6| Reuni

128 20 0
                                    

Happy reading!
Sorry for typos 🤪

***

Lima hari lalu aku keluar dari rumah sakit. Aku masih harus kontrol dua hari lagi. Meskipun sudah diberikan surat ijin pemulihan pasca operasi selama seminggu, tapi aku tidak benar-benar bisa lepas dari pekerjaanku. Meskipun aku mencintai pekerjaanku, tapi harus aku akui juga kalau ini bukanlah pekerjaan ringan. Ada beberapa hal yang tidak bisa aku tinggalkan walaupun ada anggota team yang bisa memback-upnya.

Rasa sakit pasca operasi masih sering aku rasakan apabila aku bergerak secara cepat, tergesa, refleks, atau berlebihan. Selain itu aku merasa tidak ada hal lain yang perlu aku khawatirkan, kecuali mengatur pola makan agar tidak mengonsumi beberapa bahan makanan yang bisa menyebabkan lukaku terasa gatal—karena itu akan sangat menganggu. Aku memiliki riwayat alergi ayam, telur, juga mie. Jadi bila aku berlebihan mengonsumsinya, tubuhku akan merespon dengan rasa gatal.

Apabila harus memberikan apresiasi, aku akan dengan senang hati memberikannya pada Atha yang menjadi roomate siaga, she’s really help me anytime I need her. Aku merasa tidak enak karena sejak dia datang dan kini sudah mulai bekerja di kantor barunya, dia sama sekali belum bisa aku ‘jamu’ dengan baik. Malah yang ada  aku yang selalu merepotkannya.

Kebetulan hari ini Jum’at malam, hari terakhir bekerja. Setengah jam yang lalu Atha mengirimkan aku pesan jika ia akan pulang terlambat. Well, yeah, memang sudah aku duga kalau dia tidak akan membutuhkan waktu yang lama untuk mendapatkan teman disini. Dengan kepribadiannya yang baik dan supel, akan sangat mengherankan kalau Atha hanya berdiam diri di rumah sepertiku.

Hal ini jugalah yang akhirnya membuatku menerima ajakan Fiona. Dia bahkan rela untuk menunggu di lobby gedung supaya aku tidak bisa melarikan diri dari reuni yang sudah lama direncanakan. Aku juga tidak setega itu untuk membohonginya. Fiona anak yang baik, dan menjadi satu-satunya teman yang betah berlama-lama denganku.

“Guys, gue balik duluan ya,” pamitku setelah mematikan monitor.

Rekan kerjaku melongokkan kepala dari sekat kubikel mereka, “lo mau nge-date ya? Tumben dandan cakep,” seloroh Sultan dengan jambulnya yang masih basah bekas air wudhu.

Aku menampilkan senyuman manis—sarkas padanya, “kok gue nggak ingat ya, kapan gue pernah jelek?”

Erisa tidak bisa menahan tawanya ketika mendengar kalimat pamungkasku. Anak magang itu cukup berani untuk menertawakan seniornya. Sepertinya Giska dan Sultan sedikit gagal dalam mendidiknya. Tapi bukan masalah yag besar, selama dia tidak benar-benar tertawa pada critical moment.

“Iya-iya, yang nggak pernah jelek. Percaya deh gue!” balas Sultan dengan ekspresi nyinyir.

“Lagian lo sih, dia kagak punya pacar, date dari mana coba?”

Bisa ditebak kalimat itu berasal dari mana? Tentu saja bos kecil yang menjadi panutan anggota divisiku. Satu-satunya yang bisa mengritisi kehidupan pribadiku tanpa aku bisa membalasnya. Menyebalkan memang. Maka dari itu, aku juga selalu memanfaatkan momen terlemahnya untuk mengolok-oloknya, meskipun itu hanya datang sekali dari seratus kesempatan yang ada.

Giska melotot memberikanku sinyal, sedangkan Erisa tidak lagi terkekeh jumawa seperti sebelumnya. Ia menarik kursinya untuk duduk proper di depan PC yang entah sedang menampilkan apa. Selain diberi kelebihan lambe gosip, divisiku ini juga berisi manusia yang rajin menjilat. Tapi memang begitulah kehidupan kami, memprioritaskan kenyamanan orang lain diatas kenyamanan sendiri. Karena kehidupan, tingkah laku kami akan selalu menjadi role model untuk pegawai yang lain. Tentu saja kami harus menampilkan yang terbaik dari yang baik.

Extrication Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang