O Sol e a Lua / chapter 25

524 73 7
                                    

Pening. Satoru terbangun dengan rasa sakit di kepala seakan-akan puluhan jarum tengah menusuk tengkorak. Bahkan ketika matanya masih tertutup, dia bisa merasakan bagaimana dunia disekitarnya berputar cepat. Tubuhnya setengah meringkuk pada bantalan kursi yang empuk. Ingin rasanya dia tetap di posisi itu hingga kapanpun.

Hanya saja, ada sesuatu mengganggu di ingatannya, yang mana tindakannya terasa salah untuk terus bersantai dalam lelapnya tidur. Satoru tidak tahu pasti peristiwa apa yang terjadi sebelumnya, tapi ingatan terakhir yang ia rekam adalah, dia sedang berada di udara. Dia terbang di angkasa. Dan ada sesuatu lagi, mungkin ingatan ini yang membuatnya tak nyaman untuk kembali tenggelam dari alam kapuknya. Dia yakin sebelumnya tengah terburu-buru. Namun bahkan tak sedikitpun dia ingat sebenarnya apa yang ia kejar. 

Kelopak mata yang melindungi mata berliannya itu terbuka. Pusing. Dia merasa sangat mual. Tenggorokannya juga terasa sangat kering. Apa yang dilihat Satoru kini seakan-akan samar dan tidak nyata. Di benaknya bertanya-tanya, apakah dirinya sekarang tengah terjebak ke dalam alam mimpi atau realita.

Cahaya redup kemudian masuk ke matanya yang masih sensitif. Satoru segera menutupinya dengan punggung tangan. Dengan mengandalkan kekuatan tangan, dia berusaha bangkit. Tangannya menyentuh sesuatu yang dingin dan empuk. Itu adalah kursi yang selama ini dia duduki. Kursi. Kursi dan langit. Matanya melebar. Dia menemukan potongan demi potongan ingatan di dalam kepalanya. Perlu potongan lain agar dia bisa merangkainya semua.

Ada jendela di samping.

Pria itu segera mendekatkan wajahnya ke sana. Kaca tampak berembun, dan segera tangannya mengelap kaca itu hingga tidak lagi buram.

Kabut tebal. Bangkai-bangkai kapal berkarat. Gedung mercusuar yang menjulang terbengkalai. Ya. Ini Busan. Pemandangan semacam ini hanya akan ditemui di kota itu. Omong-omong soal Busan, Satoru heran siapa yang mengantarkannya kesini.

Dia menoleh ke depan, dimana ada seseorang disana, rambut gelap terurai bersantai di kursi pesawat. Itu Shoko. Satoru yakin karena dialah satu-satunya orang yang ia tahu dapat menerbangkan burung besi ini. Lantas dia memanggil wanita itu.

"Shoko."

Yang dipanggi menoleh, kantung matanya terlihat lebih jelas pada jarak yang dibuat mereka. Tapi tak sedikitpun Shoko menyahut. Dan entah kenapa matanya kali ini tampak begitu lelah dari sebelumnya. 

"Dimana Suguru?"

Tak ada tanggapan. Wanita dengan surai cokelat itu hanya menatap Satoru yang baru saja siuman dengan ingatan yang pendek. Tak butuh waktu lama, entah Shoko sendiri sudah bosan menatapnya atau memang dia memutuskan untuk menjawab pertanyaannya sekarang. Dia meraih secarik kertas yang kusut itu dari saku, lalu menyerahkannya pada Satoru. 

Sang albino tidak tahu apa maksud dari aksinya, tapi dia tanpa basa-basi membuka kertas yang tertekuk itu secara perlahan. Tidak ada sesuatu lain disana kecuali dua kata tertulis oleh tinta yang berkata :

"Aku juga."

Satoru tidak paham, dia tidak mengerti apa makna yang terpendam dari dua kata ini. 

"Apakah Suguru yang menulisnya?" Shoko mengangguk.

Yah, tetap saja tidak ada petunjuk dimana Suguru kini berada. Mungkin pria yang ia cari itu tengah keluar. Kertas itu kembali dilipat ke bentuk semula. Akan tetapi, ketika Satoru tengah meletakkan kembali secarik kertas itu, matanya tertuju pada sebuah benda yang melilit pergelangan tangan. Kuncir hitam? Tapi.. sejak kapan benda itu..

Tunggu. 

Dia mulai mengingatnya. 

Saat itu....

Find Your Way Home. SuguSato AUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang