2| False Hope

190 21 0
                                    

Happy reading!
Sorry for typos 🤪

***

Aku tidak sadar sudah tertidur berapa lama tapi saat aku sadar aku sudah pindah di ruang rawat inap yang berisi 2 bed. Bisa kupastikan dengan mataku kalau bed sebelahku masih kosong, dan aku tidak menemukan keberadaan Atha di ruangan ini.

Aku menatap langit-langit kamar dengan pasrah. Rasa sakitku sudah hilang, tapi ada nyeri lain di kepala saat membayangkan jika sebentar lagi perut rataku akan dibedah dengan pisau—aku bergidik ngeri—menggelengkan kepala untuk membuang bayangan itu. Aku memang sedikit nervous ketika melihat darah semenjak kejadian Papa, tapi juga  tidak langsung pingsan seperti orang phobia.

Bagaimana kalau nanti pisaunya tertinggal di perutku? Atau tiba-tiba ada kesalahan saat aku terbaring di meja OK dan aku gagal siuman, atau—stop! Aku segera menginstruksikan pada kepalaku untuk berhenti memikirkan hal-hal mengerikan itu. Jangan membuat dirimu panik dengan hal-hal yang kemungkinannya kecil, tapi ngeri juga kalau benar-benar terjadi—aku sungguh-sungguh menyugesti diri agar berpikiran positif. Setelah operasi, aku akan sembuh. Hanya satu sisi negatifnya, setelah ini perutku tidak akan semulus sedia kala. Akan ada bekas jahitan yang pastinya tidak akan mengijinkanku menggunakan bikini lagi. Oh shit.

Tiba-tiba pikiranku kembali gloomy. Aku jadi mau tidak mau membayangkan kemungkinan terburuknya—kalau aku akan meninggalkan dunia ini. Memang tidak ada alasan mengapa aku harus ada di sini. Tidak ada lagi orang yang menyayangiku. Orang paling berharga di hidupku—Papa sudah tenang di surga sana. Kalau aku benar-benar mati, akankah banyak orang yang akan pergi melayatku? Aku tersenyum miris mengingat segala sikapku kepada sekitar yang cenderung apatis. Lalu nanti siapakah yang akan mengunjungi makamku dan makam Papa? Apa aku bisa disemayamkan di sebelah Papa? Ya Tuhan, kenapa aku malah memikirkan hal konyol ini sih!

Pikiran melanturku sedikit teralihkan saat aku mendengar suara pintu yang digeser dengan agak berisik. Aku langsung menajamkan telinga. Hormon adrenalinku kembali terpompa. Siapa yang berani masuk ke dalam kamarku saat aku sedang terkulai tidak berdaya seperti ini? Apa dia pembunuh? Apa aku benar-benar akan mati? Bagaimana kalau Atha menangis histeris saat menemukan diriku yang sudah tidak bernyawa di ranjangku ini?

Aku menajamkan telinga saat mendengar percakapan mereka yang diselingi tawa, bukan hanya satu tapi dua orang sekaligus yang akan menuntaskan diriku di sini! Apa aku harus melompat lewat jendela supaya selamat? Tapi aku belum tau di lantai berapa kamarku saat ini. Dewi Fortuna sama sekali tidak mendukungku!

Lalu bukan seperti kebanyakan penjahat sinetron tv nasional dengan pakaian hitam-hitam, lengkap dengan sarung tangan, juga masker full face mereka, yang menandakan jika mereka adalah pembunuh bayaran anonim—meskipun nantinya akan ditunjukkan siapa dalangnya. Aku malah melihat dua orang, satu perempuan yang tadi membantuku waktu di IGD, sedangkan yang lainnya adalah laki-laki dengan wajah yang cukup tampan—cute baby face—dengan alis tebal dan hidung mancung. Bibirnya merah, tertutup rapat seolah sedang menilaiku. Matanya yang bulat memandangku tajam—aku tau jelas meskipun ia menggunakan kacamata frameless—seolah sedang memilih bagian mana dari tubuhku yang akan ia sayat lebih dulu.

Aku masih memasang ekspresi waspada ketika kedua orang itu kini berada di sebelahku.

“Bagaimana keadaannya?” tanya si dokter perempuan. Aku bisa melihat namanya yang terbordir di saku jas putihnya, dr.Aleana Prascita, Sp.PD. Meskipun kini snellinya tidak berdarah lagi seperti tadi, aku masih bisa melihat bekas noda yang tersisa di sana—yang juga mengeluarkan aroma aneh. Sabun, antiseptik, dan anyir darah, aku juga menemukan aroma sisa parfum yang ia gunakan.

Extrication Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang