Bagian - 11

616 73 6
                                    

"Ke kantin yuk?!" Tiba-tiba saja Medina sudah berdiri di samping meja kerjanya saat Biantara masih sibuk menekuri kode-kode pemrograman di layar komputer. Lebih dari satu minggu bekerja di perusahaan ini, Biantara selalu melewatkan makan siang karena deadline proyek yang sudah ditargetkan selesai awal bulan.

"Aku makan di sini aja." Jawab Bian tidak mengalihkan pandangannya dari benda kotak di depannya.

"Makan roti lagi?! Ya ampun, Bi ... kamu kerja di sini bukannya terpenuhi gizimu malah jadi kurus ntar!" Medina masih belum bergerak dari tempatnya berdiri. "Ayolah, nggak usah terlalu diforsis gitu. Kesehatan itu yang utama. Kalau kamu sakit, kerjaan malau jadi berantakan. Lagian ini kan jam istirahat, gunakan sebaik-baiknya."

Barulah Bian mengangkat wajahnya karena merasa terusik. "Ini lagi nanggung, Medi. Mumpung otakku encer." Ujarnya meminta cewek tersebut paham akan kondisinya.

"Terserah kamu deh. Aku ke kantin duluan. Nanti aku beliin gado-gado, ya. Biar kamu nggak terus-terusan ngunyah roti. Kasian banget lambungmu."

Tak lama kemudian ponselnya berbunyi. Biantara lupa tidak menonaktifkan panggilan suara. Jovita. Biantara mendesah, satu pengganggu sudah enyah, timbul lagi yang lain. Biantara memilih untuk mengabaikannya.

Tidak akan ada habisnya menanggapi tuduhan Jovita yang mengatakan ia berbohong. Biantara harus tinggal di wisma dan belum bisa pulang sama sekali. Tentu saja, Bian langsung memberitahu Jovita tentang proyek dadakan yang tengah ia jalani, tapi Jovita tetap marah dan menuduhnya yang bukan-bukan.

Sial! Perempuan memang makhluk paling membingungkan. Bian benar-benar sedang bekerja, dan itu nyata. Kenapa Jovita harus malah menuduhnya berbohong? Sama sekali tidak ada untungnya bagi Bian. Tidak masuk akal sekali!

Menarik napas panjang dan membuangnya pelan, berurusan dengan Jovita selalu menguras otak dan pikirannya. Bian sampai harus berhenti untuk menenangkan diri sejenak sebelum kembali fokus pada layar komputer di depannya.

"Bapak Agam masih di dalam, ya?" Suara khas wanita paruh baya membuat Biantara mendongak dan waktu terasa berhenti berputar. Wanita paruh baya itu bersama seorang gadis yang ditaksir seusia dengannya. "Pak Agam belum keluar kan?" Ulangnya.

Segera tersadar sedang melamun, Bian buru-buru mengangguk. "Iya, Bu ... Bapak Agam belum meninggalkan ruangan."

Kedua sosok itu lantas pergi dari hadapannya setelah mengucapkan terima kasih. Biantara merasa baru kali ini melihat perempuan yang selain cantik, tapi juga anggun dalam berbusana. Bian seperti terhipnotis, terseret pada pusaran magnet dengan daya ikat yang sangat kuat, sehingga ia tidak bisa mengendalikan tubuhnya agar tidak oleng.

"Heh, ngelihatin apaan sih? Sampai nggak kedip gitu?" Sentakan di pundaknya membuat Bian kaget. "Aku pikir beneran sibuk. Nih, aku bawain gado-gado. Dimakan gih!"

Tidak banyak kata, Bian langsung menerima satu bukus styrofoam dari Medina sambil melangkah menuju dapur kantor. Medina mengekor di belakangnya. Masih tersisa lima belas menit waktu istirahat keduanya. Bian menempatkan diri di kursi bar, disusul dengan Medina di sampingnya.

"Medi, nanya dong." Gumam Bian sambil menyuap sayur mayur yang teraduk dalam satu porsi gado-gado.

"Dih, tumben banget. Sejak kapan kamu sopan banget begini? Hahahaha. Biasanya nggak pernah minta izin dulu kalau mau nanya. Mau nanya apa sih, Bian?" Nada suara Medina terdengar menyebalkan. Bian diam sejenak, tidak langsung menyuarakan pertanyaan. "Buruan deh mau tanya apa?! Pakai mikir segala. Bikin curiga aja."

"Hubunganmu sama Pak Agam itu sedekat apa sih?" Ragu-ragu Bian mengatakannya. Entah apa yang membuatnya mendadak penasaran dengan silsilah keluarga pemilik perusahaan tempatnya bekerja.

"Sedekat apa? Om Agam itu Om aku, Bian. Jangan mikir macem-macem deh." Sembur Medina nyolot.

"Bukan gitu, Medi. Maksudku, kamu sama Pak Agam itu saudara dekat? Sedekat apa?" Bian meluruskan.

"Oh, jadi itu yang kamu tanyakan. Ya, Om Agam itu sepupunya Abah. Jadi, Om Agam itu anak Budhenya Abah. Ngerti nggak? Kok ribet aku ngomongnya."

"Ngerti. Maksudnya, orang tua abahmu saudara kandung orang tua Pak Agam gitu kan?" Bian memperjelas.

"Nah iya, bener. Tapi kalau Om Agam itu anak tunggal. Beda sama Abahku yang punya saudara banyak. Keluarga inti jadi big family gitu."

Bian mengabaikan bagian tentang keluarga Medina. "Kalau Pak Agam punya anak berapa?"

"Anak Om Agam ada tiga. Pertama cowok sudah nikah, usianya di atas kita banget. Kedua cewek di bawah kita setahun, dan yang terakhir cowok lagi." Terjawab sudah rasa penasaran yang mengendap di kepala Bian.

"Anak-anaknya semua kuliah di Malang? Yang sudah nikah kerja di mana?" Tanya Bian lebih lanjut.

"Kaleela kuliah di Jakarta sih. Aku kurang paham sama Mas Abyan, soalnya usianya di atas kita jauh. Tapi dia dokter dan sekarang dinasnya di luar kota. Domisilinya nggak di Malang pokoknya. Kalau Barra, yang anak bungsu sekarang kuliah di Malang." Jawaban Medina justru membuat rasa penasaran Biantara semakin menjadi.

"Siapa tadi nama anaknya yang cewek?"

"Kaleela? Seharusnya dia dibawah kita. Tapi karena SMAnya dia masuk akselerasi, lulus kuliahnya jadi barengan sama kita." Obrolan mereka terjeda sejenak. Bian bingung mau bertanya apa lagi. "Cantik banget dia, Bi. Sumpah, aku nggak bohong. Sudah gitu anaknya ngalim pula. Idaman para pria pokoknya. Mau aku kenalin nggak? Hahahaha."

Biantara tidak langsung menjawab. Ditatapi Medina yang melempar senyum jahil. Belum genap satu bulan hidup mandiri dan bahkan gaji dari pekerjaannya saja belum turun, tapi ia sudah berani aneh-aneh dengan urusan lain. Bian segera memalingkan wajahnya. "Nggak, Medi." Tolaknya tanpa pikir panjang.

"Ck, memangnya aku nggak tahu siapa tadi yang kamu lihat sampai nggak berkedip? Kamu lihatin Kaleela kan? Bian, Bian ... aku itu sudah cukup kenal kamu. Empat tahun loh kita temenan. Aku bisa ngebedain kamu dan Rafli. Selama ini kamu nggak sekalipun ngelirik cewek. Ya, aku paham sih. Karena mungkin kondisi kamu dan kamu masih ingin fokus dulu ke pendidikan. Jadi saat tiba-tiba kamu ngelihatin cewek sampai segitunya, tandanya itu cewek sukses bikin kamu tertarik."

Biantara kehilangan suara. Semua yang dikatakan Medina memukulnya telak.

"Santai aja! Nanti aku kenalin. Kalau kamu beneran jodoh sama Kaleela, kita bakalan jadi saudara, Bi. Jujurly, aku ikut seneng bayanginnya." Medina sudah berpikir jauh ke depan. Intonasinya menggebu-gebu khas Medina selama ini. "Serius, aku setuju banget kalau Kaleela bisa sama kamu. Aku sudah kenal kamu banget. Aku percaya kalau kamu nggak bakal nyakitin sepupuku."

"Ngomong apa sih, Medi?" Untung saja isi styrofoam di hadapannya sudah tandas, sehingga Bian bisa mengakhiri obrolannya dengan makhluk cerewet ini. "Makasih gado-gadonya. Aku balik dulu ke mejaku."

"Bian, aku belum selesai ngomong! Beneran nih nggak mau dikenalin sama Kaleela? Awas nyesel!"

Suara Medina tertelan oleh langkah kaki Bian yang semakin menjauh.

KELIRU (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang