak Om Agam, kamu harus ingat, aku ada dibalik karirmu."

Bian tersenyum. "Makasih, Medi."

"Kamu itu aku puji-puji di depan Om Agam. Aku bilang kalau kamu pinter banget. IPK selalu 4. Ngodingnya pinter."

"Nggak perlu segitunya, Medi. Gimana nanti kalau pamanmu ngetes aku? Terus nggak sesuai ekspektasi?"

Medina mengibaskan tangannya. "Yang aku omongin itu kan memang faktanya kamu, Bi. Nggak usah berkecil hati dulu lah. Aku nggak bakal ngerekomin kamu ke Om aku kalau nggak tahu kualitasmu kan?"

Bian tergelak mendengar kalimat dramatis dari lawan bicaranya.

"Nanti aku kabari. Masih mau aku tanyakan lagi besok Om Agam ada free jam berapa gitu."

"Oke. Thank you."

"Bi, Mbak Jov sudah punya pacar belum?" Pertanyaan Medina yang selanjutnya membuat Bian langsung menoleh kaget. "Nggak, maksudku, aku ada sepupu cowok lagi nyari jodoh. Kalau pas kumpul reoni keluarga gitu pasti ada aja yang kena bully."

"Aku nggak tahu." Jawab Bian singkat. Pada kenyataannya memang Jovita tidak pernah membawa pulang laki-laki ke kediamannya.

"Kamu itu sama Mbak Jovita selisih berapa tahun sih, Bi? Tapi menurutku Mbak Jovita itu awet muda banget. Orang yang nggak tahu kalian bersaudara, kalau kalian lagi jalan berdua gitu pasti ngiranya kalian sepasang kekasih."

Biantara tidak menjawab, dan malah sibuk memasang tali sepatu supaya bisa segera enyah dari hadapan Medina yang memiliki 1001 pertanyaan. Semua yang menyangkut Jovita, Bian tidak akan pernah bisa membaginya pada siapapun. Lebih tepatnya, setelah peristiwa malam itu, hubungan antara dirinya dan Jovita tidak lagi bisa disebut sebagai kakak beradik.

"Sepupuku cowok baik-baik kok, Bi. Dia kerjanya sama Om Agam. Tahun ini umurnya tiga puluh, dan dia serius nyari jodoh. Dia juga nggak muluk-muluk, nggak harus yang sarjana, yang penting bisa dijadiin pendamping hidup yang bisa dibimbing. Aku sudah cerita sedikit tentang gimana kalian struggle selama ini. Kalian yang seorang anak panti asuhan. Mbak Jovita yang harus putus sekolah dan bekerja untuk menanggung kehidupan dan pendidikanmu. Sepupuku salut banget."

Sepatu Bian sudah terpasang, tapi Medina belum berniat melepasnya.

"Hehehehe, sepupuku nggak munafik sih. Namanya juga cowok kalau lihat yang bening-bening Indo gitu langsung melek. Aku nunjukin foto Mbak Jovita di akun IGnya. Sepupuku minta nomer HPnya. Terus aku bilang, nanti aku mintain ke adeknya. Nah, aku minta nomor HPnya sekarang dong."

Biantara harus segera mencari cara untuk kabur dari Medina. "Aku perlu ngomong dulu dong sama dia. Seingatku dia pernah ngamuk ke temannya yang diam-diam ngasih kontak pribadinya ke orang. Aku nggak mau ngambil risiko."

"Serius? Mbak Jovita sekalem itu bisa marah?" Tampaknya Medina kurang yakin dengan karangan alasan barusan.

"Ya bisalah, Medi. Namanya juga manusia biasa."

"Aku bilang ke sepupuku kalau Mbak Jovita kerja di kafe. Kasih tahu nama kafenya aja deh, biar nanti disamperin sendiri sama sepupuku. Sumpah, dia neror aku terus dari semalem. Sudah ngebet banget sama Mbak Jovita."

Akan sangat aneh jika Bian tidak tahu menahu di mana tempat Jovita bekerja, sedangkan keduanya tinggal satu atap. Lagi-lagi Bian harus mencari jawaban yang logis untuk dikatakan pada Medina. "Dia kan baru aja pindah kerjaan. Aku belum tahu tempat kerjanya yang sekarang."

"Ya ampun, Biiii, nggak perhatian banget sih sama Mbakmu."

Kesempatan itulah Bian gunakan untuk beranjak dari tempat duduknya, "Medi, aku harus cabut sekarang. Sore nanti ada asistensi, sekarang rencananya mau balik dulu ke rumah nyiapin materi."

"Aduh, yang sibuk banget jadi asisten dosen. Baiklah. Pesanku satu, jangan lupa ngomong ke Mbak Jov tentang sepupuku, ya!"

Bian mengacungkan jari jempolnya.

KELIRU (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang