ADA satu suara yang tak pernah berhenti terngiang dalam benakku. Menggaung, menggema, mencipta bising yang entah sejak kapan bermula.
Dulu kukira, dia adalah teman.
Dulu, kuanggap dia sahabat. Sebab dia satu-satunya yang merespon saat aku bertanya, dia satu-satunya yang ada saat aku butuh didengar, dia yang satu-satunya memberi saran saat aku kebingungan.
Kaos merah atau biru?
Merah saja, merah 'kan warna favorit orang yang kau taksir, sahutnya. Dan aku langsung percaya. Pilihannya adalah pilihanku, suaranya juga (secara tak langsung) adalah suaraku, dan aku percaya padanya seperti aku percaya pada diriku sendiri.
Namun akhir-akhir ini, suara itu semakin berisik.
Semakin sering kuluangkan waktu meresponinya, semakin seenaknya pula ia berkuasa dalam kepalaku. Kadang ia bisa menjadi sangat berisik sampai dunia debuman rintik hujan pun kalah, sangat ramai hingga aku tak sadar tahu-tahu langit sudah gelap. Sementara aku hanya berbaring di kamar, tidur meliuk dengan pipi basah oleh air mata selama entah berapa jam.
Suara itu tak kunjung pudar.
Kamu kenapa?
Orang-orang terdekatku bertanya, aku hanya menggeleng seraya melukiskan senyum. Tidak apa-apa.
Ini ironisnya: meski berisik luar biasa dalam kepala, suara-suara itu tak bisa didengar orang luar.
Ia bersembunyi dengan rapi dalam seluk benakku, menyamar dengan apik sebagai teman yang suportif, sahabat pengertian, pembantu yang siap sedia dalam segala sutuasi. Semua orang ia kelabui, semua orang ia ajak bersekutu untuk mendengar nasihatnya.
Bahkan kadang aku tak tahu dengan siapa aku berhadapan.
Nggak apa-apa kalau kamu butuh teman cerita, itu sahabatku yang berkataーsahabatku yang beneran, bukan sekadar suara dalam benak liarku iniーaku akan mendengar dan mencoba membantu sebisaku.
Aku tersenyum tipis. Ingin sekali kukatakan padanya, ya, aku butuh bantuan. Kepalaku rasanya berisik sekali sampai aku rasa aku akan gila, tapi tak satu pun kata terucap.
Sebab suara itu terlebih dulu datang, Yakin kau percaya dengan dia? Jangan lupa, orang yang kau panggil "sahabat" itu orang yang sama yang dulu membuatmu kecewa. Dia punya teman lain yang jauh lebih asyik darimu. Ah persetan, memang tidak ada yang mau berteman denganmu.
Aku pun diam.
Yang suara-suara itu hasilkan ialah kalimat negatif, seringkali merundung, melecehkan, mengganggu, merendahkan, tapi anehnya, aku tak bisa melakukan apa-apa. Suara itu begitu keras dan kuat, hingga benakku pun memercayainya.
Mungkin aku memang tidak asyik, kata hatiku. Mungkin kau benar, bercerita hanya akan membuatku tampak lemah dan aneh.
Di lain waktu, ketika seseorang datang dan memuji pekerjaanku. Aku menghabiskan nyaris berjam-jam sampai tengah malam untuk mengerjakan satu proyek itu. Dan ketika seseorang berkata, Bagus sekali pekerjaanmu itu. Kau memang berbakat, Nak.
Aku senang, jujur. Aku merasa bersemangat, aku jadi termotivasi untuk bekerja lebih keras dan menyelesaikan lebih banyak proyek serupa.
Namun di satu titik, saat kukira kebahagiaanku lebih besar dan dapat mengalahkan suara bising di kepalaーkarena ia sempat hilang sejenak.
Sampai kemudian aku mulai bekerja. Proyek kedua yang dipercayakan. Aku ingin melakukan yang terbaik. Aku mempersiapkan semuanya dengan teliti, aku tak mau mengecewakan siapapun.
Dan detik itulah suara itu kembali menghantam.
Kau yakin kau bisa mengerjakan itu?
Kucoba abaikan dia, kualihkan fokusku untuk bekerja.
Namun ia tak menyerah.
Kau yakin kau tidak akan merusak? Kau orang yang ceroboh, kekreativitasmu parah, kemarin kau hanya beruntung dan keberuntungan tidak datang dua kali, kau tahu 'kan.
Kemudian, dalam hitungan sekon detak jantungku bertambah. Bagai gerombolan lebah yang mengepung tanpa jarak, demikianlah kurasa ketika berbagai macam ketakutan mulai datang, menyerbu tanpa ampun, menampar bertubi-tubi tanpa celah.
Bagaimana bila dia benar?
Bagaimana bila aku tak cukup hebat?
Bagaimana bila aku hanya beruntung?
Aku memang payah.
Malam yang awalnya kurencanakan matang-matang kini rusak. Proyek itu terbengkalai. Aku mengecewakan semua orang.
Kecuali, suara itu.
Kau memang payah, Nak, aku bahkan masih mendengarnya dengan jelas. Kau tak berguna dan mengecewakan. Kau tak bisa melakukan apa-apa, bahkan tanggung jawab sederhana yang diberikan. Kalau begini, bagaimana mau sukses nanti?
Hancur. Lebur. Habis terkepung. Suara itu lemah dan kecil, namun menjadi kuat ketika aku memberi makan; ketika aku memilih untuk mendengar dan percaya.
Suara itu mungkin juga ada dalam benakmu.
Belajar dari kisahku, jangan beri dia ruang. Jangan dengar dan percaya yang ia katakan.
Sebab semua itu adalah dusta. Kau hebat dan bertalenta, berhenti dengarkan apa kata mereka. []
self-critic bisa menjadi sangat mengganggu. suara-suara itu tidak berhak menahanmu melangkah lebih jauh. kamu cantik, kamu berharga, kamu layak untuk dicinta. kegagalan atau kesedihan tidak membuat nilaimu turun sedikit pun. jangan beri makan suara itu dengan terus mendengar dan percaya padanya. kamu pun berhak untuk bahagia.
KAMU SEDANG MEMBACA
bait-bait sajak yang lahir di pagi buta
Non-Fictiontidak ada yang lebih mematikan, ketimbang mata yang terus terjaga hingga pagi buta, dengan pelipis berdenyut kencang sementara jari-jemari tak henti mengetikkan sajak. biar kali ini, aku bersuara melalui tulisan. --- start: March 28th 2023