cukup adalah cukup

18 1 0
                                    

Waktu terlalu mahal untuk dihabiskan memikirkan, mencari-cari, mengais perasaan. Memang, perasaan adalah hal krusial. Namun, tidakkah melelahkan untuk terus hidup dikendalikan perasaan?

Sebagai seorang melakolis, aku mengaku perasaan adalah hal brutal. Hal vital. Bagai debaran jantung atau embusan napas yang tanpanya kita mengaku tak dapat hidup. Awalnya, kupikir begitu pula manusia tanpa perasaan: ia tidak akan jadi sepenuhnya hidup. Masih bernapas, memang. Masih bergerak, memang. Tapi, di dalamnya hampa. Ia tidak menjalani fungsi sebagai manusia secara utuh.

Sebab apa yang memanusiakan manusia adalah perasaan: kemampuan untuk simpatik dan mengekspresikan empati itu pada orang lain.

Tapi terkadang, simpati itu terlalu berlebihan.

Cukup adalah cukup, ialah kalimat favorit yang sering kulemparkan pada diri sendiri.

Guna menyadarkan diri bahwa, tidak semua hal harus ditakar dengan rasa.

Melelahkan sekali menjadikan emosi dasar dari segala sesuatu. Karena perasaan belum tentu benar, dan dari perasaan yang tidak pasti kebenarannya itu, kita jadi mereka-reka sesuatu yang sifatnya tidak jelas. Belum tentu akan terjadi, bahkan mungkin sama sekali tidak pernah terjadi. Hanya, ketakuran, rasa khawatir, atau bahkan perasaan semanis jatuh cinta dan terlalu bahagia akhirnya membuat khayalan-khayalan kita bagai adonan yang mengembang. Penuh, gemuk, padat.

Hanya untuk nanti menemukan fakta bahwa, seluruh khayalan itu tidak berdasar.

Karena itu, mulai katakan pada dirimu, "Cukup adalah cukup. Tidak semua hal harus dijadikan bahan untuk berperasaan".

Lalu, kamu barangkali bertanya, "Bagaimana semudah itu kamu mengatakannya? Aku hidup dengan perasaan yang melimpah ruah bak ember kepenuhan air, bagaimana aku bisa tenang dengan segala lautan emosi yang ada?"

Aku pun awalnya berpikir begitu. Andai emosi adalah ombak dan aku hanyut di dalam. Rasanya lebih mudah untuk tenggelam dalam lautan rasamu sendiri. Namun, sampai kapan kamu mau tenggelam dimakan ombak perasaan?

Aku memutuskan untuk tidak menjadi seorang penyelam yang pasrah. Alih-alih, aku mendambakan diri menjadi seorang peselancar. Yang bukan larut dalam ombak, melainkan memanfaatkan ombak itu dan mengendarainya.

Jangan mau dikuasai perasaan, berkuasalah atas perasaan itu.

Mulai dari hal sederhana, kontrol dirimu: kontrol perasaanmu.

Cukup adalah cukup, diriku. []

bait-bait sajak yang lahir di pagi butaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang