11| Sleep Over

172 17 0
                                    

Happy reading!
Sorry for typos 😬

***


Aksa tidak tau diri. Setelah menjebakku untuk membantunya mencicipi masakan, kini hampir sepertiga dari keseluruhan menu yang ia pesan di hadapanku. Jangan kira keinginannya hanya berhenti di bebek rica-rica. Ia menambah pesanan lain, sate taichan juga roti bakar coklat keju. Aku tidak tau dimana dia meletakkan semua makanan ini, karena tubuhnya tergolong kurus untuk ukuran orang dengan tinggi sekitar 175 cm—walau aku tidak bisa tau apa kurusnya dia itu berotot atau tidak.

Aku tadi sempat berdebat dengannya, karena ia masih ngotot ingin mencoba kedai seafood yang menurutnya baru di buka. Setelah banyak piring di hadapan kami yang aku tidak tau apakah bisa menghabiskannya, Aksa dengan entengnya berkata begitu. Jelas aku menolak idenya. Aku bahkan memberikan ultimatum kalau aku tidak akan makan dan membiarkannya menghabiskan semuanya sendiri.

Tiga kali melihat Aksa makan, aku jadi sedikit tau kebiasaannya. Ia selalu terlebih dulu menghirup aroma masakan, lalu mencicipinya, sebelum memasukkan suapan pertama yang cukup besar. Setelah itu Aksa akan mulai mengomentari masakan yang baru saja ia cerna. Entah resep rahasianya, atau rasa masakan ini. Mungkin itu menjadi kebiasaannya karena dia juga suka memasak. Ia jadi hobi sekali mencicipi masakan baru yang berbeda. Kalau aku lebih suka memasak apa yang sedang aku inginkan sesuai resep yang tersedia.

Ia belum berhenti makan bahkan setelah menghabiskan hampir separuh hidangan yang tersedia. Sedangkan di piringku masih ada makanan yang menjadi bagianku dan tak kunjung habis. Aku serius saat bilang perutku penuh. Mami tidak membiarkan aku pergi sebelum melihatku makan dengan lahap dengan porsi yang cukup besar.

“Wah… Akhirnya bm gue keturutan juga,” gumam Aksa setelah menyendokkan sesuap nasi goreng kambing ke mulutnya. “Gimana, makanannya enak? Sesuai sama selera lo?” tanya Aksa.

Aku mengangguk saja. Sejujurnya aku tidak bisa menikmatinya dengan baik karena perutku yang kekenyangan. “Hmm…” gumamku. Aku menatap ke sekeliling kami. Terlepas dari waktu yang menginjak dini hari, tempat ini kian ramai dikunjungi pelanggan. Mungkin tempat ini memang se-kantong friendly itu hingga banyak yang ke sini.

“Makin pagi, makin rame ya,” komentarku. Aksa mengangguk. Ia kembali menghabiskan nasi gorengnya.

“Lo kelihatan sering ke sini ya?” tanyaku saat melihat Aksa tadi sempat bertukar kabar dengan pemilik gerai-gerai yang ada di sini. Atau apa sebenarnya Aksa memang orang yang ramah, tapi terlihat berlagak saat mengenakan jas putih saja? Aku sama sekali belum bisa melupakan kesan pertama yang aku dapatkan dari Aksa selain super dingin dan menyebalkan.

Aksa mengangguk lagi, “yeah. Kalo pulang sif 2. Biasanya ramean sama orang RS. Mereka suka karena selain rasanya lumayan, porsinya banyak, dan harga yang friendly di kantong.”

Aksa beralih ke makanan selanjutnya, meninggalkan nasi goreng kambing yang tinggal sepertiga bagian. Ia bahkan tidak perlu menjeda waktunya dan mengambil alih bebek ricanya, “lo baru pertama ke sini?”

Aku mengangguk, lalu terkekeh, “gue tipe morning person. Jam segini udah naik kapal ke dream land kali. Tapi gue juga biasanya kulineran, ya deket-deket kantor atau yang tempat yang lagi hits gitu. Dengan catatan, pas gue lagi mood.”

Aksa tersenyum miring, “lo beneran orang yang moodyan ya.”

Aku mengendikkan bahuku lalu tersenyum tipis. Aku segera menghabiskan bagianku setelah menjeda cukup lama untuk mencerna makanan.

“Gue suka lihat lo makan,” celetuk Aksa yang tanpa aku sadari dari tadi mengamatiku makan.

Aku segera menutup wajah Aksa agar tidak melihatku dengan aneh lagi, “nggak sopan tau.”

Extrication Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang