Jovita mengerutkan kening saat mendapati saldo di rekeningnya bukannya berkurang tapi malah bertambah. Padahal totalnya sudah satu bulan lebih ia menganggur. Lantas pikirannya merujuk pada perkataan Biantara tempo hari. Bocah itu mengatakan akan mengirim balik uang yang sudah Jovita transfer ke rekeningnya. Sebentar, Biantara bukan bocah lagi. Jovita ingin meralatnya. Bocah malang yang pernah terancam putus sekolah di usia masih sangat kecil itu sudah berubah menjadi laki-laki gahar yang panas tadi malam.
Huh!
Perempuan dua puluh tujuh tahun itu mendesah sembari mengangkat tubuh dari tempat tidur, lalu meletakkan ponselnya di atas nakas. Tubuhnya yang ramping ditekuk ke kiri dan kanan berikut dengan kedua lengannya. Gerakan itu dilakukan sebanyak sepuluh kali sebelum ia melangkah menuju kamar mandi untuk membersihkan diri.
Biantara sudah siap dengan setelan kemeja kotak-kotak dan bawahan jeans biru saat Jovita keluar dari kamarnya. Tas ransel juga sudah tersemat di punggung. Bocah itu sedang menunduk fokus memasang tali sepatu.
"Kenapa dibalikin uangnya, Bian?! Kan itu buat kamu bayar UKT dan kebutuhan kamu." Ujar Jovita sembari merebahkan pantat di sofa. "Buat beli bensin sama makan kemarin yang aku titipin."
Seperti biasanya, bocah itu tidak merespon.
"Bian! Diajak ngomong kok diam aja sih?! Kebiasaan banget." Protes Jovita beberapa saat kemudian.
"Kemarin aku sudah bilang kalau semester ini dapat beasiswa lagi kan?" Bocah itu sudah selesai mengenakan sepatu. Melangkah menuju dapur. Polah tingkahnya tidak lepas dari pengamatan Jovita. Saat menyeduh teh, lalu mengoleskan selai di roti tawar dan langsung dilahapnya begitu sudah merata.
"Sebenarnya nggak perlu dibalikin. Ditabung saja. Sewaktu-waktu bisa kamu gunakan kalau ada kebutuhan mendadak. Kamu pasti butuh banyak uang untuk kuliahmu, untuk tugas akhir." Papar Jovita kalem. Ia berpindah ke kursi stool menyebelahi lawan bicaranya.
"Nggak usah, sekarang aku sudah kerja." Bocah itu menoleh sekilas, sebelum kembali fokus pada cangkir teh dan roti.
"Siapa yang suruh kamu kerja sebelum lulus, Bian? Aku minta kamu fokus sama kuliahmu kan?" Jovita menatapnya kesal.
"Ini juga sudah mau kelar kuliahnya. Minggu depan aku sudah sidang. Sekarang ini banyak nganggurnya. Makanya aku pakai kerja." Bocah itu meneguk tehnya hingga tandas sebelum beranjak dari kursi dan langsung mencuci cangkirnya di wastafel.
Berhubung Jovita tidak pernah kuliah, ia tidak paham akan hal itu. Yang ia ketahui, babak akhir dari seorang mahasiswa adalah mengenakan toga. "Kan kamu belum wisuda. Belum tentu lulus. Sekarang kamu sibuk kerja nanti malah ganggu skripsimu. Tambah lama kan lulusnya?"
"Aku berangkat dulu. Sudah telat ini." Dan bocah itu kemudian amblas.
Jovita masih termenung di tempat duduknya. Waktu terasa begitu cepat berlalu. Rasanya seperti baru kemarin ia pontang panting seorang diri demi untuk mencukupi kehidupannya dengan adik-adikannya dari panti. Sekarang, bocah itu sudah besar. Sudah dewasa. Sudah mau lulus kuliah. Bahkan sudah mulai bekerja dan bisa mencari uang sendiri. Pertanda bahwa Bian tidak lagi bergantung padanya. Bisa saja, setelah ini, bocah itu akan sangat mandiri dan meninggalkannya.
Astaga, astaga, astaga ....
Mengapa terdengar tidak baik? Jovita tidak bisa membiarkan itu terjadi. Organ yang bersarang di dalam dadanya tidak merelakan perubahan pada bocah itu. Jovita mengerjap, kepanikan terasa menguasai tubuhnya.
Ini tidak benar. Seharusnya Jovita turut berbahagia dengan pencapaian bocah itu. Jovita tidak bisa bersikap seenaknya. Biantara kelak memiliki kehidupannya sendiri. Meski itu menjadi bayang-bayang yang cukup mengerikan bagi Jovita.
"Ya kalau sekarang aja dia bentuknya sudah berubah, terus kamu pengin dia tetap kayak bocah yang akan terus bergantung sama kamu? Jujur saja barusan aku lihat Bian, kelihatan banget lebih dewasa dari yang terakhir aku ketemu dia sebulan yang lalu. Umur dia masih dua puluh dua tahun tapi berasa sudah mateng." Sudah dari setengah jam yang lalu Katty sampai di kediamannya, hampir berbarengan dengan kepergian Biantara. Jovita tidak tahan memendam perasaan galaunya sehingga ia harus membaginya pada Katty.
"Dia itu punya teman. Entahlah, cuma sekedar teman atau mereka memang ada hubungan. Teman satu jurusan. Sering banget mereka pergi berdua. Bian nyamperin ke kosnya itu cewek, terus mereka jalan sampai malam Bian baru pulang." Jovita kesal saat mengingat kelakuan bocah itu yang sudah membuatnya menunggu terlalu lama di rumah seorang diri.
"Harusnya kamu tanya dong!" Sentak Katty tak habis pikir. "Kalau kamu merasa terganggu sama kedekatan Bian dan teman ceweknya, kamu ngomong terus terang ke dia. Kalian sudah tidur bareng. Statusmu sama Bian sudah bukan lagi Kakak-Beradik you know?! Buruan diperjelas! Kasih paham ke dia, kalau mulai sekarang dia nggak boleh ada hubungan dengan cewek lain selain kamu."
"Nggak mungkin, Katt!" Rasanya Jovita ingin menjerit. Sebenarnya apa yang dilakukan bocah itu hingga membuatnya sangat frustasi?! "Aku ... aku ... nggak mungkin ngomongin itu sama Bian."
"Why? Takut? Perlu aku ajarin caranya? Ck, ini bukan kamu banget, Jov!"
Katty benar. Baru kali ini hidup Jovita didominasi oleh seorang laki-laki. Yang ironisnya adalah orang terdekatnya sendiri.
"Jangan ditunda, semakin cepat, semakin bagus. Kalau benar Bian ada hubungan sama itu cewek, dia bisa secepatnya kelarin urusannya, dan cukup sama kamu."
"Nggak segampang itu, Katt. Gimana kalau dia risi dan ngerasa kegangu? Aku nggak mau terlalu cerewet dan terkesan mengekang dia. Ini semua memang salahku."
Katty menggeleng tak setuju. "Kamu nggak sepenuhnya salah. Bian meskipun masih bocah, tapi cara berpikirnya sudah lebih dewasa dari usianya. Dia paham mana yang salah dan benar. Dan yang paling penting, tiap kamu ajak ML, dia nggak pernah nolak. Dia akan dengan senang hati melakukannya kan? Minimal sesekali dia pasti mikir, mau dibawa ke mana hubungan kalian? Nggak mungkin nggak."
"Bian memang selalu nurut sama aku, Katt. Tapi ... rasa-rasanya aku nggak sepercaya diri itu untuk ngebahas ini sama dia." Gumam Jovita lesu.
"Dalam konteks apa tuh? Kalau soal pendidikan, itu sudah pasti. Karena kamu yang membiayai pendidikannya dari SD. Gila!"
"Apapun itu sih. Meskipun dia anaknya irit bicara. Tapi dia cenderung mendengarkan apa yang aku katakan."
"Jujur deh sekarang, apa yang kamu rasakan sama dia? Pastinya sudah lebih jelas dong? Terakhir kali aku tanya soal ini, kamu masih ngeles terus." Katty mengingatkan lagi posisi bocah itu di hati Jovita. Tidak dipungkiri bocah itu semakin mendominasi isi kepalanya.
"Entahlah ...." Desahnya.
"Fix, kamu sudah jatuh cinta sama dia." Putus Katty. "Bahaya itu, Jov! Kamu harus bikin Bian juga merasakan hal yang sama. Kalau nggak, kamu bakalan yang sakit sendiri. Nih pakarnya." Katty menepuk-nepuk dadanya dramatis. "Aku sudah pengalaman banget soal ini. Rasanya nggak karu-karuan. Cinta bertepuk sebelah tangan itu sakitnya bukan main. Di usia kita yang mateng begini terlalu lucu ngomongin hati. Ketimbang cinta, cewek akan milih pendamping yang banyak duitnya. Kita jadi cewek musti realistis. Tapi posisi kamu ini beda. Sebelum-sebelum ini kamu belum pernah ngerasain yang namanya jatuh cinta. So, nikmatilah!"

KAMU SEDANG MEMBACA
KELIRU (TAMAT)
Romantizm"Sebuah hubungan yang diawali dengan nafsu dan kesalahan, akan berujung pada penyesalan yang tak berkesudahan."