"Nanya apa Pak?"
"Oh ngga, em.. Bagaimana rasanya menjadi model perempuan di sekolah?"
What? Hanya ingin menanyakan itu? Tetapi tidak apa-apa sih, bisa menjadi bahan pembicaraan juga. Tadinya Asya kira, Aksa akan mengajaknya berpacaran. Eh..
"Senang sih Pak, karena bisa mempromosikan sekolah. Dan bangga karena diberi kepercayaan dari sekolah kepada saya. Dan saya juga dapat dikenal banyak orang, bisa hitung-hitung untuk menambah teman," jelas Asya panjang lebar. Iya, memang bangga menjadi model sekaligus primadona sekolah. Banyak yang mengenalnya bukan karena cantik, tetapi karena cerdas juga.
Aksa mengangguk tanda paham, jujur, ia sedari tadi ingin mengajak Asya berbicara. Namun ia bingung harus mengawalinya seperti apa, ngobrol bersama Asya membuatnya senang sendiri. Hingga akhirnya ia hanya bisa menanyakan bagaimana rasanya menjadi model sekolah.
"Saya juga bangga sama kamu," Aksa tersenyum menatap Asya.
Hah! Asya ingin terbang rasanya saat ini juga. Jantungnya sedang berdisko di dalam sana, ia salting!
"H-hah? Bangga sama saya?" tanya Asya tergagap.
"Iya, kamu hebat, lanjutkan ya Sya!" Aksa menepuk pundak Asya tiga kali. Yang dibalas anggukan kaku dari gadis itu.
"Aduh, berasa jadi nyamuk nih," Suara cempreng Rere menyadarkan lamunan keduanya.
Asya yang malu langsung berpura-pura main ponsel. Sedangkan Aksa berdehem dan mengalihkan pandangan nya ke arah lain.
Drettt....
Suara deringan ponsel Asya membuat fokus tiga manusia yang duduk berdempetan memusatkan pandangannya ke sumber suara. Disana tertera nama 'nono ganteng😍' is calling.
Alvino putra Wildanatama adalah abang Asya, cowok itu kerap di sapa Vino. Juga cowok itu sendiri yang menamakan kontaknya diponsel Asya. Vino baru berusia 23 tahun, sudah menjabat sebagai CEO di salah satu perusahaan papa.
"Halo, ngapain telepon?" tanya Asya to the poin.
"Widih lagi jalan-jalan ya lo? Pulang bawain oleh-oleh sabi kali! " Suara serak basah itu menyapa indra pendengaran Asya.
Memang, suara Vino membuat kaum hawa meleleh.
"Belom juga nyampe, udah ditanyain oleh-oleh. Bagi duit dulu sini, baru dibeliin,"
"Duh.. Punya Adek, hobinya nguras duit gue. Untung sayang, yaudah gue transfer."
"Wah, makasih loh. Udah buruan, nanti di rest area mau diambil,"
"Eitsss, tentunya dengan syarat. Bilang 'nono ganteng banget, aku jadi sayang deh!"
'Abang gue ngajak ribut kayaknya. Tapi gapapalah demi duit, apasih yang engga,' monolognya.
"Nono ganteng banget, aku jadi sayang deh!"
"Nah gitu dong, Adek gue yang sayang gue, eh duit gue maksudnya. Tuh udah Abang transfer sepuluh juta. Harus cukup, udah ah gue sibuk, berkas masih banyak nih. Babay Sayang.."
Tut..
Telepon terputus begitu saja. Diputuskan sepihak oleh Vino.
Rere hanya diam saja tak peduli, sudah bisa ditebak bahwa itu Vino. Rere memang tahu dari dulu, karena Asya yang sering cerita.
Tanpa Asya sadari, ada seseorang yang mengepalkan tangannya dan menatap Asya tajam karena mendengar percakapannya. Seseorang itu mengepalkan tangannya menahan kesal.
___
Bus berhenti sejenak di rest area, untuk siswa yang mau ke toilet, masjid, tempat makan, atau membeli camilan. Karena perjalanan mereka juga masih jauh, masih membutuhkan waktu beberapa jam lagi untuk sampai tujuan.
"Kalian gak mau turun?" tanya Aksa kepada dua gadis yang duduk di sampingnya.
Rere menggeleng, sedangkan Asya mengangguk.
"Saya mau turun dulu pak, permisi ya.." Asya sedikit membungkukkan badannya ketika melewati Aksa yang tengah duduk. Sebagai tanda sopan.
Tak lama setelah Asya turun dari bus, Aksa juga ikut turun. Ingin menghirup udara segar, berhubung ini masih pagi. Tetapi saat ia keluar dari bus, ia melihat pemandangan yang tak mengenakan. Asya dan seorang cowok sedang tertawa ria, tangan si cowok merangkul pundak Asya mesra.
Entah kenapa udara yang tadinya sejuk mendadak jadi panas juga gerah.
Apakah ia cemburu? Ah itu sangat tidak mungkin, masa ia menyukai gadis SMA yang terpaut usia empat tahun dengannya.
___
Asya turun dari bus dan berjalan menuju ATM. Untuk menarik uang, dua juta. Karena dari rumah, ia juga di transfer sepuluh juta untuk tiga hari dari Bunda nya.
Sedang fokus berjalan, Tiba-tiba pundaknya memberat. Dan betul saja pelakunya adalah, Panji-lelaki yang menjabat sebagai ketua osis. For your information, Panji memang terbilang dekat dengan Asya dan juga Rere.
"Eh, lo ternyata, gue kira siapa," Asya menghembuskan nafas lega.
"Mau kemana?" Panji bertanya sembari tangan yang masih merangkul pundaknya.
"Tarik tunai," jawab Asya singkat.
"Ngomong-ngomong, kabar Tante Netta sama Om Willy gimana? Udah lama nih ga main ke rumah. Jadi kangen," Ya, memang Panji itu sudah berteman dengan Asya sedari kecil. Karena orang tua mereka juga berteman, tetapi akhir-akhir ini cowok itu jarang berkunjung ke rumahnya, mungkin sibuk dengan tugas osisnya.
"Bunda sama Papa alhamdulillah baik. Papa belum balik dari Singapura, udah satu bulan lebih padahal," Asya kembali murung, mengingat Papanya yang jarang sekali ada di rumah. Papanya orang sibuk, dan jarang memiliki waktu banyak.
"Sabar ya, nanti Papa lo balik kok, lagi sibuk nyari uang buat Tante sama buat lo," Panji menjeda kalimatnya, "nanti kalo Om udah balik, kabarin gue ya."
"Mau ngapain emangnya?"
"Mau minta restu ke camer," sahut Panji, cowok itu tertawa. Asya pun juga ikut tertawa, karena mengerti yang cowok itu katakan hanyalah sebuah candaan.
Keduanya asik tertawa ria, hingga tak menyadari bahwa Aksa menatap tajam mereka.
---
"Tidak ada kata, 'tidak mungkin' di dunia ini.
Asal kita mau berusaha, semuanya akan menjadi mungkin''
KAMU SEDANG MEMBACA
Just A Secret Admirer
Dla nastolatkówDiam-diam Asya mengagumi Aksa- pemuda yang menjadi tetangganya. Pemuda dengan senyum manis yang selalu menyapanya di pagi hari. Asya pikir, dirinya hanya pantas untuk menjadi pengagum rahasia saja. Menurutnya Aksa yang memiliki seribu pesona itu tid...