Bagian - 12

599 71 6
                                    

Katakanlah Jovita memang bodoh. Belasan tahun ia berkubang dalam dunia kemaksiatan tapi tidak pernah ia seceroboh ini. Jovita sudah terlalu lihai, bahkan Katty sering menyebutnya seorang pakar dalam hal menjaga diri. Saat itu Katty pernah kebobolan dan harus menjalani aborsi. Yang membedakan, Katty tidak tahu pria mana yang berhasil membuahinya.

"Mbak Jovita?!" Seseorang yang ia kenal akhirnya muncul setelah hampir satu jam Jovita menunggu di lobi wisma. Suasana tempat ini sangat sepi, ia sengaja datang lebih awal sebelum orang-orang berangkat kerja.

"Mbak Jovita kok ada di sini? Nyari Bian?" Medina mendekatinya. Pembawaan gadis ini yang ramah dan ceria membuat Jovita tersenyum untuk mengimbangi. Meski kondisinya saat ini sedang tidak tepat untuk berbasa-basi karena hati dan pikirannya yang kacau.

"Iya nih, nyari Bian. Bisa minta tolong panggilin nggak?" Ujarnya pada gadis berpenampilan tertutup tersebut.

Medina duduk menyebelahinya. "Loh, Mbak Jovita memangnya nggak dikasih tahu kalau Bian sekarang lagi ikut Pak Agam ke luar kota? Maksudku, Pak Agam itu bos aku, Mbak. Sudah dua hari ini perginya."

Mendapati kenyataan bahwa sosok yang dicarinya tidak berada di wisma membuat Jovita terdiam cukup lama. Ia tidak mungkin membeberkan pada gadis ini perihal Bian menonaktifkan ponselnya karena merasa terganggu oleh Jovita yang hampir setiap saat menghubunginya. Pasti akan terdengar aneh. Sebab di mata teman-teman Bian, hubungannya dengan bocah itu adalah bersaudara, kakak beradik.

"Wah, keterlaluan banget Bian. Mau pergi ke luar kota sampai seminggu nggak minta izin ke kakaknya?! Minta ditempileng kepalanya itu anak!" Medina menjawab pertanyaannya sendiri. Bila ditotal, sudah lebih dari tiga minggu Jovita tidak bertemu dengan bocah menyebalkan itu. "Eh, Mbak Jovita kelihatan pucat banget loh. Mbak Jovita lagi sakit kah?"

Jovita sedikit terhenyak, sebelum tersadar dan buru-buru menggeleng. "Kalau gitu aku pamit dulu ya, Medina. Nanti aku coba telepon Bian lagi."

"Mbak Jovita beneran nggak apa-apa? Kelihatan lemes banget loh. Mau aku anterin kah?" Medina mengiringi Jovita keluar dari gedung wisma, terlihat sangat khawatir. "Aku anterin ya, Mbak. Mobilku sudah siap tuh, sekalian aku arah ke kampus. Mau ambil legalisir."

"Makasih, Medina. Nggak usah. Ini aku sudah pesan grab kok. Itu grabnya juga sudah nungguin. Makasih, ya." Jovita lekas melangkah lebar-lebar ke arah mini bus yang berhenti di depan pagar.

Di dalam kendaraan yang melaju sedang, Jovita kembali memikirkan kelanjutan hidup yang akan ia hadapi kelak. Dengan adanya makhluk tak berdosa di tubuhnya, di luar status pernikahan, seperti sebuah pengulangan. Ia tidak ingin anaknya kelak bernasib sama seperti dirinya. Hidup di panti asuhan, dan berakhir terlantar. Berjuang untuk tetap hidup dengan menjual harga diri. Jovita tidak akan membiarkan itu terjadi pada keturunannya.

Dan untuk melenyapkan sang jabang bayi, seperti yang dilakukan Katty, hati nurani Jovita secara otomatis menolak keras. Rasa belas kasih itu muncul meski ia belum pernah bertemu langsung dengan anaknya. Naluri seorang ibu yang ingin melindungi buah hatinya menggelegak tak terelakan. Jovita seolah memiliki tanggung jawab untuk mempertahankan bayinya, meski hujan terik badai harus dilalui.

Tapi untuk meminta pertanggung jawaban Bian rasanya juga tidak mungkin. Bocah itu masih terlalu muda untuk menanggung hidup seseorang.

"Apa sih, Jov, gangguin jam tidurku aja!" Katty langsung mengomel setelah memastikan tamunya masuk ke dalam apartemen dan mengunci pintunya kembali. Jovita tidak memiliki arah tujuan. Pikirannya terlalu semrawut sehingga datang kemari menjadi jalan keluarnya saat ini. "Aku tahu kamu sudah pensiun. Tapi nggak secepat itu juga kamu ngelupain kebiasaan kita kan? Belum ada sejam loh aku nyampe rumah. Emang lembur banget semalem."

KELIRU (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang