Chapter 3 : Panik Nggak Tuh?

11 6 2
                                    

Rosalyn POV

Akhirnya perjalanan panjang dengan serentetan drama Kolosal perebutan sang kesayangan itu berakhir dan terselesaikan juga. Dan mungkin drama ini bakalan ada kelanjutannya lagi, lagi dan lagi. Kami tiba di tujuan dengan selamat. Dan destiny pertama adalah lihat-lihat, mungkin ada sesuatu yang menarik dimata dan singgah di hati.

"Honey, tunggu disini bentar, ya! Kakak beli tiketnya dulu." Perintah kakak padaku.

"Kak, aku temenin baby aja, ya?" Kata Aldi ajuin dirinya pada kakak. Ini bocah emang nggak da kapok-kapoknya, ya? Nggak ada efek takutnya, apalagi efek jera. Aku memang harus memuji keberaniannya itu, dia orang pertama yang berani berkata seperti itu didepan kakak.

"Kagak boleh. Lo ikut gue!" Kata kakak menarik Aldi pergi dengannya. "Do, kamu jagain honey. Jangan sampe lecet sedikit pun. Awas aja klo sampe lecet!" Kata kakak sambil menunjuk kedua mata Aldo dengan tangannya. Itu artinya, kakak akan selalu mengawasinya.

Dasar kakak sinting, emang aku barang sampe dikatain lecet begituan? Udah kayak mobil Tesla aja. Lagipula mana sempat dia merhatiin si Aldo, orang dia juga sedang beli tiket, mana kena antri lagi.

"Hahhhh... Akhirnya...." Aku bernafas lega. Hari sudah menjelang siang. Sinar mentari pun menembus dalam sanubari ku, juga menembus kulitku.

"Kamu seperti burung yang lepas dari sangkar, ya?" Kata Aldo yang baru membuka mulutnya sedari tadi.

"Ya? Hahaha, aku bukannya burung yang baru lepas dari sangkar. Hanya saja ada rasa sedikit bosan saat melihat kakak berantem mulu sama Aldi karena terlalu overprotektif. Kamu nggak tau aja, klo di rumah tu dengan Papa. Klo diluar gini, klo nggak Aldi, yah, orang lain deh targetnya."

"Itu karena mereka sayang sama kamu."

"Ya, sih. Aku tau itu. Tapi terkadang hal itu juga melelahkan bagiku. Mereka menganggap ku seperti kaca yang mudah pecah saja."

"Bukannya begitu. Perempuan itu memang lemah dan harus selalu dilindungi. Apalagi kamu orangnya imut, yang membuat orang lain terus ingin melindungi mu."

"Hahahaha, gitu, ya?" Aku tertawa canggung. Karena memang jarang-jarang Aldo berkata begitu. Darimana dia belajar kata-kata semenggoda itu, sangat manis, bahkan kalah manis sama gula batu. "Do, kita duduk, yuk! Pegel nih. Dari tadi berdiri mulu." Ajakku memecah kecanggungan dan menuju ke bangku yang ada disekitar sana.

Aldo mengekoriku dari belakang, dan duduk di sampingku. Terik matahari mulai membuatku berkeringat seakan-akan sudah membasahi baju. Aku mengipas-ngipas tanganku untuk mengurangi rasa gerah, tapi itu tak memberikan efek yang berarti.

"Baby, eh, ehem... Rosa, tunggu disini bentar, ya!" Kata Aldo bangkit dari bangku.

"Do, mau kemana, sih? Ikut dong." Kataku yang nggak mau ditinggalin sendiri.

"Jangan. Bentaran doang kok. Nggak bakalan lama." Jawabnya meyakinkan ku, lalu langsung menghilang gitu aja.

"Mau kemana sih itu bocah?" Pikirku dalam hati dan mencoba menebak apa yang akan dilakukan Aldo. Ke toilet, kah? Tapi arahnya bukan kesana. Mau kemana sih dia?

Pada akhirnya aku ngalah juga, karena memang sudah nggak ada tenaga lagi untuk berjalan. Klo nggak, untuk ukuran lari Aldo itu aku masih bisa mengejarnya. Itu mah bukan masaalah besar bagi anak yang mengikuti Ekskul Taekwondo yang dicap sebagai murid yang selalu terlambat datang, jadi selalu kena hukum lari keliling lapangan deh. Lebih baik aku nyimpen tenaga aja untuk bersenang-senang nantinya.

"Eh....!!" Pekik ku terkejut saat rasa menyengat dingin menyentuh pipiku. "Aldo!"

Aldo menyodorkan minumannya kepadaku. "Nih, ambel! Kebetulan aku membeli lebih." Kata Aldo sambil mencoba menghindar tatapanku. Ternyata seorang Aldo punya sisi ala CEO dominan juga ya. Emang buku nggak bisa diliat dari cover-nya aja.

Dia Bahagiaku Dia Lukaku [Revisi]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang