Bagian - 8

791 94 1
                                    

Biantara menahan Medina yang hendak memanggil dan meminta Jovita untuk bergabung, tapi urung dilakukan karena ada seorang laki-laki yang tidak ia kenal menghampiri meja tersebut. Sosok itu cukup mencolok karena tatonya menyebar hampir di seluruh lengan. Tatapan Bian terus terarah pada aktivitas orang yang berada di meja dekat pintu masuk.

"Wih, pacarnya Mbak Jovita gahar banget." Celetuk Medina duduk kembali. Bian ingin menegur asumsi ngawurnya tapi setelah dipikir-pikir itu tidak penting. Jovita tidak akan berhubungan badan hampir sepanjang hari dengannya jika memiliki kekasih di luar. Tapi, Bian menggeleng. Emosi terasa membakar dadanya.

"Pacarnya Mbak Jovita, Bi?" Sekarang giliran Rafli yang melontarkan pertanyaan. Bian memilih fokus pada urusannya dengan piring dan sendok.

"Kalau kataku sih kurang ganteng. Soalnya kan Mbak Jovita cantik banget." Medina memang lebih cerewet daripada Ririn.

"Ada kok cewek yang lebih seneng sama cowok model bad boy gitu. Nggak dilihat dari segi fisiknya. Mungkin aja itu cowok idamannya Mbak Jovita. Dan nggak semua cowok bad boy itu nakal. Itu hanya kesannya doang. Penampilan luar. Banyak kok yang setia." Belum selesai Bian menyaluti sikap Ririn yang berbeda dengan teman yang lain, perempuan itu malah mematahkannya.

"Termasuk kamu juga gitu, ya. Demen sama Kak Gio. Sudah jelas-jelas dia mahasiswa abadi." Timpal Medina. "Padahal kalau kamu sadar, Kak Sandi jauh lebih baik. Lulus tepat waktu. Sekarang lagi kuliah S2 sambil kerja jadi dosen dan usahanya. Kalau disuruh pilih, mending Kak Sandi deh."

"Heh, jangan salah. Gio itu nggak lulus-lulus bukan karena bodoh ya, Med. Dia itu sudah terlalu sibuk sama bisnisnya. Secara dia bayar kuliah sendiri. Kalau nggak kerja, ya mana bisa bayar? Beda sama Sandi yang tajir sejak lahir. Gio lebih digembleng. Lebih dewasa. Dan itu yang bikin aku bangga banget sama dia."

"Ya tapi nggak empat belas semester juga kali."

"Masalah buatmu?!"

"Kamu itu temanku, Rin. Wajar kalau aku pengin ngasih wawasan ke kamu tentang pendamping yang pas. Jadi perempuan itu harus realistis."

"Materialistis sih iya."

Katty lebih dulu mengetahui keberadaan Bian, yang langsung diteruskan pada perempuan di sebelahnya. Biantara mengalihkan pandangannya ke arah lain. Sedangkan teman-temannya masih terus berbincang ngalor ngidul.

"Duitnya Rafli habis buat beli kondom." Cetus Ririn. Biantara tidak terlalu mengikuti topik obrolan. Telinganya hanya menangkap secara acak.

"Astagfirullah hal adzim. Taubat, Raf. Nggak takut kena azab kamu zina muluk?" Medina menepuk-nepuk dadanya dramatis.

"Kalau ngomongin kondom jangan di depan Medina. Habis aku diceramahin." Balas Rafli. "Ya kali pacaran nggak pernah ML. Terus apa gunanya punya pacar sih, Medi?"

"Ya Allah, Ya Rabbi, Rafliiii. Kan bisa juga pacaran sehat. Kegunaan pacar untuk mensupport ke hal yang baik. Bikin kamu semangat kuliah. Semangat ngerjain sekripsi." Medina dan ceramahnya.

"Bulshit Rafli bisa begitu." Ririn tergelak di akhir kalimatnya. "Yang di otaknya pasti sange muluk tiap ketemu Mita."

"Bisa nggak ngomongnya jangan terlalu jujur?" Rafli melotot pada Ririn.

"Astagfirullah hal adzim. Ya Allah, Ya Rabbi. Agak nyesek punya teman kayak gini."

Biantara sudah lebih dulu selesai mengosongkan piring, dan tak lama teman-temannya pun menyusul. Medina dengan cekatan menggambil menu penutup.

"Mau langsung cabut?" Tanya Rafli saat melihat Bian membuka tas untuk mengambil ponselnya.

"Nongkrong dulu kenapa sih?! Buru-buru amat." Sambar Ririn.

"Kapan sih dia pernah mau nongkrong. Baginya, waktu adalah uang." Respon Rafli.

"Ya harus itu. Emangnya kamu, ongkang-ongkang doang duit sudah ngalir sendiri." Ririn mencibir. "Bi, kamu nggak nyamperin Mbak Jovita?" Tanyanya lebih lanjut.

Tidak langsung menjawab, Bian mengamati tiga manusia yang menjadi poros otaknya penuh dengan banyak pertanyaan. "Nggak. Aku mau mampir ke kampus ketemu Pak Hendra." Jawabnya.

"Bisa gitu, ya. Nggak ada loh mahasiswa yang cocok sama Pak Hendra kecuali kamu. Satu-satunya dosen yang nggak pernah aku harapkan jadi penguji. Ngeri." Ujar Ririn.

"Dekne dulur lanang e ketemu gedhe, Rin." Imbuh Rafli. (Saudara laki-laki yang baru bertemu)

"Bian, jangan balik dulu ih. Nih aku pesanin camilan." Medina datang dengan membawa baki berisi banyak camilan.

"Aku sudah kenyang, Medi." Bian tidak melepaskan tatapannya dari depan sana.

"Perasaan dari tadi ngelihatin Mbak Jovita muluk. Samperin napa, Bi. Kayak gitu ternyata diposesifin sama adek."

"Memangnya Kamu nggak tahu kalau itu pacarnya Mbak Jovita?"

"Jadi itu pacarnya Mbak Jovita, Bi?"

Suara-suara di sekitarnya tidak ada yang mendapat perhatiannya. Bian belum memutuskan akan beranjak dari kursinya. Tidak berselang lama, sosok yang menjadi pusat matanya beranjak dari kursi lantas ketiganya berpencar. Bian tidak menyangka Jovita akan menghampiri mejanya. Semua teman-teman Bian segera menyambut dan mempersilakannya untuk duduk.

"Bro, aku bareng mobilnya Medi saja." Kata Rafli, setelah mereka sudah berada di tempat parkir.

"Loh, tadi kamu berangkatnya sama Bian toh?" Tanya Jovita yang sudah bersiap meloncat ke boncengan motor Bian.

"Iya, Mbak." Jawab Rafli. "Nggak apa-apa, aku bareng Medi aja."

"Yaps, biar Rafli kang ngerepotin ini bareng aku, Mbak." Medina ikut bersuara.

Mereka akhirnya berpencar. Bian yang tadinya ingin mampir dulu ke kampus untuk bertemu dosan harus batal karena adanya Jovita di belakang punggungnya.

"Perutmu penuh gini. Kelihatan kenyang banget. Tadi makan apa?" Gumam perempuan itu di pundaknya. Lengan Jovita yang melingkari pinggang Bian begitu erat. Sesekali tangannya meraba-raba perut Bian.

"Sama iga." Jawabnya berlomba dengan suara berisik lalu lalang kendaraan.

"Padahal tadi aku masak sup iga juga loh. Berharap pulang ngampus bakalan dimakan. Eh, kamunya malah udah makan duluan." Nada Jovita yang seperti ini yang membuat Bian tidak bisa berkutik. "Pokoknya nanti harus dimakan. Nggak akan aku masakin lagi kalau sampai nggak dimakan."

"Iya, nanti aku makan."

KELIRU (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang