Penebusan

379 29 0
                                    

"Danan! Bangun Danan!" Ucap Cahyo sembari menggoyangkan tubuhku.

Aku membuka mata perlahan , rasa sakit menjalar di seluruh tubuhku, Aku memastikan wujudku yang saat ini tak lagi bersatu dengan sukma eyang Widarpa.

"Di mana kita Cahyo?" Tanyaku pada Cahyo yang masih memastikan kondisiku.

"Sepertinya kita kembali ke Imah Leuweung" ucapnya.

Nampaknya kami berhasil selamat dari kejaran Brakaraswana.

"Jasad Mirah?" Tanyaku lagi kepada Cahyo

"Itu.. " Jawab Cahyo sembari menunjuk ke suatu sudut ruangan.

Aku menengok dan menemukan tumpukan tulang belulang yang kutebak itu adalah jasad Mirah, dan disebelahnya terlihat sesosok jasad yang masih utuh , terlihat dari tubuh itu penuh luka siksaan yang terlihat mengenaskan. Aku mengenali juga jasad itu, itu adalah jasad Mbah Wira.

"Cahyo, Kenapa kita harus bawa jasad Mbah Wira juga" Tanyaku pada Cahyo.

"Mbah Wira sangat berdosa, hampir dipastikan dosanya takkan terampuni oleh manusia manapun di dunia ini" Jawab Cahyo.

"Tapi setidaknya walaupun neraka sudah dijanjikan kepadanya, dia tidak lagi milik makhluk jahanam itu, dan soal pengampunan... hanya Tuhan lah yang berhak menentukani" Lanjutnya.

Aku paham perasaan Cahyo , seolah dia tidak sudi membiarkan Brakaraswana mendapat sedikit saja kemenangan terhadap manusia.

"Sudah bisa bergerak?" tanya Cahyo.

Aku mengangguk dan mencoba untuk berdiri, seluruh tenagaku sudah habis, begitu juga dengan Cahyo, semoga dengan ini semua sudah selesai.

"Ayo, kita selesaikan tugas terakhir kita.." Ucap Cahyo.

Aku mengerti dengan apa yang dimaksud oleh Cahyo, yaitu menguburkan dengan layak jasad dari Mirah sang tumbal pertama sekaligus syarat Brakaraswana bisa terhubung dengan dunia ini.

Kami mengumpulkan tulang-tulang Mirah satu persatu , dan keluar dari ruangan tempat di mana Mirah ditumbalkan.

"Tempat ini seharusnya tidak pernah ada..." ucapku sambil memperhatikan setiap sisi rumah tua yang terlihat mengerikan ini.

"Mungkin merobohkan rumah ini bisa jadi pilihan yang bijak, biar warga sini saja yang melakukan.. " Lanjut Cahyo.

Kami berjalan keluar, terlihat dari luar rumah cahaya bulan bersinar menyinari hutan yang dipenuhi dengan pohon jati.

Cukup melegakan, tempat yang sebelumnya dipenuhi makhluk halus, kini terlihat sepi. Hanya serangga malam yang terdengar dari tempat ini. Entah mengapa hal ini menjadi terasa cukup aneh.

Sepanjang perjalanan ke desa kami tak banyak mengobrol , sepertinya tenaga kami sudah habis di pertarungan tadi hingga akhirnya kami sampai di penghujung hutan jati, dan pemukiman desa sudah terlihat dari sini.

" Cahyo, Kita kuburkan di sini saja..." ucapku pada Cahyo.

Cahyo mengerti, dia segera meletakan tulang Mirah , dan kami mulai menggali dengan tangan kosong. Mau bagaimana lagi, kami tidak mungkin melibatkan warga desa mengenai cerita tentang Mirah ini.

Kami menggali cukup lama , namun aku merasa cukup aneh, sudah cukup lama waktu berlalu tapi sama sekali tidak ada tanda-tanda subuh akan datang. Semua ini terasa begitu lama.

Lubang yang cukup dangkal mulai terbuat, kami bersiap meletakan jasad Mirah di lubang itu. Namun ada sedikit rasa tidak nyaman dengan keadaan ini.

"Hentikan!!!"

1. Imah Leuweung - Rumah HutanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang