Bagian - 13

892 81 5
                                    

"Kamu nggak ngasih tahu Mbak Jovita kalau kamu ada kerjaan di luar kota? Kasian loh, Bi. Kemarin Mbak Jovita baru aja dari sini nyariin kamu. Mbak Jovita kayak kurang enak badan gitu. Wajahnya pucat. Mau aku antar balik, sekalian aku ke kampus ambil legalisir malah nggak mau."

Bian baru saja sampai di wisma satu jam yang lalu. Setelah meletakkan barang bawaan yang diangkut dari Jakarta, sekarang ia sedang mempersiapkan materi untuk presentasi di kantor yang akan dilakukan beberapa jam mendatang. Bosnya menyerahkan semua pekerjaan padanya dan sesuatu yang didapat dari perjalanan dinas luar kota untuk diteruskan pada rekannya di kantor. Rutinitas yang dijalani Bian benar-benar menguras waktu. Jangankan untuk memikirkan masalah Jovita, urusan dirinya sendiri saja hampir terabaikan.

"Kamu sudah nelepon Mbakmu belum? Bian! Ya ampun, diajak ngomong dari tadi nggak ada sopan-sopannya deh!"

Tanpa mengalihkan pandangannya dari layar laptop, Bian menjawab. "Kamu lihat sendiri aku lagi sibuk, Medi. Jam sebelas ada meeting. Powerpointku belum kelar."

"Masih kurang empat jam lagi! Masih lama, Bian!" Sentak Medina. "Paling juga kamu ngerespon omonganku butuh berapa detik sih? Ini tuh menyangkut Mbakmu. Kamu nggak khawatir apa?! Mbak Jov ...."

"Dia nggak kenapa-napa. Besok aku libur, aku pulang." Potong Bian cepat. Ponsel yang biasa ia gunakan untuk bertukar kabar dengan Jovita dinonaktifkan. Bian sengaja melakukan itu karena ingin berkonsentrasi dengan pekerjaannya.

"Kenapa nggak hari ini aja? Pulang dari kantor gitu?" Tuntut Medina.

"Masih mau revisi, sebelum aku kirim ke emailnya Pak Revan." Bian menyebutkan nama sekretaris bosnya. "Pak Revan orangnya teliti banget. Aku nggak mau ditegur untuk yang kedua kali."

"Hish, emang Bian yang perfeksionis. Eh, Om Agam nggak ikut pulang kan? Aku sih dengar dari Abah kalau Kaleela mau lanjut Pascasarjana. Makanya kemarin sekeluarga ikut semua, termasuk Tante Kinar yang jarang mau diajak ke luar kota."

Satu hal yang membuat Bian cukup kaget saat mendapati perempuan yang ia pandang lebih dari semestinya berada di dalam satu kendaraan mewah milik sang bos. Dari kantor menuju Bandara Soekarno Hatta, Pak Agam memaksanya untuk ikut serta, padahal saat itu Bian sudah bersiap ke tempat parkir untuk mengendarai motor maticnya sendiri. Meski di pesawat, mereka harus terpisah karena tiket fasilitas yang Bian terima dari kantor berbeda dengan milik sang bos dan keluarganya.

"Gara-gara Kaleela lanjut S2, Abah jadi nyuruh aku kuliah lagi. Aku bilang, kalau aku harus kuliah lagi, aku mau ambil desain interior. Tapi malah nggak dikasih. Ya sudah aku diemin aja teleponnya, dari kemarin nggak aku gubris. Kedengaran durhaka banget sih. Tapi biarin!" Medina terus saja mengoceh meski tidak mendapat balasan dari lawan bicaranya. "Kaleela otaknya encer banget sih. Kamu sempat satu mobil kan sama dia? Dia rajin banget belajar. Ke mana-mana yang dipegang pasti buku."

Benar. Sedikit banyak Bian menjadi tahu tentang perempuan yang sukses mencuri perhatiannya. Dari caranya berbicara, terlihat gadis yang cerdas. Memiliki prinsip hidup yang kuat dan tidak mudah dibelokkan oleh apapun. Di dunia ini ternyata masih ada seorang anak muda yang murni, yang mampu menjaga dirinya untuk tidak bertindak hal fatal. Meski bila boleh memilih, Kaleela bisa saja melakukannya kerena hidup di keluarga serba berkecukupan.

"Kalian cocok sih, Bi. Sumpah. Setelah aku pikir-pikir kalian tuh cocok." Gumam Medina, dan Bian tidak berniat merespon. "Kapan-kapan deh kalau sudah ada waktu lowong aku telepon Kaleela. Aku belum pernah dengar dia punya pacar sih. Mungkin karena dia masih fokus ke sekolah. Tapi sekarang sudah dua tiga, yakali masih nggak mau pacaran."

"Nggak usah aneh-aneh, Medi." Bian buru-buru memperingatkan. Tingkah Medina terkadang sering keluar jalur. "Dan ini yang terakhir kamu ngebahas anaknya Pak Agam. Aku nggak akan punya muka lagi kalau beliau sampai dengar."

"Eh, aku ini sepupunya Kaleela loh. Saudara dekat. Hal kayak gini wajar, Bian. Jangan insecure gitu dong." Medina benar-benar kekeuh.

"Ngawur! Siapa juga yang insecure!" Tukas Bian sedikit kesal.

"Tuh kan, Kaleela berhasil bikin kamu ngomong banyak. Coba tadi, aku ngoceh sendiri ngebahas Mbak Jovita, nggak bikin kamu noleh dari layar laptop."

"Sudah aku bilang jangan sebut-sebut nama anaknya Pak Agam di sini, Medi. Bahaya kalau ada yang dengar." Biantara mengurangi nada suaranya seraya melempar tatapannya ke sekitar lobi wisma.

Medina berdecak. "Takut amat sih! Nggak bakalan ada yang dengar!"

"Di sini ramai!" Cetus Bian mengingatkan.

"Tapi mereka sibuk sama urusannya masing-masing. Kurang kerjaan amat nguping pembicaraan kita." Sangkal Medina tak mau kalah.

Bian beranjak dari tempat duduknya setelah merapikan barang-barangnya di atas meja untuk diangkut sekalian, sambil berkata, "Aku ke kamar dulu. Mau istirahat. Presentasi nanti butuh badan yang fit."

"Bian, ke Lamongan besok kamu jadi bisa bawa mobilnya kan? Supir Abah beneran nggak bisa anter." Medina mengingatkan perihal acara pernikahan Rafli yang akan digelar di Lamongan, kota tempat tinggal calon istrinya.

"Iya, aku aja yang nyetir." Jawab Bian sambil melangkah menuju ke kamarnya.

Sampai di ruang pribadinya, Bian tidak langsung merebahkan diri seperti yang dikatakan pada Medina, melainkan pemuda itu membuka laci yang telah menyimpan ponselnya berhari-hari. Sebuah panggilan yang tak terhitung jumlahnya, dan pesan teks yang berasal dari sosok yang sama. Tidak banyak kata, Bian lekas menekan layar benda elektronik tersebut dan nada sambung segera terdengar.

Satu kali panggilan tidak dijawab, Bian tidak menyerah, ditekan sekali lagi nomor yang menjadi tujuannya dan, "Bian, ini Katty. Jovita lagi di toilet. Telepon sepuluh menit lagi!"

Bian tidak membantah dan langsung menutup sambungan teleponnya setelah merespon setuju. Sambil menunggu sepuluh menit yang dijanjikan, Bian masuk ke kamar mandi untuk membersihkan diri. Padahal besok ia berencana akan pulang ke rumah, tidak disangka gagal karena harus ke Lamongan. Bian mendesah, pasti Jovita akan semakin kesal padanya.

"Bian, sori, Jovita belum keluar dari kamar mandi." Suara Katty kembali memasuki gendang telinganya. "Dia lagi kurang enak badan. Muntah-muntah terus dari tadi."

"Masuk angin apa gimana?" Todong Bian. Tidak dipungkiri perasaan khawatir menyerang.

"Kamu ke sini deh. Di apartemenku. Tanyakan sendiri ke Jovita." Ujar Katty yang membuat Bian terdiam sambil mengerutkan kening.

"Kalau sekarang belum bisa. Habis ini masih ada meeting. Sore aku usahakan. Tolong kirim lokasi alamat kamu."

Yang menjadi lawan bicaranya di seberang sana hanya berdeham.

Bian tidak langsung memutuskan panggilannya. "Dia belum juga keluar?" tanyanya.

"Belum tuh, pintu kamar mandinya belum terbuka."

Jawaban enteng teman Jovita membuat Bian sedikit geregetan. "Yaudah kalau gitu, aku tutup."

"Yaps, tutup saja!"

KELIRU (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang