pujangga dan imajinasinya (yang berantakan)

25 3 0
                                    

KATAMU, aku adalah seorang pujangga.

Tidak secara langsung, memang. Tapi kamu mengakui bahwa aku berbakat merangkai kata. Atau, menyusun huruf hingga bermakna indahーhuh, memang apa bedanya? Toh keduanya punya inti sama: bagimu aku puitis dan piawai dalam menulis. Imajinasiku kamu kagumi, kemampuanku dalam merangkai kata kamu puji. Kamu jadikan salah satu hal menarik tentangkuーeh, bagian ini aku tidak terlalu ingat, apa benar dulu kamu pernah menganggapku menarik?

Dulu juga, kamu hobi sekali memuji tiap pencapaian kecil yang kuraih. Saat aku memublikasikan artikel ke publik untuk pertama kali, misalnya. Atau saat aku berhasil mencetak buku ratusan halaman yang kuketik dengan jemari sendiri. Oh, oh, aku ingat! Saat aku pertama kali mendeklarasikan bahwa menulis adalah bagian jiwaku, kamu langsung bersorak girang.

Oke, hiperbola.

Kamu hanya tersenyum rupanyaーseringai tipis entah bermaksud memuji atau justru menyindir. Aku menyukaimu, jadi kutangkap semua sikapmu sebagai wujud dukungan alih-alih cemoohan.

Kamu memang tidak mempromosikan artikelku seperti yang dilakukan kebanyakan orang, tapi setidaknya kamu membacanya. Oh, atau tidak, ya? Entahlah. Dulu, kamu bilang kamu hanya membuka link artikelku dan menggulir layar sampai habis. Dulu aku percaya kamu benar-benar membacanya, dulu kupikir kamu hanya terlalu malu untuk mengaku, dulu aku mengira itu hanya caramu untuk mengungkapkan dukungan pada hobi sederhanaku.

Sekarang, aku ragu.

Apa kamu bahkan membaca habis judulnya?

Saat buku ratusan halaman milikku naik cetak, kamu tidak mengucapkan selamat atau apapun. Aku mempromosikannya melalui banyak platform, kamu tahu? Aku menulis itu dengan air mata, harapan, dan doa hingga pukul tiga subuh. Namun, kamu tidak lebih dari seorang penonton. Kamu hanya melihat, lalu beranjak. Seolah apa yang aku lakukan tidak penting.

Jangan-jangan, memang apa yang aku lakukan tidak penting di matamu.

Dulu, kukira kamu menghargai setiap pencapaian kecil yang kuraih, setiap prestasi dan hobi yang kudapat, kukerjakan, kukejar sampai jauh.

Sekarang, aku ragu.

Dulu, kukira kamu mengatakan aku adalah pujangga yang sempurna. Imajinasiku melampaui batas, imajinasiku selalu dapat diandalkan, pikiranku selalu di luar nalar, berkelakar jauh menembus angkasa. Kamu suka imajinasiku (bukankah begitu?), kamu mengagumi isi otakku yang penuh fantasi dan romansa (tidakkah begitu, wahai kawan?)

Kataku, Tapi semua ini tidak nyata?

Sahutmu, Memang apa salahnya tidak nyata? Selama itu bisa menghibur orang, kenapa tidak?

Menghibur, ya ....

Kurenungkan satu kata itu.

Kuterapkan dalam pekerjaanku.

Dalam tulisanku. Dalam puisi-puisiku. Dalam setiap rajutan huruf.

Lambat laun, dalam hidupku.

Ketika aku mengaku, aku menyukaimu. Tidak bisakah kamu tetap di sisiku, wahai Kawan?

Detik itu juga aku dihantam kesadaran kuat-kuat.

Sebenarnya, siapa sosok yang kusukai? Siapa sosok yang kukagumi?

Sejak awal, siapa sosok yang bahkan mendukung aku dan mimpikuーyang menghargai tiap pencapaian kecil yang kuraih dan bersorak riang penuh kemenangan atas tiap prestasiku?

Kamukah itu?

Aku menggaungkan pertanyaan itu berulang-ulang.

Betulkah kamu?

Atau ... hanya imajinasiku tentangmu?

Tidak ada jawaban.

Apa kamu nyata?

Apa kamu bahkan benar-benar ada, wahai Kawan? []

Belajar untuk mengenal orang lain sebagaimana dia apa adanya. Tidak perlu denial dengan fakta yang ada. Kalau memang tidak sesuai ekspetasi, tidak perlu memaksa. Kalau ia memang berkata "tidak", berarti ia memang bukan yang terbaik untukmu. Lepaskan semua fantasi dan imajinasimu tentangnya. Untuk membangun relasi yang intim dan kuat, kamu harus dengan sengaja melepas seluruh harapan dan ekspetasi, lalu melihat dia sebagai apa adanya dia.

bait-bait sajak yang lahir di pagi butaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang