9| Free Time

119 19 1
                                    

Happy reading!
Sorry for typos 🤪

***

Kehidupanku berjalan dengan semestinya. Pagi kerja, sore pulang, istirahat, repeat. Bahkan di saat weekend tidak ada agenda spesial yang bisa pick up my interest. Aku juga beberapa kali menolak ajakan hangout Atha bersama sahabatnya—yang minggu lalu akhirnya diperkenalkannya padaku. Namanya… bintang. Mirip salah satunya, namun sayangnya aku tidak pandai menghafalnya. Ketika berbicara mengenai dia, aku hanya akan menyebutnya ‘TTM lo’ dan Atha akan merespon sebutanku itu dengan wajah sebal bersemu merah.

Well, aku bukan orang buta yang tidak tau kalau mereka berdua sama-sama saling menyukai. Pasti orang lain di luar sana sudah akan mengira mereka ini pasangan jangka lama mirip fosil yang tak kunjung berubah menjadi rabuk. Namun sayangnya, mereka berdua sama-sama bebal. Tidak ada satupun yang mau mengakui perasaan masing-masing.

Aku berencana untuk menikmati secangkir kopi dengan black forest yang selesai aku buat tadi sebagai teman membaca bukuku. Menikmati me time yang sudah lama tidak aku dapatkan—terlebih setelah aku tinggal bersama Atha. Aku tidak bisa benar-benar sendiri. Atha pergi ke Bogor bersama TTM nya, dan beberapa temannya yang lain. Ia akan menginap, jadi ini satu-satunya kesempatanku untuk benar-benar sendiri.

Tapi harapanku pupus seketika saat Adam datang membawa ultimatum. Mami bakalan sidak apartemen kalau aku tidak menampakkan batang hidung malam ini.

Aku mendesah berat. Pasca operasi, aku memang lebih sibuk untuk merecovery tubuhku. Aku tidak berani bertemu Mami kalau aku tidak benar-benar sehat. Yang ada, kebebasanku bisa terenggut. Bukan perjuangan yang mudah untukku mendapatkan tempat tinggal sendiri. Mami selalu over protective kepada anaknya,  dan aku sudah dianggap Mami sebagai salah satunya.

Adam sengaja menjemputku, karena ia tau kalau ia tidak melakukannya aku akan menggunakan jurus sapu angin—menghilang bak dibawa angin. Harus aku akui dia memanglah teman baikku karena dia sangat memahamiku dengan baik. Terlalu baik hingga bisa memprediksikan tindakan apa yang akan aku ambil.

Aku memilih menggunakan rok midi motif bunga-bunga vintage yang aku padukan dengan baloon sleeve sweatshirt juga sneakers putih andalanku. Karena cuaca yang agak dingin—hujan terus mengguyur kota—aku menambahkan scarf untuk menjaga kehangatan tubuh. Bisa ditebak sendiri kelanjutannya? Selain menyebalkan, hari ini juga akan macet.

Adam terlihat bersemangat menungguku di depan lobby di balik kemudinya. Aku segera masuk karena ada antrean panjang yang menunggu di belakang.

“Kamu bawa apa tuh?” tanya Adam ketika menjalankan mobil setelah melihatku meletakkan sebuah box cake di jok belakang.

“Gue tadi bikin black forest. Rencananya mau gue makan sendiri, tapi keburu ada lo, such a kill joy.”

Adam memandang ke arahku dengan kasihan seolah sedang menghiburku, “I’ll bring your happiness dear,” katanya sambil mengacak rambut yang langsung aku tepis.

“Nyetir yang bener bisa gak sih?” ketusku selagi merapikan rambutku yang sedikit berhasil dia acak.

Mobil berada dalam keheningan yang cukup lama. Adam terlihat menikmati musik yang ia putar, sedangkan aku lebih banyak memandaang rintik-rintik hujan yang mengenai kaca pintu samping. Aku bahkan sekarang tidak bisa merasakan kekesalan karena rencana yang berantakan. Ternyata diriku terlalu lelah hanya untuk emosi.

“Kamu ngambek ya?”

“Nggak,” balasku tanpa memalingkan pandangan untuk menatap Adam.

“Kan Mami yang pengen ketemu kamu, kok ngambeknya ke aku?” keluh Adam dengan nada yang dibuat-buat. Aku tau dia tidak bermaksud menyebalkan, tapi dia sebenarnya sudah menyebalkan.

Extrication Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang