Happy reading!
Sorry for typos 🤪***
Perasaan gelisah tidak bisa aku sembunyikan lagi ketika bed yang aku gunakan di dorong menuju ruang operasi. Meskipun bukan operasi yang besar, tapi tetap saja ini adalah kali pertama aku menjalani pembedahan dalam tubuhku. Aku tidak takut selama menjalani serangkaian tes. Aku tidak takut jarum suntik. Bahkan aku sempat menjadi pendonor darah saat masa SMA dan awal kuliah. Aku harus berhenti karena darah rendah.
Ketika berada di OK, dokter anestesi mengajakku mengobrol selagi menyuntikkan bius padaku. Dia memintaku agar tidak tegang karena prosedur ini akan selesai sebelum aku menyadarinya nanti. Meskipun sedikit pucat karena gugup, aku mengaminkan ucapannya saja.
Ketika dokter utama datang, aku memandangnya saksama. Ia tampak mensterilkan tangan dan memakai semacam apron medis, serta terusan operasi. Ah, entah kenapa aku merasa déjà vu dengan keadaan ini, seolah aku pernah melaluinya sebelumnya.
“Dokter, apa saya akan baik-baik saja setelah dioperasi?” tanyaku.
Dokter Aksa lagi-lagi memandangku tajam dengan mata bulat dan kacamata framelessnya. Hanya saja kali ini mulut dan dahinya tertutup masker dan penutup kepala yang hanya meninggalkan mata dengan kacamatanya, juga alisnya yang tebal. Aku melihat alisnya berkerut.
“Bagaimana menurutmu?” ucapnya malah balik bertanya.
Aku mencibirnya terang-terangan, “ya saya kan tidak tau makanya saya tanya. Dokter kalau terjadi apa-apa sama saya, apa saya bisa langsung ke surga?” tanyaku dengan polosnya.
Aku bisa mendengarkan beberapa reaksi tawa yang tertahan dari para penghuni OK yang lain. Tapi aku hanya memperhatikan respon dokter Aksa yang tetap saja datar.
Dokter Aksa ini tipe manusia irit bicara. Biasanya orang pintar modelan seperti dia akan terlihat sombong, tapi anehnya dokter Aksa tidak, ia hanya terdengar menyebalkan. Ia orang yang minim respon, dan cenderung dingin ketika menanggapi pertanyaan yang tidak penting.
Pertanyaanku memang aneh dan tidak mutu, cenderung tidak perlu ditanyakan maupun dijawab karena sebagai manusia dewasa yang dianugerahi akal, pikiran, dan logika, aku sudah bisa menjawabnya sendiri. Aku bukan lagi anak kecil yang perlu dibujuk dengan permen setelah minum obat.
Tapi terkadang dalam hidup ini, aku ingin menanyakan sesuatu yang sudah jelas jawabannya aku tau, kepada orang lain. Seolah ingin mengonfirmasi kalau selama ini apa yang aku pikirkan benar. Dorongan orang lain yang aku kira akan menambah courage agar aku bisa kembali bersemangat menjalani hidup lagi, setelah tau kalau ada orang lain yang mengalami hal yang serupa denganku.
Namun aku ternyata salah. Aku kira dokter Aksa akan menjadi salah satu ‘orang lain’ yang bisa memberiku keberanian untuk menjalani hidupku lagi. Aku tidak bermaksud untuk mengemis perhatian darinya. It isn’t his obligation to give me encourage—but still I wanna hear that from someone else. Maybe cause I know that no one can give me that. Tidak ada orang lain di dunia ini yang merasa keberadaanku penting. Tidak setelah Papa pergi, dan meninggalkanku sendiri.
Diambang batas seperti ini, aku jadi bertanya-tanya, apa sebenarnya alasanku untuk hidup? Apakah dengan tertawa itu bisa dikategorikan dengan kebahaagiaan? Lalu bagaimana dengan lubang yang aku rasakan dalam hati ini? Apa artinya?
Melihat Dokter Aksa aku jadi lagi-lagi berpikiran bodoh. Mungkin tidak masalah kalau aku benar-benar tidak diselamatkan. Mungkin ini semua sudah takdirku. Dan berakhir ditangannya, dokter dingin cute baby face dengan suara laki seperti dirinya, tidak begitu buruk. Ini lebih baik daripada cara mati yang lain kan? Ditembak tidak sengaja oleh oknum misalnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Extrication
ChickLitShakina Lingga, yang tidak percaya pada pernikahan, bertemu dengan Aksa Pramudya, dokter bedah umum dengan segudang pesonanya. Aksa jatuh cinta pada Shakina meskipun mereka memiliki dua prinsip yang berbeda. Start : 16 Maret 2023 -