3| Home Wrecker

183 23 0
                                    

Happy reading!
Sorry for typos 🤪

***

Aku merasakan adanya rangsang cahaya berlebih yang membuat tidurku tidak nyenyak. Hal ini bisa disebabkan oleh sensitifitasku terhadap cahaya ketika tidur. Aku tidak bisa tidur nyenyak bila tidak dalam keadaan gelap, atau cahaya yang minim. Untukku, tidur dengan lampu menyala terang benderang hanya membuat tubuhku lebih cepat lelah saat terbangun di pagi harinya.

Aku jadi memercingkan mata ketika sorotan cahaya yang berasal dari jendela, mencoba menghalangi cahaya itu dengan telapak tanganku.

Sorry, cahayanya ganggu tidur kamu, ya?” tanya Atha dengan wajah yang lebih segar, wangi, dan cantik, bersahaja.

Aku menyernyit ketika menyadari keberadaan sosok lain yang tertidur duduk di kursi sebelah kananku. Ia menutupi kepalanya yang bersandar pada bed-ku.

Aku menoleh pada Atha yang hanya menunjukkan tatapan tak paham, “pas aku datang dia udah di situ,” jelas Atha tanpa perlu kutanya.

Harus aku akui Atha bukan tipe orang yang parno, atau suka berlebihan. Keberadaan makhluk itu—yang jelas padahal tidak ia kenal—hanya ia biarkan saja. Entah Atha percaya pada orang itu, atau Atha memang se-careless itu. Aku memutuskan untuk membiarkannya, “lo datang jam berapa tadi?”

Atha melirik jam tangannya, “habis subuh deh, kayaknya. Udah aku bawain tas kamu, tuh,” tunjuk Atha pada sebuah tas yang kini ada di nakas meja.

Thanks a lot, ya Tha. Hari ini rencana lo mau ngapain? Udah mulai kerja?” tanyaku masih dengan suara yang serak. Aku berdeham pelan.

“Belum kok. Masih minggu depan. Aku bisa nungguin kamu,” jelas Atha.

Aku tersenyum lega. Entah mengapa, hanya dengan ucapan sederhana itu seolah melegakan hatiku yang gelisah. Harusnya aku sudah terbiasa dengan sendiri. Harusnya aku meminta Atha agar mendahulukan keperluannya dulu—dan bukan malah menahannya dengan keadaanku di sini. Tapi kalimat itu tak mampu terlontar, lagi-lagi kata terimakasih yang malah keluar dari bibir tipisku, “thanks again, Tha. Tapi kalo lo beneran ada urusan lain, go ahead. Gue nggak mau jadi penghambat lo, ya.”

“Nggak ada, Kina. Lagian, mana ada orang yang sendirian di RS kalau udah begini. Meskipun bukan operasi besar, tapi usus buntu kan juga bahaya,” ucap Atha. “Aku tau kalau kamu terbiasa sendiri. Keluargaku juga jauh, I’m really sorry.”

Gantian aku yang menggeleng, “please don’t mention it. Gue terbiasa mandiri kok. It’s not big problem.”

Lalu tiba-tiba aku merasakan dahiku disentil dengan pelan dari arah samping, saat itulah aku baru sadar kalau kini laki-laki yang tadi tidur di sebelahku sudah terbangun. Ia masih dengan wajah bantal, khas bangun tidur dengan rambut agak acak, memandangku dengan sebal.

Not a big problem, your ass!” umpatnya memarahiku.

“Sakit, moron!” balasku mengumpatinya karena sentilannya yang membuat dahiku ngilu—walau sebenarnya cuma dikit.

“Kamu itu kalau udah operasi gini aja baru bilang. Kalau udah sekarat, detik pencabutan nyawa, juga baru ngomong kan?!”

Aku memandangnya sengit, “apaan sih, pagi-pagi ngomel! Telinga gue sakit. Kalo lu cuma mau bikin gue pusing, mending lo balik aja. Gue udah ada guardiannya, tuh dia,” tunjukku pada Atha yang meringis geli melihat interaksiku dengan laki-laki asing baginya itu.

Tapi tampaknya Adam lebih sigap membaca suasana. Ia memperkenalkan dirinya terlebih dulu, “gue Adam. Mantan dia.”

Nonsense!”

Extrication Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang