i saw a piece of you in her

9 1 0
                                    

and, it hurts me: knowing that she is destined to be like you, in a way that I could never be.

***

Aku melihat dirimu di dalamnya.

Aku enggan mengakui itu, awalnya. Dan benci untuk melakukannya, dulu—mungkin, sampai detik ketika tulisan ini ditulis. Lucu, kau tahu? Bagaimana aku melihat dia dan wajahmu langsung terlintas dalam benak. Bukan kamu yang kulihat, padahal. Bukan kamu yang sedang kuajak bicara. Hanya seorang gadis ramah, murah senyum, yang juga pecinta buku. Persis, persis sepertimu.

Lucunya, ia tidak mengenalmu.

Awalnya, ia bilang begitu.

Dan aku dengan naifnya percaya.

Aku menganggap kalian bagai bulan dan bintang bagi langitku yang hampa. Aku adalah langit—hampa, gelap, luas. Dan kamu adalah purnama—satu-satunya, terang, teman bagi langit yang hampa.

Namun aku lupa, purnama selalu meminta cahaya pada bintang.

Dan bintang itu bukan aku.

Aku hanya sebuah kanvas luas yang sepi dan membosankan, lalu kebetulan kau hadir di dalamnya. Aku adalah definisi sempurna dari kesendirian bercampur membosankan, dan di sana kamu datang. Atau sebetulnya, aku yang mencari-cari kehadiranmu.

Semua pertanyaanku terjawab sempurna ketika melihatmu bersamanya. Kamu purnama, dan dia adalah bintang. Kamu bercahaya, hanya saat bersamanya. Kamu tersenyum dan tertawa, hanya karena kehadirannya. Awalnya aku bertanya-tanya apa yang membuat kalian berdua bisa terlihat begitu mirip satu dengan yang lain, tapi ketika melihat dengan mata kepalaku sendiri, aku rasa aku sudah tahu jawabannya.

"Kita" bahkan kata yang terlalu muluk, yang kuciptakan sendiri dengan angan dan ekspetasi. Sebab kita tidak pernah ada.

Selalu ada kamu dan dia,

dan aku yang terlalu berharap.

Kudengar, pasangan selalu terlihat mirip.

Yang mana tak heran ketika aku berkata, aku melihat dirimu di dalamnya. 

Tapi kurasa, aku akan belajar untuk melepas dan merelakan. Aku akan tetap menjadi cakrawala yang menjadi saksi atas kebersamaan bulan dan bintang--tapi bukan dengan siksaan, melainkan rasa syukur dan lega. Menyakitkan harus melepasmu, ketika aku adalah sebuah hamparan langit kesepian sementara kamu adalah satu-satunya teman, tapi kurasa, hubungan tidak seharusnya dilandaskan oleh kesepian.

Dan setiap orang berhak untuk bersama orang yang ia suka. Sepenuh hati, bukan dengan paksaan.

Aku belum menemukan orang itu, sayangnya, tapi itu tidak bisa menjadi alasan untuk aku mengekang sesuatu (atau seseorang) demi kebahagiaanku. Kita berhak untuk bahagia, tapi bukan dengan paksaan.

Selamat tinggal, purnamaku. []

bait-bait sajak yang lahir di pagi butaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang