"Tawarannya Pak Hendra jadi kamu terima? Bakalan padet banget jadwalmu, Bi. Nggak takut ganggu skripsimu?" Medina menanyakan soal dosen mata kuliah Komputasi Bergerak yang beberapa waktu lalu memintanya untuk menjadi asisten dosen. Padahal Bian sudah melakoni profesi tersebut di mata kuliah lain, sehingga membuatnya lumayan sibuk. "Kalau saranku sih mending kamu fokus ke skripsi dulu, Bi. Beres, baru tancap gas. Lagian kamu sudah dijanjiin Om Agam untuk kerja di perusahaannya kan?"
Medina benar, tapi Biantara tidak bisa menolak. Selain karena cukup dekat, dosen pengampu mata kuliah Komputasi Bergerak itu juga sudah terlalu banyak membantunya.
"Tapi nggak enak juga sih sama Pak Hendra. Kamu kan dekat banget sama beliau. Kalian tuh kalau lagi ngobrol vibesnya sudah brothers banget gitu. Ya karena Pak Hendra masih muda sih. Kalau sama Pak Ainul sudah beda lagi tuh. Arek-arek pada bilang bapak dan anak lagi melanjutkan diskusinya di kampus. Hahahaha."
"Kamu jadi mau ditemani ke Gramed?" Bian mengabaikan ocehan cewek yang duduk di sebelahnya. Sementara ia fokus mengemudi sambil mengawasi padatnya jalan raya.
"Jadi dong!" Jawab cewek itu langsung. "Nggak enak sendirian, Bi. Mau ngajakin Ririn, aku tuh nggak terlalu cocok. Dia cerewet banget. Nggak sabaran."
Biantara tidak membantah, Medina baru saja menghubungkan dirinya dengan pemilik marketplace ternama di negara ini. Anggap saja waktu luangnya kali ini untuk balas budi.
Hampir satu jam mereka berada di toko buku. Medina masih asik memilih buku dekorasi yang memang menjadi kegemarannya selama ini. Biantara ikut mengimbangi kesibukan cewek itu dengan melihat-lihat beberapa buku tentang pemrograman.
"Aku sudah, Bi." Cewek itu sudah berdiri di sampingnya dengan membawa dua kantung kresek penuh. "Gila, segini doang habis dua juta loh." Ujarnya sambil mengangkat kantong belanjaannya di hadapan Bian.
"Kenapa dulu nggak ambil jurusan desain interior aja sih, Medi?" Tanya Bian. Keduanya melangkah beriringan keluar dari toko buku menuju tempat parkir bawah tanah.
"Nggak! Aku nggak perlu kuliah desain interior untuk jago make over ruangan. Itu bakat, Bi. Sebenarnya, tanpa aku beli buku-buku ini, kepalaku sudah penuh sama ide." Papar Medina sembari memasang sabuk pengaman. Bian mulai menjalankan kendaraannya.
"Kan kamu bisa lebih pro lagi kalau sekolah ilmunya." Kilah Biantara, melihat bakat teman satu angkatannya ini yang mulai tersalurkan akhir-akhir ini.
"Meskipun aku nggak pinter ngoding sama kalau lagi praktikum jaringan komputer suka bingung sendiri nggak jelas, tapi aku suka kok. Aku menikmati proses ini. Aku seneng ngerjain laporan sambil bergadang."
"Jurusan kita nggak cuma perkara bikin laporan, Medi."
"Iya sih."
"Pak Agam aja tahu kalau bakatmu di dekor. Katanya dulu waktu lulus SMA dan mau nentuin jurusan yang akan kamu ambil, kamu konsultasi dulu ke dia."
"Aku lihatnya karena Om Agam sukses. Makanya aku kepincut pengin mendalami. Biar bisa seperti Om Agam. Nggak tahunya, sekarang aku malah sering dapet duit dari hasil make over rumah orang."
"Dan uangnya kamu pakai buat bayar UKT."
Cewek itu meringis kecil. "Nggak usah ngeskak mat gitu dong, Bi. Makanya aku tuh pengin cepat lulus dan mungkin nanti kuliah lagi yang sesuai sama bakatku. Kalau sekarang disuruh ngedouble rasanya aku nggak sanggup."
Biantara mengangguk. "Bulan Juni harus wisuda bareng-bareng."
"Yaps, harus." Sambar cewek itu cepat. "Ririn masih ada mata kuliah yang ngulang. Tapi dia enjoy sih. Sebenarnya Ririn itu pinter matematika, tapi karena dia sering bolos dan Bu Roro nggak suka sama mahasiswi yang pemalas makanya nggak dilulusin."
"Rafli juga katanya belum bisa ikut ujian bulan depan. Kemarin ada masalah sama programnya." Bian menginfokan kondisi temannya yang lain.
"Salah sendiri bikin aplikasi njlimet, susah banget. Ya gitu deh akhirnya. Kalau menurut aku sih mending skripsi bikin yang gampang dan biar cepat kelar. Kan nggak dibayar, Bi. Ya walaupun nanti yang terbaik bakalan dipajang di baliho depan kampus dan dimuat di stasion televisi inspiratif. Tapi, kalau bikin dia telat lulus ya gimana?! UKT mahal, Bi."
Jika sudah terlalu banyak bicara, Bian memilih diam. Kurang beberapa menit lagi mereka sampai di asrama.
"Kalau abah sih nggak pernah nuntut aku harus lulus cepet. Yang penting jangan sampai molor. Karena memikirkan kedua adikku yang masih harus dibiayai juga."
"Ck, abahmu nggak bakalan kesusahan soal biaya, Medi." Mengetahui jika ayah Medina adalah seorang guru besar di kampus dan ibunya seorang dokter spesialis.
"Hih, tetap saja aku harus tahu diri. Sudah dicetak nggak pernah manja dari kecil." Tukas Medina membela diri. "Eh, mobilku diparkir di Kopma, Bian!"
"Oh, di Kopma? Bukan di parkiran asrama? Nggak kejauhan?" Biantara terpaksa putar balik.
"Parkiran asrama nggak luas. Nanti aku kebingungan kalau mau keluar."
"Kamu ini sudah berapa tahun punya mobil dan bisa nyetir, kok masih aja kaku."
"Dulunya aku sering diantar sopir. Makanya setelah kursus aku nggak bisa-bisa. Sekarang aja aku nekat biar kalau ke mana-mana nggak naik Grab lagi."
Setelah memarkir kendaraan roda empat milik Medina pada tempatnya, kedua anak manusia berlawanan jenis itu segera berpisah. Biantara beralih pada motor maticnya yang sedari sore diletakkan di parkiran depan fakultas. Tidak lupa ia mampir ke warung untuk membelikan makan malam, setelah tadi ia membaca pesan dari Jovita yang mengabarkan bahwa perempuan itu kelaparan.
"Kok lama sih, Bi." Gerutu Jovita, saat Biantara baru saja masuk rumah dan menutup pintu.
"Ya kan baru kelar." Ujarnya sembari menyodorkan kantong kresek berisi menu makan malam. "Aku ke kamar dulu. Tadi aku sudah makan di rumah Omnya Medina."
"Tahu kamu sudah makan, aku nggak nitip, Bi. Bikin mi instan aja aku cukup kok."
Biantara sudah hendak meninggalkan dapur saat Jovita mengeluarkan kalimat yang membuatnya menghentikan langkah, lalu berbalik. "Tadi kenapa nelepon? Aku masih nganterin Medina ke Gramed."
Perempuan yang mengenakan terusan tanpa lengan itu menatapnya lama, sebelum berkata, "Oh, pantes. Kelihatannya betah banget."
Bian mengerutkan kening tak mengerti.
"Mending kamu mandi dulu sana deh. Bau kecut pasti, seharian di luar rumah."
Tidak ingin ambil pusing, Bian kembali melangkah masuk kamar. Meletakkan tas ransel dan membuka sepatu. Lalu bersiap untuk membersihkan diri. Setelah lima belas menit, ia sudah lebih segar dengan atasan kaos dan celana pendek. Diliriknya jarum jam masih menunjukkan pukul setengah sembilan malam. Bian duduk di kursi belajar dan mengeluarkan laptopnya dari tas. Detik selanjutnya ia sudah sibuk menekuri layar di depannya.
Minggu depan ia akan melangsungkan ujian skripsi. Biantara membuat sebuah aplikasi yang memudahkan orang menemukan letak lokasi yang dicari. Aplikasi yang bisa diakses di sistem operasi android maupun ios. Bersyukur karyanya ini mendapat apresiasi dari dosen pembimbingnya. Selain daripada itu, Bian juga sudah mengantongi restu untuk mengujikan aplikasi miliknya ke hadapan penguji sesegera mungkin. Dalam satu angkatan kali ini, hanya Bian seorang yang diperbolehkan lulus tujuh semester.
"Aku pikir lagi tidur. Nggak tahunya masih ngejogrok depan laptop." Jovita tiba-tiba muncul tanpa mengetuk pintu.
Bian hanya menoleh sekilas sambil menjawab, "Lagi ngecek materi bentar. Besok ada praktikum pagi."
"Nggak capek apa? Tadi kamu kan sudah seharian sibuk." Perempuan itu mendekat dan seperti biasa langsung duduk di pangkuannya. Bodohnya Bian, sama sekali tidak bisa menolak.
"Bentar, aku tutup dulu laptopnya." Bian mengulurkan lengannya ke depan, tapi konsentrasinya sudah ambyar. Jovita sedang berusaha membuka reseleting celananya.
"Kamu selalu suka sama sentuhanku, hem?" Bisik perempuan itu sambil mengigiti telinganya.
Biantara tidak bisa tidak mendesah. Kebutuhannya sebagai seorang lelaki normal segera terbangkitkan. Ia hanya bisa pasrah.
KAMU SEDANG MEMBACA
KELIRU (TAMAT)
Romance"Sebuah hubungan yang diawali dengan nafsu dan kesalahan, akan berujung pada penyesalan yang tak berkesudahan."