Bagian - 4

916 93 0
                                    

"Kok kamu lama, warungnya antri ya?" Tanya Jovita begitu sudah berada di dapur. Ia langsung mengambil dua piring lalu dituangi dengan nasi. Sedangkan Biantara meletakkan teko yang sudah diisi dengan air di atas kompor. Kebiasaan bocah itu yang selalu menyandingkan kopi panas sebagai pelengkap makan siangnya.

"Kamu mau sekalian dibuatin cokelat?" Tawar bocah itu yang dibalas dengan gelengan. Tadi pagi ia sudah mengkonsumsi minuman manis.

"Aku minum air putih aja." Pungkas Jovita lalu segera menempatkan diri di kursi dan mulai menyantap makanannya.

Tidak lama, Biantara ikut menyusul, duduk di samping kirinya.

"Cah jamurnya enak banget deh. Beda sama yang biasa aku makan. Bumbunya ini lebih berasa gitu." Setelah beberapa saat Jovita mengemukakan pendapatnya tentang rasa masakan warung langganannya.

"Tadi di warung biasanya habis. Akhirnya aku belikan di belakang kampus." Tanggap bocah itu. Artikulasi omongannya tidak terlalu jelas karena mulutnya terisi penuh

"Ya ampun, Bi, kalau emang habis yaudah nggak usah dibeliin. Repot-repot banget. Pantesan kamu tadi lama, ternyata nyari di warung lain?!" Jovita menoleh. Tatapan kedua bertemu, Biantara mengangguk polos.

"Bukan warung sih, tadi lebih kayak restoran. Makanya rasanya enak. Lebih bersih. Bungkusnya juga lebih rapi. Dan lumayan mahal. Aku pernah sekali makan di situ pas waktu ultahnya Medina."

Lagi-lagi Jovita melempar tatap. "Aduh, Bian ... habis dong uangmu?!"

Biantara terlihat sangat kelaparan. Cara makan bocah itu sudah seperti orang yang tidak makan selama berhari-hari. "Ya nggaklah! Masih cukup kalau cuma buat makan kayak gini doang. Harus kamu habisin itu. Sayang kalau nyisa."

"Kamu nggak mau nyobain?" Jovita menggeser piring berisi cah jamur ke arah bocah di sampingnya.

"Memangnya kamu sudah?" Tanya bocah itu. "Kalau sudah aku habisin."

Jovita tidak bisa manahan tawanya. "Makan deh, habisin. Kalau makan pelan kali, Bi. Kayak orang kelaperan banget gitu."

"Emang laper banget. Aku pikir kamu masak, tadi di kampus sengaja nggak ke kantin. Rencananya nyampe rumah mau langsung makan. Nggak tahunya ada kerusuhan. Ketunda lagi."

"Sori ...." Gumam Jovita. Sebenarnya tadi ia sudah bersiap ke pasar untuk membeli bahan untuk dimasak, tapi gagal karena ada Pak RT membawa pengaduan.

Lima belas menit berlalu keduanya sudah selesai dengan urusan santap siang. Jovita langsung mencuci peralatan makannya dan diletakkan di rak. Biantara sudah berpindah ke ruangan yang biasa digunakan untuk bersantai, menekuri layar laptop yang berada di pangkuannya, tangan kanannya memegang cangkir kopi yang sesekali disesap pelan. Jovita mendekat, merebahkan diri di sofa lain dan menyalakan televisi.

"Ya, Medi? Ini aku lagi di rumah. O gitu. Bentar lagi aku ada asistensi. Sekarang aku lagi nyiapin materi. Kalau malam gimana? Nanti aku samperin ke asramamu."

Medina. Ya, Jovita cukup mengenal semua teman dekat Biantara termasuk gadis itu. Meski tatapan Jovita fokus ke layar televisi, namun telinganya menguping dengan fasih. Konsentrasinya untuk tayangan di depan menjadi terbelah. Rasa penasaran terasa memenuhi tengah dadanya.

"Mau ke mana, Bian?" Jovita mendongak saat bocah itu bersiap memasukkan laptop ke dalam tas.

"Ke kampus lagi." Jawabnya singkat.

"Terus, nanti malam mau ngapain ke asrama Medina?" Akhirnya meluncur juga pertanyaan itu.

"Mau ke rumah Omnya Medi. Kapan-kapan aja aku ceritain. Sekarang aku buru-buru." Lalu, bocah itu amblas dengan secepat kilat. Hingga suara motornya sudah tidak terdengar lagi, Jovita masih diam termenung.

Jovita merasa ada yang salah dengan tubuhnya. Sikap berlebihan dan tidak enak yang tengah merundung pikirannya sama sekali tidak bisa dianggap main-main. Ini sangat aneh. Seumur hidup Jovita tidak pernah merasa segulana sekarang. Melepas Biantara pergi kuliah dan bertemu dengan teman ceweknya mengapa menjadi sangat berat? Keduanya bahkan merencanakan untuk bertemu di malam hari. Astaga, ada apa dengannya?!

Untuk mencari pengalihan dari rasa tak tenang, Jovita memilih berselayar ke video berbagi mencari tayangan yoga. Setelah menemukan yang cocok, buru-buru ia berganti pakaian dengan busana yang cocok untuk olahraga. Baru saja ia akan memulai pemanasan, pintu rumahnya diketuk, Jovita mengurung diri masuk ke dalam kamar dan berbalik untuk membukakan pintu. Ia sedikit menggerutu karena urusannya harus terganggu.

"Bang Alex?!" Pekiknya kaget. Tidak menyangka sosok yang ia hindari muncul di hadapannya.

"Halo, Cantik. Akhirnya ...." Lelaki yang usianya nyaris sepuluh tahun di atasnya itu langsung nyelonong masuk sebelum sempat dipersilakan.

"Bang Alex tahu dari mana kalau aku tinggal di sini? Pasti Katty?" Jovita menyebelahi tamunya yang sudah lebih dulu duduk di sofa.

"Gampang! Bukan Katty. Dia kan bestiemu, nggak bakal ngaku meskipun ditampar pakai duit segebok." Sambar lelaki itu.

Jovita menghembuskan napas panjang. Dari awal seharusnya Jovita berterus terang atas niatnya mengundurkan diri dari kelab, bukannya bertingkah seperti maling yang tak tahu aturan.

"Sebenarnya kamu ini kenapa? HP nggak aktif. Katanya cuti cuma seminggu, tapi ini sudah lebih dari sebulan nggak nongol-nongol. Kamu dicariin pelanggan tuh. Aku sampai bingung mau ngasih alesan ke mereka." Bang Alex mulai mengutarakan maksud kunjungannya.

"Sori, Bang. Harusnya aku ngomong dari awal tapi waktu itu aku belum yakin banget. Giliran sudah yakin, ngomongnya yang nggak enak sama Bang Alex, mengingat selama ini Abang sudah baik banget sama aku."

"To the point saja! Kamu sudah bikin aku rugi selama sebulan, Jov. Nggak pernah sadar kamu!"

Jovita menipiskan bibirnya. "Aku mau berhenti, Bang."

"Maksud kamu?"

"Aku mau mengundurkan diri. Rencananya, setelah ini aku mau cari kerja di restoran atau tempat makan gitu. Aku mau berhenti kerja di kelab."

Tawa Bang Alex seketika pecah. Jenis tawa yang tidak benar-benar murni karena baru saja menyaksikan sesuatu yang lucu. Tapi lebih kepada tawa sumbang, tawa mengejek dan merendahkan. "Kamu sudah lupa, pernah bilang ke aku kalau kamu sangat menikmati pekerjaanmu? Kamu sendiri yang bilang kalau menjadi pelacur itu sangat menyenangkan. Kamu bisa dapat duit berlimpah, dan kebutuhan biologis tercukupi tanpa perlu repot-repot menikah."

Jovita menggeleng. "Aku ngomong kayak gitu lima tahun yang lalu, Bang. Nggak ada yang tahu kalau pola pikirku akan berubah setelah beberapa tahun kemudian."

"Nggak bisa, Jov!"

"Gimana, Bang?" Jovita mengerutkan keningnya.

"Aku nggak bisa melepasmu. Kamu itu jadi favorit. Kalau nggak ada kamu, kelab bakalan sepi pengunjung."

"Bang Alex jangan berlebihan gitu. Mana ada kelab paling gedhe di kota ini sepi pengunjung."

Hening. Lelaki itu menatapnya, Jovita menebarkan senyum penuh permintaan maaf.

"Kamu serius?" Tanya lelaki itu menegaskan.

Jovita mengangguk. "Iya, Bang. Lebih dari serius malah."

"Sebenarnya apa yang bikin kamu berubah gini, Jov? Jangan-jangan ada orang yang menawarimu gaji lebih gedhe daripada aku. Mending kamu jujur deh. Mungkin dengan begitu aku jauh lebih menerimanya."

"Nggak, Bang. Itu tadi aku sudah jujur. Aku berhenti karena murni ingin berhenti."

"Kamu bertaubat gitu maksudnya? Serius? Aku benar-benar nggak percaya ini terjadi padamu."

Tidak sepenuhnya, tapi minimal Jovita mengurangi jumlah laki-laki kencannya. "Aku hanya ingin berhenti saja, Bang. Aku minta maaf kalau keputusanku bikin Bang Alex kecewa. Tapi aku mohon Bang Alex bisa mengerti."

KELIRU (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang