1| Painkillers

354 25 0
                                    

Happy reading!
Sorry for typos 🤪

***

Rutinitas pagi yang aku sukai adalah memandang lautan kendaraan yang berlalu-lalang di business district melalui kaca jendela apartemenku. Menyeduh segelas kopi hasil manual brew. Menikmati sarapan pagiku yang sederhana dan mulai merencanakan agendaku hari ini. Beberapa list tugas yang menunggu sejak weekend kemarin mulai memenuhi kepalaku. Beberapa aturan SOP yang perlu diperbarui, meeting mingguan, juga tentang recruitment baru yang akan dimulai. Ah hanya membayangkan jika sepanjang minggu pasti akan sibuk membuatku mendesah.

Ah, nanti sore aku juga harus menjemput keponakan Papa yang berencana untuk tinggal dan bekerja di Jakarta. Papa memiliki sepupu perempuan yang kini tinggal di Jawa Timur. Setahuku, sepupuku ini memiliki pekerjaan yang cukup mapan di Surabaya, tapi entah kenapa dia memilih itu memperbarui karirnya di kota sesak seperti Jakarta ini.

Padahal menurut pribadi, aku berencana untuk pensiun dan beristirahat di kota yang tenang tanpa hiruk piruk dimana hari hanyalah sesuatu yang dilalui dengan bekerja tanpa henti. Tiap kali mengedipkan mata, aku hanya akan menjalani hari yang lainnya lagi. Hidup yang hanya diisi dengan pekerjaan tanpa henti. Ini melelahkan, tapi cukup membuat isi kepalaku sibuk untuk melakukan hal bodoh lainnya.

Aku melirik jam dinding yang menunjukkan pukul tujuh pagi. Aku baru saja akan melangkah menuju kamar mandi saat tiba-tiba perut bagian kananku yang terasa nyeri. Aku melihat kalender haidku, memang tinggal beberapa hari lagi aku akan bertemu dengan tamu bulanan, tapi biasanya mereka datangnya mundur. Aku mencoba mengabaikan rasa sakit dengan meminum obat peringan rasa sakit. Selang beberapa saat, aku merasa lebih baik lalu melanjutkan kegiatan yang sempat tertunda.

Pekerjaan adalah satu hal yang aku jadikan kegiatan favorit setelah memasak dan menonton konser. Aku bisa mencurahkan segala passion yang aku miliki, mungkin rasa yang bersisa dalam kehidupanku yang menjemukan. Saat sudah lelah dengan bekerja, aku akan memasak, memberikan asupan yang cukup pada tubuhku yang sering pingsan karena mal nutrisi. Aku harus mengurus diriku sendiri, karena sudah tidak ada orang lain di muka bumi ini yang mau repot-repot mengurusiku. Lalu, reward atas semua pekerjaan yang aku lakukan adalah menonton konser.

Seperti biasa aku pergi ke kantor lebih awal 15 menit sebelum jam masuk. Itu adalah kebiasaan normalku. Jika ada urgensi lain, biasanya aku bisa datang satu jam lebih awal dari kebanyakan karyawan lain.

Morning guys,” sapaku ketika melewati kubikel milik Giska dan Sultan yang sudah lebih dulu datang. Aku menarik kursi di kubikelku, meletakkan tote bag Prada milikku yang sudah belel karena terlalu lama aku pakai. Tas pertama yang aku beli dengan seluruh gaji, juga menguras tabungan kuliahku beberapa tahun.

Mungkin inilah yang menyebabkan rekan sedivisi yang melabeliku sebagai anak konglo karena mampu membeli tas keluaran luxury brand. Meski mereka menemukan kehidupanku agak jomplang karena meskipun tasku Prada, sepatu Jimmy Choo, dan beberapa kali menggunakan setelan Zara, aku masih setia menggunakan mobil butut keluaran 12 tahun yang lalu. Aku juga sering membawa bekal daripada jajan di luar. Mereka jadi mempertanyakan kredibilitas konglomeratku yang tentu saja aku jawab dengan tidak. Aku bukan anak konglomerat. Aku anak yatim yang dulu pernah menjadi gelandangan sebelum sampai di tempatku sekarang ini. Tapi mereka sama sekali tidak mempercayaiku. Terserah mereka saja.

Aku baru saja menyalakan PC ketika Giska sudah berdiri di sampingku, sedangkan Sultan ada di sisi yang lain, aku mengerutkan alis, biasanya kalau gini sih pasti ada gosip terbaru. “Lo udah denger gosip terbaru belum?”

“Paan?” tanyaku agak malas kalau Giska sudah mengulur-ulur informasi macam ini. Aku suka yang to the point saja, mengingat masih banyak pekerjaan yang harus aku urus sebelum Freya datang. Freya adalah HR Manager kami sekaligus atasan langsungku.

Extrication Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang