"Saya mau dia dikasih pelajaran, Pak! Saya yakin bukan cuma suami saya yang digoda, tapi ada banyak suami-suami orang di luar sana. Pak RT mau punya warga seorang purel? Naudzubillah min dzalik. Itu aib, Pak. Lebih baik dia diusir dari kampung ini."
"Baik, Bu. Mohon untuk tenang nggih. Saya akan mencoba bertanya pada Mbak Jovita. Kita selesaikan permasalahan ini dengan baik-baik nggih, Bu. Dan tolong, yang lain, yang tidak berkepentingan untuk pergi dari sini. Ini bukan tontonan."
"Apa lagi yang perlu diperjelas, Pak?! Saya datang ke Bapak bukan dengan tangan kosong loh. Saya membawa bukti lengkap berupa foto. Di situ sudah jelas banget. Tolong ibu-ibu, jangan pergi dulu! Biar tahu rasa ini perempuan. Kamu punya malu tidak?!"
Biantara merasa ada yang tidak beres saat ia sampai di depan rumah dan mendapati banyak warga berkerumun. Setelah memarkir motornya di teras, ia bergegas masuk ke dalam. Rupanya di sana sudah ada Pak RT, dan perempuan paruh baya yang terlihat emosi. Fokus mata Biantara langsung tertuju pada Jovita yang duduk di sofa sedang menunduk.
"Ada apa ini?" Tegur Bian, seketika membuat seisi ruangan menoleh ke belakang.
Ketua RT langsung mendekatinya. "Bian, untung saja kamu datang tepat waktu. Tadi aku sudah coba telepon HPmu, tapi nggak kamu angkat."
"Maaf, Pak. Tadi sebelum berangkat ke kampus baterainya habis. Jadi HPnya saya tinggal di rumah." Ujar Bian menjelaskan.
"Yo wes nggak apa-apa. Untungnya sekarang kamu wes sampai rumah."
"Ada apa sebenarnya, Pak?"
"Jadi begini, Bian." Si ketua RT menunjuk salah seorang wanita paruh baya yang berdiri tepat di depan Jovita. "Beliau melapor kepadaku tentang Mbak Jovita ...."
"Tunggu dulu, Pak!" Wanita paruh baya yang terlihat sedang emosi itu menjegal kalimat ketua RT. "Apa hubungannya laki-laki itu dengan perempuan ini?"
"Mereka bersaudara, Bu. Bian ini adeknya Mbak Jovita." Jawab Pak RT.
"O gitu! Yaudah, sekalian saja tunjukkan foto-foto itu, Pak. Biar sekalian saja adeknya tahu kelakuan kakaknya di luar sana! Dasar murahan!"
Biantara berusaha untuk tidak terpengaruh dengan gambar-gambar yang sedang ditekuri. Meski jantungnya terasa memompa lebih cepat dan aliran darahnya meningkat deras.
"Jovita kan selama ini memang bekerja di kelab malam, Pak. Sudah menjadi tugas dia melayani pengunjung. Menurut saya, tidak ada yang aneh dari foto-foto ini." Pungkas Bian sembari menyodorkan amplop besar tersebut pada si perangkat desa. "Foto-foto ini tidak bisa dijadikan bukti akurat untuk menuduh Jovita sebagai penggoda suami beliau."
Biantara sudah memprediksi lawan bicaranya akan meradang mendengar penuturannya. Tapi ia juga sudah menyiapkan jawaban untuk membela diri. Bian berharap sosok yang berstatus perangkat desa bisa menjadi penengah yang tidak akan berat sebelah.
"Loh, loh, loh! Ternyata kalian dua bersaudara yang nggak ada bedanya ...."
"Sebentar, Bu." Pak RT menghadang langkah wanita itu yang akan menerjang ke arah Bian. "Saya di sini sebagai penengah nggih. Jadi tolong hargai keberadaan saya. Saya tidak akan membela siapapun. Tapi, memang berdasarkan penilaian saya, sejak pertama kali ibu menunjukkan foto ini, saya tidak melihat sesuatu yang tidak semestinya dalam diri Mbak Jovita. Seperti yang dikatakan Bian, adiknya, Mbak Jovita bekerja di kelab, dan sudah sepatutnya dia melayani tamunya. Mungkin ibu punya foto yang lebih menjurus ke tuduhan panjenengan? Misalnya, gelajat Mbak Jov yang mengajak pelanggan pria ke sebuah kamar. Kalau tidak ada, itu bisa anggap fitnah, Bu."
