"Kamu beneran akan tinggal di wisma?" Jovita duduk di pinggiran ranjang sambil mengamati Biantara yang sedang memasukkan baju dan celana ke dalam ransel. Besok senin bocah ini sudah mulai bekerja di perusahaan milik paman Medina yang mewajibkan para karyawannya untuk tinggal di sana selama hari kerja. "Kamu tega ninggalin aku sendirian di rumah."
"Cuma empat hari dalam seminggu kok." Ujar bocah itu yang ke sekian kali karena Jovita tidak berhenti membahasnya.
"Tetap saja aku kesepian, Bi!" Rajuk Jovita. Terserah bila dianggap kekanaan, pada kenyataannya hidup sendiri di dalam rumah dan tidak ada siapa-siapa selain dirinya sangat menyedihkan. Meski selama ini Jovita sudah banyak belajar tentang itu.
"Kan besok kamu juga sudah mulai kerja. Bakalan lebih banyak di tempat kerja ketimbang di rumah." Bocah itu sudah selesai dengan urusannya menyiapkan barang-barang yang akan dibawanya ke tempat kerja. Sekarang berpindah posisi duduk menyebelahi Jovita. Setelah insiden beberapa jam yang lalu, Biantara menjadi lebih manusiawi. Mengingat sebelum-sebelumnya betapa bocah ini sangatlah cuek.
"Iya juga siiiih." Jovita memanfaatkan kesempatan tersebut untuk merapatkan tubuhnya. Dan Biantara menyambutnya dengan merentangkan lengan. "Jadi selama empat hari kita nggak ketemu? Empat hari itu lama, Bi. Nungguin kamu nggak pulang-pulang kuliah kalau lagi lembur sampai malam gitu aja rumah ini sudah berasa sepi bangeeeet."
"Memangnya kalau ketemu mau ngapain sih?" Gumam bocah itu di puncak kepala Jovita. Telapak tangannya yang kiri dengan fasih mengusap-usap pungkung sang wanita.
"Eh, kok malah tanya gitu? Kamu nggak kangen, nggak ketemu aku sampai empat hari?" Jovita mendongak. Menatap ekspresi lawan bicaranya.
Bocah itu menarik napas pelan dan membuangnya cepat. "Posisiku sekarang ini masih karyawan baru, Jov. Aku harus bisa nunjukin kinerjaku pada pamannya Medina kalau aku memang layak bekerja di perusahaannya. Kalau belum-belum aku sudah kurang maksimal, gimana aku bisa dipertahankan di sana?"
Tanpa harus dijelaskan sebenarnya Jovita juga sudah paham. Tapi entahlah, untuk saat ini rasanya berat sekali jika harus berpisah dengan bocah ini. Jovita butuh Biantara untuk tetap di sisinya. Sangat berlebihan bukan?
"Paham kan maksudku?" Lanjut bocah itu menunggu respon Jovita.
Jovita akhirnya mengangguk lesu. Berada sangat dekat hingga Jovita bisa merasakan debar jantung Bian yang teratur. Jovita merasa ini adalah posisi yang paling nyaman sepanjang ia hidup di dunia. "Kalau sekali-kali aku kunjungi ke wisma boleh nggak? Aku nggak mungkin betah nggak ketemu kamu lebih dari sehari."
"Lihat nanti, ya. Kalau memang di sana nggak banyak peraturan, nanti aku kabari." Ujar bocah itu yang membuat Jovita cukup tenang dan merasa dihargai.
"Ketemu sebentar doang masa nggak boleh sih?!"
"Makanya itu, dilihat nanti. Aku juga belum ngerti kondisinya di sana gimana."
"Nggak ada yang bawa istri, ya."
"Itu lagi, mana aku tahu. Kalaupun ada nggak mungkin aku bisa bohongi mereka soal kamu kan?"
"Hih, bukan gitu, Bian. Orang aku cuma tanya doang." Jovita melepaskan pelukannya dan beranjak dari tempat duduknya. "Mungkin kalau istri boleh-boleh aja kali berkunjung, karena kan sudah sah. Yang penting bisa nunjukin surat nikah."
Biantara menggeleng. "Aku nggak tahu."
"Belum tahu!" Ralat Jovita. "Kan masih mau kamu lihat besok."
"Kamu mau tidur di sini atau di kamarmu sendiri?" Tanya bocah itu.
Jovita melirik jam dinding sudah menunjukkan pukul sebelas malam. "Sudah malam, kamu tidur deh. Besok hari pertama kerja. Harus optimal. Aku balik ke kamar dulu."
Setelah berada di kamarnya sendiri, Jovita lekas melakukan rutinitasnya sebelum tidur. Mencuci muka dan menggunakan serangkaian skincare. Di depan cermin ia sedikit melamunkan empat hari ke depan yang harus ia lalui tanpa Biantara. Jovita pasti sudah gila, karena isi kepalanya hanya dipenuhi dengan bocah itu.
Perasaannya pada sosok yang dulu ia anggap saudara semakin tumbuh subur dari hari ke hari. Menjalin hubungan yang keliru, keluar jalur, dan bodohnya Jovita merasa nyaman dengan perbuatannya. Hati nuraninya menentang, tapi tidak bisa berhenti. Terlebih saat yang menjadi lawan mainnya tidak menolak, Jovita semakin percaya diri bahwa Bian juga menginginkannya.
Malam ini tidur Jovita cukup nyenyak. Paginya bangun dengan badan yang sudah lebih segar. Hari pertama kerja, Jovita mulai bersiap-siap dari pagi.
Jovita sudah berkutat di depan kompor membuat menu sederhana untuk mengganjal perut. Diliriknya kamar Biantara yang pintunya masih tertutup rapat. Biasanya bocah itu sudah bungun dan siap berangkat ke kampus tapi masih sibuk di depan laptop.
Nasi goreng berlauk telur ceplok sudah selesai dihidangkan di meja makan. Jovita kembali ke kamar untuk bersiap mandi. Setengah jam berlalu, ia sudah berpakaian rapi dengan make up tipis. Jovita berdiri di depan kaca. Menilai penampilan dirinya yang jauh berbeda dengan yang dulu.
Jarum jam sudah menunjukkan pukul setengah tujuh, Jovita lekas mengambil tas selempang dan menjejalinya dengan barang-barang pribadinya seperti dompet, make up, parfum dan hal-hal penting wanita yang biasa dibawa. Lalu ia keluar kamar menuju ke dapur, dan sudah mendapati Biantara tengah menyantap sarapannya.
"Kamu sudah siap aja!" Gumam Jovita sembari meletakkan pantat di stool. "Ada gitu kantor buka jam segini?"
"Mau mampir ke kampus dulu, ada praktikum pagi." Jawab bocah itu dengan mulut terisi penuh.
"Ke kampus bawa barang sebanyak itu?!" Tanya Jovita lebih lanjut.
"Mau gimana lagi?! Daripada bolak balik." Biantara menoleh, menatap Jovita sejenak lebih lama. Seperti tengah menilai penampilan Jovita yang berbeda dari biasanya.
"Kenapa? Aku jelek ya?" Todongnya sambil menyuap nasi gorengnya dengan isi besar-besar. Jovita sedang buru-buru.
"Kamu kapan sih jelek? Perasaan cantik terus." Gumam bocah itu, sudah kembali sibuk dengan piring dan sendoknya.
"Hih, gitu banget jawabnya. Makasih loh. Jadi malu." Tatapan keduanya lantas bertemu dan sama-sama melempar senyum kikuk. Jovita pasti sudah gila, karena jantungnya sekarang terasa berdebar kencang. Ia sampai harus berhenti mengunyah dan menenangkan diri, karena jika dilanjut pasti ia bisa kesedak.
Bocah itu selesai lebih dulu. "Bareng aku sekalian nggak?" Tanyanya.
Jovita menggeleng cepat. Nanti malah ribet. Aku naik grab aja." Sepertinya ia butuh ruang untuk menghindar sejenak dari bocah ini.
"Kan bisa berangkat bareng aku, terus pulangnya kamu baru naik grab." Ujar bocah itu sambil beranjak dari tempat duduknya dan melangkah ke wastafel.
"Taruh aja! Biar aku yang nyuci." Tahan Jovita agar Biantara segera enyah dari hadapannya. Wangi parfum bocah itu terasa sangat maskulin di hidung Jovita. Yang membuat perut Jovita terasa diaduk-aduk oleh banyak rasa. "Kamu berangkat aja duluan. Terlambat nanti!"
"Beneran nggak bareng aku?" Ulang bocah itu.
"Iya, Bi! Berangkat sana!" Teriak Jovita kesal.
Bocah itu akhirnya pergi dari rumah lebih dulu. Jovita baru bisa bernapas lega. Astaga!
![](https://img.wattpad.com/cover/332826935-288-k527776.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
KELIRU (TAMAT)
Romance"Sebuah hubungan yang diawali dengan nafsu dan kesalahan, akan berujung pada penyesalan yang tak berkesudahan."