14 | Confession

181 17 0
                                    

Happy reading!🫶🏻
Sorry for typos 🤪

***


Kata-kata yang keluar dari mulut Mami membuat kepalaku menjadi pening. Tidak bisa diabaikan betapa bahagia ekspresi keempat orang, tidak, lima—jika Aksa juga dihitung—menikmati ‘kebetulan namanya jodoh’ ini. Entah kenapa aku jadi menyesali telah mengusir Adam yang tadi bisa saja menyelamatkanku dari situasi ini. Aku mengedarkan pandanganku, mencari anak itu, barang kali dia bisa merusak kebahagiaan semu manusia yang berwajah bahagia di sekelilingku ini. Namun sayangnya, aku tidak berhasil menemukannya. Sebenarnya kemana Silvia menyembunyikan Adam?

“Kenalin Shakina, ini Om Wisnu sama Tante Reni. Sahabat Papi, Mami, sama Almarhum Papa kamu. Kamu pasti sudah lupa, kan?”

Om Wisnu tersenyum sumringah menyapaku, sedangkan Tante Reni ikut memelukku sebagai salam, “seingat tante, terakhir ketemu waktu itu kamu masih kecil. Pendiam banget, makanya sering digangguin sama Adam.”

Aku tersenyum sebagai balasan, “sampai sekarang masih kok, Tan.”

Tante Reni tersenyum semangat, “oh ya? Masih pendiam atau masih sering digangguin Adam?” tanyanya.

“Masih dua-duanya,” jawabku malu-malu yang langsung dibalas Aksa dengan suara batuk yang dibuat-buat, “masa sih?” tanyanya langsung padaku. Aku yang kesal langsung menyikut perutnya, mencegahnya berbicara.

Kedua pasangan itu yang melihat gesture kedekatanku dengan Aksa malah saling pandang, melempar senyum seolah kode rahasia yang kulihat sebagai ekspresi penuh muslihat.

“Aksa! Kamu nggak mau kenalan sama Om Darma Tante Jihan?” suara Om Wisnu membuat Aksa segera memperkenalkan dirinya dengan sopan.

“Ini Aksa, anakku yang bungsu. Dia ini diajak pergi ke acara seperti ini susahnya minta ampun,” terang Om Wisnu pada Papi. Papi mendengarnya dengan antusias.

“Loh, beneran lho, dari tadi dia menggerutu. Katanya mau pergi lah, ada acara lain, dan sebagainya. Ngeles terus. Tapi kenapa sekarang wajahnya malah antusias gini ya?” ledek Tante Reni yang dibalas dengan dehaman dari Aksa.

Papi tertawa sambil memegang dagunya, “kayaknya aku sih agak paham, tapi biarlah mereka yang muda-muda saja yang mengurusnya. Kita udah kenalkan, selanjutnya kita serahkan saja sama mereka,” kata Papi dengan santainya.

Mami buru-buru menyela, “Ya sudah kalau udah kenalan, kita jangan gangguin disini. Biar mereka bisa ngobrol lagi lebih deket, ya kan?”

“Mi…” ucapku sedikit malu dengan kalimat blak-blakan Mami kali ini.

Mami tersenyum puas dan Papi hanya menepuk pundakku dengan santai, “ternyata seperti Aksa toh, tipenya kamu?” godanya masih belum usai.

“Papi kok ikut-ikut Mami sih?”

Tidak menjawab keempatnya berlalu meninggalkan kami. Berbeda denganku yang terusik dengan celotehan mereka yang baru saja pergi, Aksa malah cengar-cengir mendengarnya.

“Kok bisa sih, anak kenalan Papa yang mau dikenalin ke gue itu lo?” tanya Aksa dengan terkesima, “tau gitu gue tadi dandan yang lebih proper, nggak macam supir gini,” lanjutnya.

Aku mengamati dandanan Aksa, meskipun tidak ada yang salah, tapi Aksa memang berpakaian kelewat sederhanya. T shirt putih yang hanya dipadukan dengan celana panjang kargo berwarna army dengan sepatu sneakers yang senada dengan kaosnya. Namun tetap saja, meskipun sederhana, jika dipadukan dengan wajah rupawan dan tubuh ideal Aksa, ia masih terlihat seperti model pakaian dalam katalog. Aksa sangat menarik, dibuktikan dengan beberapa kaum hawa yang sulit mengalihkan pandangannya dari Aksa.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Apr 02 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Extrication Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang