Mengapa kita memilih untuk memendam? adalah pertanyaan yang entah berapa kali lewat dalam benakku tiap malam menjemput. Mengapa kita memilih untuk menyimpan-nyimpan borok di balik kaos, jaket, atau sweater, membiarkannya membusuk dan menjadi abu.
Mengapa kita harus berjuang sendirian?
Catatan ini ditulis tiga puluh enam menit sebelum tengah malam, tiga puluh enam menit sebelum jam berdenting dan hari baru dimulai, tiga puluh enam menit sebelum aku harus kembali diperhadapkan dengan rutinitas esok hari.
Aku punya banyak daftar hal yang harus diselesaikan, tapi pertanyaan mengapa kita memilih untuk memendam tidak pernah benar-benar sirna. Selalu hadir dan datang, mengetuk benakku dengan samar-samar, sembari sesekali mengirim bisikan, Kamu terlalu lemah, haha. Banyak orang menghadapinya sendiri, hanya kamu yang mengeluh.
Aku tidak setuju.
Maksudku, kenapa?
Kenapa kita memilih untuk memendam sendiri?
Mengapa kita harus menyimpan semua masalah dan menghadapinya sendirian?
Aku memikirkan banyak waktu ketika aku memilih untuk diam. Ketika seharusnya aku mencari pertolongan, ketika seharusnya aku mendatangi seorang teman dan berkata, "Aku butuh teman cerita, aku merasa lelah menanggung semuanya sendirian", ketika aku tahu aku sudah kelabakan dan merasa sangat lelah tapi yang kulakukan hanyalah menampilkan senyum dan mengangguk menurut ketika ditugaskan sesuatu.
Mengapa aku memilih untuk memendam?
Lalu, suatu hari, aku menemukan jawabannya.
Ternyata, sangat sederhana. Bahkan jauh lebih sederhana dari yang awalnya kukira.
Karena kita tidak siap dengan yang namanya penghakiman.
Aku tidak hanya berbicara soal gosip atau fitnah atau hinaan yang langsung diucapkan di depan wajah. Melainkan tatapan aneh yang mereka lemparkan kala kamu berkata "aku butuh bantuan", bisikan halus dan tawa di belakang pundak. Seolah meminta bantuan adalah hal yang lucu.
Seolah mengaku lemah adalah hal lucu.
Lalu, tanpa disadari bahkan tanpa disengaja (seringkali terjadi begitu saja), kita pun memilih untuk diam.
Memendam. Bungkam. Sebab ternyata, itu jauh lebih mudah ketimbang harus mengaku di depan mata.
Sebab ternyata, jauh lebih mudah untuk tersenyum dan mengatakan "aku baik-baik saja", ketimbang harus jujur mengakui bahwa kamu lelah.
Barangkali, itulah mengapa kita memilih untuk memendam. []
Yang paling mudah tidak berarti yang paling benar. Bagaimana caramu menyikapi sebuah masalah kelak akan terbawa sampai usia senja, kelak akan terbawa dalam hubungan, kelak akan terbawa dalam bagaimana kamu mengajari anak-anakmu. Lakukanlah ini untuk dirimu. Atau, kalau itu masih terdengar cringe, lakukanlah ini untuk orang yang kelak akan menjalin hubungan denganmu. Karena, bagaimana pun, cara untuk menyelesaikan konflik yang sehat dimulai dengan jujur dan memberanikan diri untuk menghadapinya.
Sesulit apa pun itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
bait-bait sajak yang lahir di pagi buta
Non-Fictiontidak ada yang lebih mematikan, ketimbang mata yang terus terjaga hingga pagi buta, dengan pelipis berdenyut kencang sementara jari-jemari tak henti mengetikkan sajak. biar kali ini, aku bersuara melalui tulisan. --- start: March 28th 2023