Janelle pergi ke walk-in closet dan duduk di kursi riasnya, Janelle menoleh sejenak ke arah pintu dan setelah memastikan tidak ada Willie, Janelle membuka laci meja riasnya dan mengeluarkan obatnya dari sana.
Dengan sedikit terburu-buru, Janelle menuangkan beberapa butir obat ke telapak tangannya dan menghela napas sambil menatap obat-obat itu yang memiliki berbagai ukuran. Janelle menghela napas karena ia termasuk ke dalam golongan orang-orang yang susah untuk menelan obat.
Janelle menelan ludahnya, tangan kiri terdapat obat dan tangan kanan sudah bersiap-siap memegang gelas berisi air putih. Janelle kembali menghela napas lalu memasukkan obat-obat itu ke mulutnya bersama dengan air putih.
Ketika Janelle berusaha menelan, air putih lah yang justru tertelan dengan mudahnya meninggalkan obat yang masih bersarang di lidah Janelle. Hal itu membuat Janelle memejamkan mata karena rasa pahit yang langsung terasa, jauh lebih pahit dibandingkan obat-obat yang pernah Janelle minum sebelumnya, jauh sebelum Janelle terkena penyakit kanker.
Janelle kembali minum dan karena kembali gagal, Janelle akhirnya mengunyah obat-obat itu dan saat sudah menjadi bagian-bagian kecil, Janelle kembali minum dan akhirnya berhasil tertelan. Walaupun sudah tertelan, Janelle terus meminum air putihnya karena rasa pahit yang masih sangat terasa di lidah.
Janelle menghela napas panjang. "Kenyang minum jadinya gue." gumam Janelle sambil menatap wajah lelahnya di cermin.
-My Cold Captain-
Janelle menghela napas lalu mengangguk pada suster yang tersenyum dan membukakan pintu untuknya. Ketika Janelle masuk, Janelle bisa melihat satu perawat lainnya dan Max yang sedang duduk dengan dibalut jas putihnya.
"Hai, how are you?" tanya Max pada Janelle.
Janelle tersenyum. "Baik, selalu."
"Oke. Jadi, hari ini kita bakal lakuin kemoterapi pertama kamu tapi, kita harus cek dulu kesehatan kamu. Boleh?"
Janelle langsung mengangguk, "boleh."
"Silakan, Sus." kata Max pada sang suster.
"Baik, Dok." balasnya yang langsung menyiapkan alat untuk memeriksa kesehatan Janelle.
"Proses pengobatan untuk penyembuhan kanker ini bener-bener bikin capek, Jane. Baik dalam urusan fisik maupun mental. Nggak jarang banyak pasien yang depresi waktu jalanin prosesnya. Makanya, aku saranin kamu untuk kasih tau keluarga kamu biar kamu bisa dapet support dari mereka, dukungan dari orang-orang terdekat bener-bener berpengaruh untuk kesembuhan, Jane."
"Aku bakal kasih tau mereka, tapi, nggak sekarang." balas Janelle.
Max mengangguk. "Oke. Walaupun belum adanya support dari mereka karena mereka yang belum tau, aku yang bakal support kamu secara langsung."
Janelle tertawa. "Makasih, serius."
Max ikut tertawa lalu mengangguk.
"Keadaan pasien baik, Dok. Siap untuk dilakukannya kemoterapi." kata sang suster.
"Kamu takut sama jarum suntik, 'kan?" tanya Max.
Janelle terkejut. "Kamu kok tau?"
Max tertawa. "Kita udah temenan dari kecil, Jane. 'Kan, pernah kamu liat aku disuntik tapi kamu yang ketakutan."
"Oh, iya." Janelle tertawa. "Aku takut, sih, tapi kalo emang aku harus disuntik, mau gimana lagi?"
"Tadinya aku pengen dari nadi kamu tapi itu sakit banget. Jadi, apa kamu mau dipasang alat chemoport? Chemoport itu alat bantu untuk kemoterapi, bentuknya kecil, kayak gini." Max memberikan iPad yang menunjukkan gambar dari alat chemoport yang dimaksud. "Lama kelamaan, bakal terasa sakit banget kalo berulang kali disuntik. Kalo kamu pake chemoport, proses pengambilan darah dan masukin obat kemo bakal lebih gampang."
"Emang nanti cara pasangnya gimana?"
"Pembedahan. Ya, operasi gitu. Nanti alatnya dipasang di tulang selangka. Kalo kamu mau, kemoterapinya bisa kita tunda." kata Max di mana tulang selangka terletak di kanan dan kiri dada bagian atas, tepat di bawah leher.
Janelle terdiam dan seketika ia memikirkan Willie. "Tapi, apa prosesnya lama?"
"Sekitar tiga puluh sampe empat puluh lima menit, nanti abis operasi kamu bisa langsung pulang."
"Emang, kapan operasinya bisa dilakuin?"
"Kalo kamu emang mau, nanti jadwalnya aku atur, secepat mungkin."
Janelle mengangguk-anggukkan kepala. "Aku serahin ke kamu, Max. Kalo emang menurut kamu pake chemoport emang yang terbaik, aku oke-oke aja."
Max ikut mengangguk. "Oke, jadwalnya bakal langsung aku atur dan persiapkan diri kamu." Max tersenyum dan menepuk-nepuk pelan punggung tangan Janelle yang mana Max dapat merasakan rasa dingin pada cincin yang Janelle pakai.
"Pasti. Aku bakal persiapkan diri aku karena aku harus sembuh."
"Good girl." Max mengangguk sekali dan matanya tertuju pada jari manis Janelle. "Sekarang kayaknya lagi zaman, ya, pake cincin di jari manis padahal belum tunangan atau nikah."
Janelle menatap jari manisnya lalu ia sentuh cincin itu. "Aku emang udah nikah."
Max terkejut, benar-benar terkejut dan tidak dapat menyembunyikannya ketika mendengar ucapan Janelle barusan.
Janelle tersenyum. "Baru aja, sih. Belum lama banget."
Max terdiam dan tak lama tersenyum kecil.
-My Cold Captain-
Willie terbangun ketika merasakan pergerakan di sebelahnya. Ketika membuka mata, Willie sedikit terkejut melihat bantal yang basah dengan Janelle yang sedang berkeringat, rambut Janelle pun sampai lepek.
Melihat Janelle ingin balik badan, Willie pun kembali memejamkan mata. Janelle yang sudah balik badan, menatap ke arah Willie.
Janelle beralih duduk di tempat tidur sambil mengusap sisi kepalanya yang basah. Merasa di kamar panas walaupun AC menyala, Janelle yang tidak sanggup langsung keluar dari kamar dengan tubuh yang terasa sedikit lemas, seluruh tubuh Janelle juga terasa panas.
Janelle duduk di sofa dan mengambil tisu untuk mengelap keringatnya. Janelle sendiri merasa sangat mengantuk tetapi karena keringat dan panas tubuhnya, tidur Janelle menjadi terganggu.
Karena merasa di luar lebih baik daripada di kamar, Janelle pun memutuskan untuk berbaring di sofa berukuran panjang itu, menjadikan bantal sofa sebagai bantalan dan mulai memejamkan mata yang berakhir dengan Janelle tertidur di sofa.
-My Cold Captain-
Pagi hari, Janelle bangun di pukul 08:00 pagi dengan keadaan tubuh yang tidak begitu baik. Janelle juga masih merasakan panas pada tubuhnya, bahkan kepala Janelle juga terasa pusing.
"Eh, Non Jane udah bangun." kata salah satu ART yang akan membersihkan rumah.
Janelle mengangguk sambil tersenyum. "Willie udah bangun belum, ya, Bi?" Janelle menoleh sejenak ke arah pintu kamar.
"Udah, Non. Malah tadi waktu bibi tanya, Den Willie bilang mau ke pemakaman." balas wanita itu sambil menyemprot jendela dengan cairan pembersih.
Janelle langsung menatap wanita itu yang juga langsung menoleh dengan raut tidak enak pada Janelle, ART itu merasa bersalah karena sudah memberitahu Janelle walaupun Willie sendiri tidak berpesan untuk jangan memberitahu pada Janelle.
Janelle yang sempat terdiam, mulai tersenyum lalu bangkit berdiri dan pergi menuju kamar.
"Non mau sarapan apa? Biar bibi yang bikin."
"Teh anget sama roti selembar aja, ya, Bi. Pake selai stroberi." balas Janelle sambil membuka pintu kamar, meninggalkan sang ART yang merasa semakin bersalah lagi mendengar Janelle hanya ingin makan roti satu lembar karena menurutnya nafsu makan Janelle hilang setelah ucapannya tadi.
-My Cold Captain-
Qotd: apa sih yang pengen kalian sampein ke Willie?
KAMU SEDANG MEMBACA
My Cold Captain [COMPLETED]
Teen FictionKisah Janelle tidak seberuntung kembarannya, Brielle, yang dapat merasakan kasih sayang dari Willie. Willie yang dikenal sebagai sosok yang hangat, berubah dingin untuk Janelle. Willie mau menikahi Janelle karena laki-laki itu masih membutuhkan sos...