"Pak RT, bukti yang saya tunjukkan memang baru ini. Tapi lihat saja nanti saat orang saya mendapatkan semuanya. Saya benar-benar yakin kalau dia yang selama ini jadi simpanan suami saya."
"Ditunjukkan saja dulu buktinya, Bu. Tidak perlu terburu-buru menuduh." Ujar Biantara tegas.
Wanita paruh baya itu menatapnya dengan tatapan tajam, Biantara tidak gentar untuk membalasnya. "Kamu nggak masalah kakak kamu kerja di kelab? Nggak masalah kakakmu berurusan sama laki-laki berumur yang sudah punya keluarga? Di mana hati nurani kamu sebagai seorang adik?"
"Kenapa nggak? Selama dia tidak melakukan hal yang kriminal dan melanggar hukum."
"Wo ... lha adeknya sendiri aja merestui pekerjaan kakaknya sebagai pelacur. Jangan-jangan, kamu yang selama ini nyariin pelanggan untuk kakakmu."
Biantara maju satu langkah. "Jaga bicara anda! Saya bisa tuntut kalau omongan anda tidak terbukti."
"Setop, sudah." Si RT menengahi. "Bian, tenangkan Mbakmu. Maaf sudah bikin keributan. Tadi Mbakmu sempat dijambak ...."
"Saya bahkan pengin bikin perhitungan lebih, nggak cuma menjambak, Pak." Si wanita yang merasa sebagai korban pelakor itu kembali berteriak.
"Iya, tapi di sini ada saya, Bu. Salah jika ibu main hakim sendiri."
Kediaman Biantara sudah kembali sepi setelah lima belas menit berlalu. Bian melangkah menuju ke teras depan dan menutup pagar sebelum berbalik masuk rumah.
Di dapur ia mengambil segelas air putih lalu diberikan pada perempuan yang masih duduk menunduk. Diteguknya hingga separuh.
"Kepalamu gimana?" Tanyanya pada perempuan itu, sedari tadi tampak memegangi kepalanya. "Ayo, aku bantu rebahan di kamar."
Perempuan itu menurut, masuk kamar dan merebahkan diri. "Aku nggak kenal sama suaminya. Ketemu juga baru sekali di kelab."
Bian memutuskan untuk duduk di kursi yang tak jauh dari tempat tidur Jovita. "Aku sudah bilang pekerjaan kamu itu penuh risiko. Kamu nggak sekali dua kali dilabrak sama orang, Jov. Yang bikin kita sampai pindah kontrakan."
"Aku minta maaf, Bian."
"Aku minta kamu berhenti itu untuk kebaikanmu, Jov. Kamu masih bisa kerja di tempat lain yang bukan kelab."
"Gajinya dikit banget, Bian. Dengan jam kerja hampir sehari penuh. Nggak nutut dong buat kehidupan kita, buat bayar kuliah kamu."
Bian membuang napas cepat. "Atau kamu nggak usah kerja, kamu di rumah aja. Gantian, biar aku yang kerja." Setelah cukup dewasa, terkadang ada perasaan malu dalam diri Bian karena sudah menumpang hidup pada seorang perempuan.
"Heh, jangan! Kamu harus fokus sama kuliahmu. Cuma kamu harapanku satu-satunya, Bian."
Hening. Tatapan Bian disapukan pada sosok perempuan yang menjadi teman hidupnya selama ini. Sosok perempuan yang tangguh, yang sudah banyak berkorban untuk kehidupan mereka.
"Bian ...." Panggil perempuan itu.
Biantara mengangkat kedua alisnya. "Hem?"
"Boleh peluk nggak?"
KAMU SEDANG MEMBACA
KELIRU (TAMAT)
Romantizm"Sebuah hubungan yang diawali dengan nafsu dan kesalahan, akan berujung pada penyesalan yang tak berkesudahan."