21. New York?

3 1 0
                                    


Semua manusia memang tidak luput dari kesalahan, dan kesalahan itu adalah manusiawi. Hakikatnya manusia itu gudangnya salah, namun lihat seberapa besar kesalahan yang dilakukannya. Apakah kesalahan itu masih bisa ditoleransi dan dimaafkan, atau tidak.

"Seribu kebaikan akan terlupakan hanya karena satu kesalahan." Itu benar adanya.

Entah apa kesalahan yang telah dilakukan oleh Sang Papa hingga Bunda tidak bisa menerimanya kembali. Asya sudah berkali-kali bertanya kepada Vino tentang apa yang sebenarnya terjadi, tetapi pertanyaan itu sama sekali tidak dijawab.

Bukan hanya kepada Vino, Asya juga bertanya kepada seluruh orang rumah perihal keributan waktu lalu, tapi hasilnya tetap sama, mereka tidak tahu dan tidak ingin tahu. Menurutnya itu bukanlah ranah mereka.

Dua bulan berlalu sejak kejadian itu, Asya kembali menutup diri, ia terpuruk dan menjadi murung. Biasanya ketika ada masalah, dia selalu bercerita kepada keluarganya, sekarang bagaimana? Yang ia sebut sebagai keluarga saja sudah hancur.

Bagi Asya, ini masalah terbesar yang pernah ia hadapi. Ia selalu menjadikan keluarganya sebagai rumah untuk tempat berpulang, sekarang rumah itu hancur tak berbentuk dan Asya kehilangan rumah ternyaman.

Ia tahu, bukan hanya dirinya yang sedih, tapi juga hal ini dirasakan oleh Vino—lelaki itu juga sama terpuruknya, namun dia tidak mau berlarut-larut. Vino merasa bahwa Asya adalah tanggung jawabnya, hanya dirinyalah yang bisa dijadikan tempat bersandar oleh Asya.

Dua bulan ini Vino merasa ada banyak yang berubah. Asya yang murung dan selalu pergi keluar, keluarganya tidak selengkap dulu lagi, intinya satu hari itu merubah seluruh hidup Vino, dan yang paling parah, kini dia dan Sang Bunda kehilangan kontak. Ya, Bunda mengganti nomor ponselnya, dan tidak pernah mengirim kabar kepada Vino atau Asya. Vino berkali-kali mencari, tapi hasilnya nihil. Sang Papa juga sama, setiap kali bertemu pasti hanya ketika ada kegiatan kantor saja.

Semuanya berubah.

---

Malam ini Asya sedang mencari kesibukan dan pengalihan dari rasa sedihnya. Dia datang ke Club bersama dengan dua temannya. Dentuman musik yang keras serta ramainya orang tidak membuat dirinya terganggu. Asya yang paling benci tempat ini, akhirnya datang juga. Walaupun dia hanya datang, tidak untuk minum-minum.

Asya merasa lebih baik seperti ini, dari awal saja hidupnya memang sudah hancur secara perlahan. Dari mulai keluarga, cita-cita, dan sekarang dirinya sendiri juga ikut hancur. Asya memblokir akses untuk Bunda dan Papa, ia tidak mau dihubungi oleh siapapun, biarlah reputasinya buruk, toh sekarang dia bukan anak sekolah lagi. Kini, Asya sudah tidak peduli apapun lagi, yang penting uang bulanannya ada dan hidupnya terjamin, maka tidak masalah.

Bahkan ia juga mengakhiri hubungannya dengan Aksa secara sepihak. Bukan tanpa alasan Asya melakukan ini, tapi ketika dirinya butuh, kemana perginya Aksa? Aksa malah sibuk dan tidak menjawab panggilannya sama sekali. Tak peduli apa alasan Aksa, yang Asya mau hanyalah mengakhiri semuanya. Lagipula dapat disimpulkan bahwa Asya hanya sekedar menyukai selewat saja.

"Sya, lo gak mau pesen minum? Kalau mau, sekalian nih gue pesenin," Asya melirik Fany sekilas, lalu menggeleng kecil. Fany hanya mengangguk dan pergi untuk memesan.

"Eh Sya, lo mau ke Club apa kemana sih? Tertutup amat baju lo," Ujar Aileen setelah memperhatikan penampilan Asya.

Padahal menurut Asya, pakaian ini sudah telalu sexy untuk ia gunakan. Memang sih ia mengenakan dress hitam ketat yang berlengan panjang, panjang dress itu sendiri di atas lutut. Bahkan sakit ketatnya, lekuk tubuhnya sampai terlihat.

"Kurang sexy, ya?"

"Iya, lo gak lihat orang-orang di sini pada mini dress semua? Bahkan hampir telanjang loh! Liat nih gue, menurut lo gimana?" Aileen berdiri, memperlihatkan penampilannya.

Iya sih, Aileen memakai mini dress merah pekat tanpa lengan yang panjangnya jauh di atas lutut, apalagi dress itu memperlihatkan punggung mulusnya dan belahan dada milik gadis itu.

"Oh iya, gue baru sadar!" Asya menepuk jidatnya. Mungkin karena ini bukan dunianya. Kehidupannya dulu dan sekarang terlihat kontras sekali, jauh perbedaannya.

Aileen tertawa karena tingkah Asya yang seperti melakukan kesalahan besar. "Gapapa sih, di sini kita cuma mau main, bukan mau nge-LC," tuturnya blak-blakan.

Tak berselang lama, datanglah Fany dengan sebotol minuman alkohol di tangannya. Karena memang hanya cewek itu lah yang suka minum diantara mereka, Aileen juga suka, namun tidak sesering Fany.

"Oh ya, by the way Sya, lo kan udah lulus sekolah nih, rencananya lo bakal ngapain abis ini?" tanya Fany setelah duduk di samping Asya.

Asya melirik sekilas, "Entahlah untuk itu belum gue pikirin lagi, lagian juga belum resmi lulus kok. Tapi sih buat sekarang, setelah semuanya terjadi, gue pengen nenangin diri sendiri dulu deh. Gue gak mau mikirin apapun."

Aileen menuangkan vodka ke dalam gelasnya, lalu meminumnya dalam sekali tegukan. "Jadi lo pengen gap year dulu gitu?"

"Mungkin, bisa jadi."

"Kenapa lo gak balik lagi aja ke New York, siapa tau di sana lo bisa sedikit tenang?" Sekarang, giliran Fany yang bertanya dengan suara kecil, agaknya cewek itu sudah kehilangan sedikit kesadarannya.

Asya yakin Fany sudah minum banyak malam ini, tidak biasanya Fany mabuk karena empat gelas vodka. Cewek itu memiliki toleransi tinggi terhadap alkohol.

"Lagi dipertimbangkan," jawab Asya singkat.

Banyak yang harus dipertimbangkan, dia pasti akan jauh dengan orang-orang yang disayang, apalagi pergaulan di sana yang bukan Asya banget. Ke Club saja dia sudah terpaksa, sebenarnya di New York juga tidak masalah, dia memiliki banyak keluarga yang sangat bisa memanjakannya lebih dari di Indonesia. Mungkin uang bulanan juga akan lebih besar. Uang? Ya, sekarang Asya memikirkan uang, uang dan uang.

"Tapi kayaknya gue tertarik buat tinggal di sana deh," Asya menatap kedua temannya sembari tersenyum miring. Sudah banyak rencana yang ada di dalam kepalanya saat ini, tentu rencana itu akan mengejutkan.

Fany merapatkan tubuhnya ke Asya. "Serius Sya? Kita bakal pisah lagi dong! Jangan yaa please, baru juga ketemu," rengek Fany, dia gelendotan dengan menggoyangkan lengan Asya.

Aileen yang melihat itu segera menarik Fany yang kesadarannya sudah hilang. "Lagian lo sih!" serunya menyalahkan Fany yang asal ceplos itu.

"Ayolah girl's! Kalian bisa main kok,"

"Terus kalau lo ke New York, lo bakalan ninggalin Aksa dong?" tanya Aileen. Aileen tentu tahu siapa Aksa, dia adalah kekasih Asya. Dia juga tahu kalau Asya sangat menyukai tetangganya itu.

Menyandarkan tubuhnya ke sofa. "Cowok gak cuma dia, bisa jadi nanti gue ketemu cowok baru di New York. Who knows?" Sahut Asya santai.

Fany yang mendengar itu menggeleng pelan. "Lo gak tahu seberapa berengseknya cowok cowok sana," Kata Fany sok tahu.

Asya yang mendengar itu merasa penasaran, "Oke, kita lihat nanti."

---

Bersambung

----

Haiii udah lamaa yaa ga up, semoga suka.



















Just A Secret AdmirerTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang