Bagian - 14

681 78 4
                                    

"Nggak, Katt. Cukup kamu aja yang tahu kondisiku. Aku nggak akan ngasih tahu siapapun lagi, termasuk Bian." Sekali lagi Jovita menegaskan keputusannya ini pada sang sahabat yang kekeuh membujuknya untuk mengabari sosok bapak dari janin yang dikandungnya. "Aku bahkan punya rencana untuk minggat dari Malang."

Sontak saja Katty melotot. "Wah, sudah gila kamu, Jov! Kamu pikir hidup sendiri di kota orang dalam keadaan bunting nggak ada suami itu mudah? Aku benar-benar nggak nyangka, kamu bisa sebodoh ini."

"Nggak ada cara lain untuk mempertahankan anakku tanpa diketahui Bian, Katt. Sudah aku pikirkan baik-baik kok. Aku akan sedikit berhemat. Tabunganku masih cukup untuk biaya periksa kandungan, sementara untuk makan aku bisa sambil cari kerja di rumah makan. Kemarin aku sudah sempat ngejalanin, aku merasa cocok di sana."

Katty menatapnya dengan manik yang hampir keluar dari kelopak matanya. "Kamu gila sih, Jov! Gila! Kalau kamu emang nggak pengin Bian tanggung jawab, kamu tinggal ngomong aja ke dia kalau itu bukan anaknya. Beres."

"Nggak bisa begitu, Katt!" Tolaknya tegas.

"Memangnya kenapa nggak?!" Sentak Katty kesal.

"Dia pasti sedikit banyak bakal mikir, Katt!"

"Mikir apa?! Bian tahu kalau kamu nggak hanya tidur sama dia aja."

"Bian tahu kalau sudah berbulan-bulan aku nggak main ke luar. Dan, aku nggak mau dia lihat kondisi aku yang hamil sembilan bulan. Dengan perut melembung, yang terlihat menyedihkan. Aku nggak terbiasa. Orang-orang yang mengenalkanku, sesekali pasti aku bakal nggak sengaja ketemu mereka, dan kalau mereka melihat keadaanku, aku nggak mau dikasihani!" Jovita menggeleng cepat-cepat. " Aku nggak mau, dan nggak bisa ngebayangin."

"Tapi aku nggak bisa ngebiarin kamu minggat, Jov. Kalau kamu masih di Malang, aku masih bisa handle kebutuhan kamu. Aku masih bisa bantu ngejaga kamu dan calon keponakanku. So, nggak usahlah berpikir mau tinggal di luar kota. Sekarang coba berpikir risiko ke depannya aja. Kalau kamu berniat pergi dari Malang, setelah anakmu lahir ...."

"Aku sudah putuskan nggak akan kembali lagi ke Malang." Potong Jovita. "Aku bakal hidup berdua dengan anakku, di kota yang di mana orang nggak mengetahui masa laluku. Aku bakal membuka lembaran baru di sana. Aku nggak mau memikirkan bagaimana susahnya bertahan tanpa Bian dan kamu, tapi itu yang menurutku terbaik."

"Astaga, astaga, astaga ...." Katty menunduk lelah. "Jangan bilang ini serius, Jov?! Kamu mungkin bisa hidup tanpa aku karena kamu sudah terbiasa menjalaninya dari kecil. Tapi gimana denganku? Mana bisa aku hidup sendiri di sini? Kamu bukan hanya sahabat, kamu sudah lebih dari saudara perempuan."

"Aku belum nemu solusi lain yang lebih bagus dari ini." Sahut Jovita seraya beranjak dari sofa. "Sebentar lagi Bian pasti sampai. Tadi pas mau berangkat dia chat kalau sudah mau on the way ke sini. Ingat, Katt, nggak ada yang boleh tahu. Jangan sampai keceplosan dan ngomong macem-macem."

Katty mengangguk pasrah. Ikut bangkit dari tempat duduknya mengekori Jovita yang masuk ke dalam kamar. "Kapan rencana kamu pergi? Dan ke mana?" Gumamnya.

Salah satu kota yang menjadi satu-satunya tujuan Jovita yaitu Kediri. Entahlah, menurut Jovita dan keyakinannya kota kecil tersebut bisa membuatnya nyaman. Memang tidak seluas Malang, namun dalam hal lapangan pekerjaan Kediri cukup mumpuni, pun dengan segi pendidikannya.

"Yogya? Bali?" Lanjut Katty saat tak kunjung mendapat jawaban. "Bali aja gimana? Nanti aku pikirkan lagi. Siapa tahu aku berencana ikut kamu. Di sana, aku bisa kerja yang sesuai dengan profesiku. Ya, meskipun susah dapat izinnya Mas Alex, tapi bakalan aku usahakan demi kita tetap bareng-bareng."

"Kediri." Jawab Jovita.

"Apa?! Kediri?!" Untuk yang kesekian kalinya Katty dibuat shock.

Jovita menanggapinya dengan anggukan santai.

"Kok Kediri sih, Jov! Harusnya kalau kamu memang pengin minggat. Sekalian nyari kota yang lebih gedhe dari Malang dong. Yang bisa ngejamin ekonomi kita. Kalau ke Kediri, di sana kita mau kerja apa?!"

"Bukan kita, Katt, tapi aku. Sudah aku bilang tadi kalau aku mau kerja di rumah makan."

"Jov, aku ini peduli sama kamu. Nggak tega aku ngebiarin kamu hidup sendiri. Makanya aku pengin ikut."

Suara bel pintu apartemen berbunyi. Jovita mengabaikan gerutuan Katty dan bergegas ke depan untuk membuka pintu.

"Aku bawain bubur ayam sama obat maag." Ujar si tamu begitu sudah masuk ke dalam dan menyodorkan kantong kresek.

"Ck, padahal lagi pengin makan nasi uduk ayam goreng." Balas Jovita cemberut. "Dan aku nggak sakit maag."

"Katty bilang kamu nggak enak badan dan muntah-muntah. Bukannya itu tanda lambungmu lagi bermasalah?"

Untung saja Jovita sudah menyiapkan alasan untuk dilontarkan pada bocah ini. "Aku tadi mules, mungkin karena semalem habis makan bakso pedas. Jadinya harus lama di kamar mandi."

Tidak banyak perubahan dari bocah yang usianya nyaris lima tahun lebih dengan Jovita setelah tiga minggu keduanya tak bertemu, selain bulu-bulu jambang yang tumbuh lebat karena mungkin bocah itu belum sempat bercukur.

"Aku buatin jus mangga mau nggak?" Tanya Jovita saat keduanya sudah sama-sama duduk di sofa saling bersebelahan. "Katty baru aja beli mangga seger banget."

"Air putih aja, tadi aku sudah minum manis." Tolak bocah itu.

Jovita lekas mengambil air mineral dari dalam lemari es dan diletakkan di hadapan sang tamu. Biantara menatapnya seolah ingin menanyakan alasan Jovita berada di kediaman Katty.

"Tadi aku datang ke Wisma." Aku Jovita jujur. "Untung ada Medina. Kalau nggak, bakalan habis deh waktuku nungguin kamu nggak muncul-muncul."

"Ngapain datang ke sana sih? Kan aku sudah bilang kalau aku sibuk." Tanggap bocah itu. Selalu saja bisa membuat Jovita kesal karena merasa tidak dimengerti.

"HPmu mati!" Jika tidak mengingat posisinya di bawah atap kekuasaan Katty, hal tak senonoh pasti sudah dilakukan sejak tadi. Sumpah mati Jovita sangat merindukan sosok di sebelahnya.

"Katty bilang tadi kamu muntah-muntah." Gumam bocah itu setelah jeda beberapa saat.

"Sudah aku bilang, aku nggak muntah-muntah. Aku cuma mules aja."

Bocah itu manggut-manggut. "Terakhir kita teleponan kamu masih ada di rumah."

"Aku baru hari ini ke sini, Bian! Tadi aku rada kesel setelah dikasih tahu Medina kalau kamu pergi ke luar kota nggak ngasih tahu aku. Makanya aku memutuskan datang ke sini. Aku butuh teman curhat."

"Itu mendadak banget." Tiba-tiba saja bocah itu meraih jemari Jovita dan digenggamnya erat. Untung saja Katty tidak ada di sekitar mereka. "Pulang yuk?!" Ajaknya.

Sebenarnya Jovita berniat akan menginap di sini. Ia sudah mendaftar kunjungan ke dokter kandungan untuk nanti malam. Dan Katty sudah bersedia akan menemani.

-TAMAT-
Baca kelengkapan ceritanya di aplikasi Karyakarsa. Terima kasih. 🫶

KELIRU (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang