10| Ambigu

101 17 0
                                    

Happy reading!
Sorry for typos 😌

***

Mencari alasan untuk bisa pulang menjadi satu hal paling sulit yang harus aku laluin di hari yang panjang ini. Mami tidak mau melepaskanku pergi, sampai akhirnya ada campur tangan pihak ketiga—Silvia yang berjanji mengantarku pulang dengan selamat. Awalnya Adam bersikeras untuk melakukannya, katanya karena dia harus bertangung jawab setelah menjemputku—dan naik taxi malam hari itu tidak aman. Kenyataannya, mungkin bagi Silvia, aku diantar pulang olehnya—hanya berdua saja dengan Adam—itu sangat berbahaya yang akan mengancam kedamaian hubungan mereka.

Aku merasa kasihan karena membelaku, Silvia juga harus ikut mendengar ceramah Mami yang lebih panjang dari amanat bapak kepala sekolah waktu jaman SD dulu ketika memberikan petuah di senin pagi ketika upacara bendera. Beliau sama sekali tidak memikirkan nasib para murid yang secara tidak langsung dijemur tanpa dosa, bermandikan keringat. Kami terselamatkan oleh Papi yang akhirnya mengeluh lelah mendengar omelan Mami dan mengajaknya untuk istirahat.

Ketika berada di mobil, aku meminta Silvia untuk menurunkanku di kawasan PI. Aku berencana untuk menonton film sebelum pulang ke apartemen. Aku merasa jika hariku akan benar-benar terasa kacau kalau aku tidak bisa menikmati waktu sendiri. Silvia setuju. Setelah memastikan masih ada film yang ingin aku lihat, aku segera membeli tiket. Beruntungnya aku belum terlambat. Aku mengawasi keadaan sekitar sebelum lampu studio benar-benar redup. Tidak ada banyak orang saat ini. Beberapa memilih duduk di pojok bersama pasangan masing-masing.

Suara mulai menggelegar diikuti lampu yang perlahan meredup sebelum benar-benar gelap. Pencahayaan hanya berasal dari layar besar di hadapan kami. Aku merasakan ponselku bergetar. Aku memeriksanya. Ternyata sebuah pesan dari Aksa.

Laki-laki ini tidak pernah menghubungiku setelah waktu itu. Mungkin dia benar-benar tenggelam dalam pekerjaannya. Aku juga tidak ingat kalau aku masih berhutang konfirmasi padanya. Karena menurutku, dia juga tidak benar-benar ingin kami hangout lagi. Aku asumsikan kalau kami sama-sama tidak memiliki waktu untuk hangout. Aku juga terlalu lelah untuk berurusan lagi dengan orang setelah bekerja.

Aksa Pramudya : Udah tidur?

Shakina Lingga : Blm. Lagi nonton.

Aksa Pramudya : Nonton dimana?

Shakina Lingga : Di PI

Aksa Pramudya : Selesai jam berapa?

Shakina Lingga : Idk. Midnight maybe

Aksa Pramudya : Wanna meet?

Shakina Lingga: How?

Aksa Pramudya : I’ll see you

Setelah melihat pesan terakhirnya, aku membiarkannya saja. Aku melanjutkan menonton dengan khusyu. Saat ditengah pemutaran film aku merasakan ponselku bergetar, sebuah pesan dari Aksa yang memberitakan kalau dia sudah ada di luar studio—menungguku. Aku mengabaikannya.

Aku masih merasa heran karena kedatangannya. Kehadirannya bagiku bagaikan perkiraan cuaca, tidak bisa diprediksi dengan tepat. Kadang dia benar-benar bisa hilang, lalu tiba-tiba muncul seolah sudah semestinya dia ada. Ini bukan berarti aku menunggunya, hingga aku cukup dibuat upset karena dia tidak mencariku. Aku sendiri tidak tau, kenapa aku menyimpulkannya begitu. Aksa seperti anomali dalam kehidupanku—yang semestinya tidak ada.

Aku bisa merasa nyaman di dekatnya—di luar fakta kalau aku dan dia seharusnya hanya memiliki hubungan pasien-dokter saja. Kadang juga aku merasa was-was karena seolah Aksa bisa membacaku dengan mudahnya. Menemukan titik-titik terlemahku yang biasanya tidak aku tunjukkan pada orang lain. Sedangkan Aksa, sangat sulit untuk menebak apa yang ada dipikirannya. Terkadang dia bisa begitu pendiam, dan pengertian. Tapi tak jarak lonjakan energi positifnya yang tumpah ruah membuatku kewalahan. Ia bisa sangat menyebalkan di saat yang tidak terduga.

Extrication Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang