"Kan kamu yang sembrono nggak pakai kondom. Kenapa jadi aku yang salah? Kamu yang nafsuan dan nggak sabaran."
"Tetap kamu yang salah, karena nggak mau nurut sama aku. Coba kamu pakai kontrasepsi yang nggak lepas pasang, kita bakal aman."
"Baru kali ini aku nemu cowok pengecut. Berengsek."
"Terserah apa katamu."
"Anak ini ada karena kesalahan kita berdua, Raf. Bisa nggak sih kamu kooperatif dan nggak saling menyalahkan? Ini sudah terlanjut. Kita harus lalui bareng-bareng."
"Kamu tahu sendiri aku lagi sibuk urus skripsi belum kelar. Dan kamu malah nambah beban saja. Ya okelah nanti aku pikirkan, setelah urusanku beres. Sekarang aku masih mumet. Mending kamu pulang sana!"
Biantara baru saja sampai di kompleks perumahan belakang kampus yang kebanyakan penghuninya para mahasiswa dan pendatang dari luar kota. Bangunan yang tidak permanen untuk ditinggali karena mereka hanya menjadikannya sebagai rumah singgah.
Seorang perempuan keluar dari rumah Rafli, posisi Biantara masih berdiri di teras. Tadi ia tidak sengaja mendengar pertengkaran kedua insan tersebut. Perempuan itu berhenti sejenak saat mendapati keberadaan teman kekasihnya, lalu kembali melangkah. Biantara hanya mengendikkan bahu dan segera masuk ke dalam.
"Apalagi sih, Yang? Sudah aku bilang ... eh, kamu?!"
Jika dulu Bian pernah dengan santai mengeluarkan petuah-petuah yang bertujuan membuat temannya lekas bertaubat, namun kali ini ia memilih diam. Ia sudah mirip seperti manusia munafik yang menjilat ludahnya sendiri.
"Apa kata Pak Yaqin?" Tanya Bian, langsung membahas topik yang membuatnya bertandang ke tempat ini.
"Jancok! Mita hamil." Rafli justru tidak berniat melepasnya. "Rasanya kepalaku mau pecah. Aku pengin konsentrasi tapi susah. Akhirnya kepikiran juga. Mita terus nyalahin aku, aku makin stres, aku usir dia. Sebenarnya kasian. Tapi gimana lagi, aku harus kelarin ini dulu."
"Kenapa bisa hamil?" Pertanyaan bodoh. Tapi hanya itu yang bisa Bian keluarkan dari mulutnya untuk merespon pengakuan Rafli.
"Aku lupa nggak pakai kondom. Ck, bukan lupa. Tapi lebih ke kebablasan. Sudah di ujung tanduk." Temannya yang bodoh itu mendesah sembari mengacak-acak rambutnya kasar. "Jancok! Goblok!"
Biantara mengeluarkan laptop dan pura-pura sibuk. Mau tidak mau isi kepalanya terhipnotis untuk memikirkan kelakuannya bersama Jovita beberapa bulan belakangan ini. Tanpa terasa bulu kuduk Bian meremang. Seperti Rafli, ia juga tak akan siap bila Jovita tiba-tiba meminta pertanggungjawaban atas kehamilannya.
"Pak Yaqin minta suruh masukin semua referensinya." Ujar Rafli setelah beberapa saat kemudian.
"Yaudah, kasih aja apa mau Pak Yaqin. Orang itu kalau diturutin, semua bakalan mulus dan aman. Pokok nurut." Balas Biantara. Kedua pemuda itu sama-sama sibuk menekuri layar laptop.
"Masalahnya banyak yang nggak sempat aku catat. Jancok! Aku nggak isok konsentrasi e, Bi." Lagi-lagi Rafli mengumpat. "Bisa digorok sama Bapakku kalau sampai tahu." Orang tua Rafli bisa dikatakan cukup berpengaruh di kotanya karena berprofesi sebagai anggota dewan. Tidak heran bila kejadian yang menimpa anaknya akan menjadi pukulan berat karena itu bisa dinamakan aib.
"Orang tuanya Mita yang lebih ngeri sih. Sampai sekarang aja Papanya masih nggak setuju. Padahal anaknya sudah aku kekepin tiap malem."
Biasanya Biantara akan dengan senang hati mengolok-olak Rafli dengan sebutan paling keji di dunia ini. Mengingat gaya berpacaran temannya satu ini yang bebas. Sekarang, apa bedanya dengan Biantara? Yang justru tinggal satu rumah dengan perempuan dan juga tidur bersama di luar ikatan yang sah. Ya, ia lebih jahanam daripada Rafli.
"Bi, sori melenceng. Aku baru inget siapa orang yang jalan sama Mbak Jovita waktu itu. Kalau nggak salah masih ada hubungan kerabat dengan Medina. Aku inget banget pas neneknya Medina meninggal, kita kan datang ke rumahnya tuh, orang itu ada di sana."
Fokus Biantara pada layar laptop buyar mendapati informasi tersebut.
"Nih, lihat!" Rafli menyodorkan ponselnya. Seketika Bian langsung berharap semoga bukan orang yang sama dengan yang terakhir melabrak Jovita. "Totalnya berarti sudah tiga kali aku ketemu sama itu orang. Pertama pas takziah kematian neneknya Medina. Lalu, kedua dan ketiga pas jalan sama Mbak Jovita."
Biantara memilih mengunci mulut, dan lekas mengembalikan benda eletronik itu pada pemiliknya.
"Aku ngasih informasi ini sama sekali nggak ada niat apa-apa. Kita sudah berteman lama. Aku kenal kamu orangnya lurus. Nggak paham sama dunia malam. Tapi, Mbak Jovita itu kerja di kelab, Bi. Bukan di kafe. Dia mungkin menutupinya darimu karena dia nggak mau adeknya tahu pekerjaannya. Itu wajar sih."
"Failnya sudah aku kirim lewat email." Lebih baik Bian menutup topik yang membuatnya tidak nyaman. Ia tidak akan pernah membagi kehidupan pribadi Jovita pada siapapun. Dan Rafli salah, Bian tidak lagi lurus. Belokan yang dilaluinya termasuk drastis. Bisa jadi lebih bobrok.
"Oke." Untung saja Rafli tidak memperpanjang keterangannya mengenai Jovita. Keduanya lantas sama-sama sibuk dengan layar laptopnya masing-masing. Sesekali Rafli menanyakan soal proyek yang sedang dijalani Bian bersama salah seorang dosen. Dan Bian akan menjawab seperlunya.
Suara ponsel Rafli berbunyi, Bian langsung tahu saat Rafli mengatur pembesar suara agar perbincangan mereka sampai di telinga yang lain.
"Ya jadi dong, Rin. Siapa yang nolak makan gratis? Kapan? Sekarang?" Rafli menunjukkan layar ponselnya yang menyuguhkan nama pemanggil.
Biantara memberi isyarat untuk mengiyakan tawaran tersebut, kebetulan ia sedang lapar.
"Oke. Aku sama Bian meluncur sekarang." Ujar Rafli memutuskan sambungan teleponnya. Mereka lantas bersiap untuk pergi. Bian mengabaikan perkataan Rafli yang memintanya untuk tidak membawa tas. Ia berencana akan langsung pulang setelah acara mengisi perut usai.
Lima belas menit kemudian mereka sampai di tempat tujuan. Sebuah Pujasera yang menyuguhkan banyak warung dengan berbagai macam menu.
"Aku pesenin iga bakar sama sayur capcay. Hafal bangetlah aku sama menu favoritmu." Sambut Medina saat Bian dan Rafli baru saja merebahkan bokong di kursi. "Rafli aku pesanin nasi goreng jeroan."
"Makasih, Medi." Balas Rafli sembari menarik piring porsinya mendekat. Bian juga melakukan hal yang sama.
"Yang wagyu habis. Terpaksa deh aku makan yang biasa." Desah Ririn meletakkan senampan menu pesanannya. "Tapi doyan aja sih kalau lagi laper gini. Hish, laper banget. Kalian harus bersyukur punya teman seperti aku. Yang tiap ultah selalu nraktir kalian."
"Kami bersyukur kok." Sambar Rafli dengan mulut penuh. "Apalagi aku, sudah sering banget aku bilang, kalau nanti kamu lulus duluan dan pulang kampung. Nggak akan ada lagi jatah makan gratis buat kita."
"Kalau kamu lebih ke nggak tahu malu sih, Raf." Medina yang sedari tadi sibuk melayani menu teman-temannya ikut nimbrung setelah memesan menunya sendiri. "Dari kita berempat, cuma kamu doang yang nggak pernah nraktir. Pelitnya nggak ketulungan."
"Duitnya habis dipakai pacaran sama Mita, Med." Imbuh Ririn.
"Pacaran doang paling habis berapa sih, Rin? Jatah dari orang tuanya aja tiap bulan bisa dipakai buat beli mobil. Dasarnya aja pelit. Sudah penyakit bawaan."
"Ya ya ya, kalau nggak ngolokin aku emang nggak afdol."
Bian tidak sengaja melihat Jovita dan Katty masuk ke kedai tempatnya melakukan santap siang. Kedua perempuan itu memilih tempat duduk di dekat pintu masuk. Sambil mengunyah, Bian terus memperhatikan Jovita yang belum menyadari keberadaannya. Mau tidak mau apa yang baru ia bahas dengan Rafli beberapa saat lalu terangkat kembali di kepalanya.
"Bi, bukannya itu Mbak Jovita ya?"
KAMU SEDANG MEMBACA
KELIRU (TAMAT)
Romantizm"Sebuah hubungan yang diawali dengan nafsu dan kesalahan, akan berujung pada penyesalan yang tak berkesudahan."