MEREKA selalu melihatnya tertawa: gadis riang dengan senyum semanis madu dan lesung pipit yang membuat candu. Suaranya sehari-hari memang cempreng, tapi tidak pernah menyebalkan. Selalu diisi oleh kehangatan, senyum, dan canda tawa. Mereka menyebutnya, Gadis yang Berbahagia.
Ketika ditanya, "Apa yang menjadi sumber lelahmu?"
Gadis itu hanya tersenyum tersipu-sipu, seperti hendak menjawab tapi enggan, hendak bersuara tapi langsung mengurungkan niat. Namun mereka menganggap itu sebagai reaksi rendah hati seorang gadis berbahagia yang tak pernah tahu apa itu arti susah—lihat, sehari-harinya saja dia selalu tertawa, pasti sebab hidup selalu baik dengannya. Jadi mereka tutup telinga, dengan cepat menyimpulkan, "Dia tak punya sumber lelah, dia adalah gadis yang selalu berbahagia."
Gadis itu tidak menjawab.
Hari demi hari berganti. Tawa demi tawa dan senyum demi senyum terlewat. Semakin bertambah hari, gadis itu makin dikagumi.
Kawannya bertambah banyak, bertambah pula deretan orang yang menyebutnya, Gadis yang Berbahagia.
Lagi-lagi, ia tidak membantah.
Tapi, juga tidak mengiyakan.
Seolah, semua itu adalah hal lapang yang tak dapat diubah.
Mereka makin gencar menjulukinya perempuan paling bahagia. Perempuan paling sempurna, perempuan yang tak pernah menderita. Satu dua kali, didiamkan. Tiga kali, gadis itu mulai bergerak tak nyaman. Empat kali, senyumnya luruh. Kali kesekian, ia murka.
Sebab mereka mulai memandang rendah hidupnya.
Kala ia butuh tempat cerita, mereka berkata, "Ah, masakah gadis berbahagia sepertimu punya masalah."
Kala ia butuh mendengar pembelaan, yang temannya katakan hanya, "Ah, kamu 'kan suka bercanda, masa begitu saja sakit hati?"
Kala ia butuh telinga untuk mendengar dan mulut untuk memberi nasihat, orang-orang di sekitarnya hanya mendengkus remeh. "Gadis sedangkalmu mana bisa memikirkan masalah rumit, sudah tidak usah sok sedih begitu."
Apa ia yang terlihat selalu bahagia berarti tak layak memiliki tempat cerita? Sebab ia selalu tampak kuat? Sebab ia seharusnya bisa mengerjakan semua sendirian?
Kesimpulan dari mana itu?
"Mana bukti keluhanmu?" tanya mereka, balas menyerang kala si gadis murka. "Kau selalu terlihat bak orang tanpa masalah. Kau tertawa, haha-hihi di luar sana, apa yang kau risaukan, hah?"
Gadis itu menatap tanpa ekspresi. "Bila kau tanya keluhanku, maka akan kubawa kau pada tumpukan kertas-kertasku. Bila kau tanya siapa yang menjadi saksi keluhanku, mari kubawa kau bertemu pena usangku. Tanya apapun yang ingin kau ketahui: tentang hidupku, keluhanku, air mataku, ceritaku, bahagiaku dan sedihku."
"Apa-apaan kau? Mau pamer kau bisa menulis?"
Gadis itu tertawa lirih, bukan jenis tawa yang biasa ia lanturkan. Kini tawa itu tampak menyedihkan dan menyayat hati. "Lalu siapa lagi yang akan mendengarku cerita? Kau temanku, tapi selalu tutup telinga. Maka kuputuskan untuk bercerita lewat huruf dan kata. Sebab merekaーkertas dan penaーtak akan menghakimiku."
Teman-temannya kehabisan kata, tak dapat menjawab.
Betulan dibawanya pada tumpukan kertas dan pena. Keluhan itu nyata, beberapa kertas bahkan tampak kaku dan basahーseperti baru basah. Seperti ... jejak-jejak air mata.
Mereka sadar, ia yang paling tampak kuat dan tegar, ia juga yang paling banyak memendam. Pelampiasan paling sempurna adalah tulisan. []
Tidak perlu menghakimi hidup orang. Ia yang terlihat tidak punya masalah siapa tahu sedang memendam, ia yang terlihat bahagia siapa tahu menangis tiap malam. Tidak perlu kita menjadi sok pintar lalu menebak-nebak hidup orang. Toh, yang mereka inginkan, hanya didengar.
KAMU SEDANG MEMBACA
bait-bait sajak yang lahir di pagi buta
Non-Fictiontidak ada yang lebih mematikan, ketimbang mata yang terus terjaga hingga pagi buta, dengan pelipis berdenyut kencang sementara jari-jemari tak henti mengetikkan sajak. biar kali ini, aku bersuara melalui tulisan. --- start: March 28th 2023