Chapter 10

804 247 33
                                    

🍬Fitnah yang sejatinya lebih kejam daripada tidak memfitnah 😂🤣🍬

-- Happy Reading, Happy Fasting --
Marentin Niagara

Overthinking kembali mendera. Terlebih saat bisik-bisik tetangga mulai berembus kencang yang terdengar begitu sumbang di telinga tentang kedekatan Subuh dengan keluarga Rabani. Bukannya Subuh tidak mendengar, tetapi dia beranggapan bahwa niatnya membantu Asmara tulus. Itu pun dilakukan karena Rabani sempat bercerita dia tidak bisa mengantarkan sedangkan kondisi Asmara tidak bisa sendiri tanpa pendamping.

Mungkin cara Subuh keliru, meskipun dia sudah mengantisipasi dengan mengajak Rubina supaya tidak terkesan pergi berdua-dua. Sayangnya pandangan masyarakat tidaklah sesimpel seperti pemikirannya.

"Mar, aku minta maaf. Mungkin kamu pun juga telah mendengar apa yang dibicarakan oleh masyarakat tentang kita." Subuh yang datang bersama Usman ke rumah Asmara menyampaikannya secara langsung.

Di hadapannya duduk serta Rabani bersama mereka untuk mendengarkan dengan baik.

"Mungkin karena di sini aku dianggap sebagai orang yang paham akan agama, sementara sikapku tidak mencerminkan itu." Subuh menatap Asmara dan Rabani bergantian.

"Pak Bani—" Dia kemudian menghela napas.

"Saya minta maaf untuk masalah ini yang jujur pasti membuat Pak Bani dan Asmara menjadi tidak nyaman." Subuh melanjutkan kalimatnya.

Sebagai orang tua yang dituntut bijaksana, Rabani memilih tersenyum sebelum menanggapi ucapan Subuh. Dia justru menatap putrinya, setidaknya memastikan apa yang akan Asmara lakukan untuk menyingkapi berita yang beredar di masyarakat tentang mereka.

"Mara bagaimana?" tanya Rabani.

Asmara menggeragap, terlihat terkejut saat sang ayah melemparkan pertanyaan yang membuatnya sulit untuk menjawab.

"Ayah sudah mendengar hati Mas Azlul, sekarang kamu bagaimana?" tanya Rabani.

"Bagaimana apanya, kemarin kami berangkat dari rumah berempat, pulang pun juga bertiga. Jadi apa yang mereka katakan juga keliru. Rubina bisa dimintai keterangan sebagai saksi," jawab Asmara.

Pemikiran logis yang dilontarkan putrinya membuat Rabani menganggukan kepala setuju dengan pendapat putrinya.

"Mas Azlul, Bapak sependapat dengan ucapan Asmara. Tidak perlu diperpanjang. Biarkan sajalah mereka ingin bicara apa, kemarin Bapak kan juga sudah mengizinkan karena tahu Mas Azlul tidak sendirian mengantarkan Mara. Kalau nanti Rubina angkat bicara semuanya juga akan reda dengan sendirinya," kata Rabani.

Usman pun mengangguk tanda setuju dengan pendapat Rabani. Dalam masyarakat itu wajar terjadi pro dan kontra, setidaknya itu yang harus menjadi pegangan.

"Namun, berhati-hati dan selalu menjaga diri adalah keharusan bagi umat manusia, supaya hidupnya benar, tidak merugikan orang lain, terlebih merugikan diri sendiri," lanjut Rabani.

Subuh mengerti dan hatinya kembali lega setelah Rabani dan Asmara tidak menyalahkan sikapnya.

"Sekali lagi terima kasih untuk pengertiannya, Pak Bani," kata Subuh.

"Harusnya kami yang mengucapkan terima kasih. Karena kebaikan Mas Azlul, Mara tidak kerepotan selama di kampus. Nanti kalau saya mendengarnya langsung, saya pastikan untuk menjelaskan kejadian yang sebenarnya kepada mereka," tutup Rabani.

"Kalau begitu saya pamit, Pak Bani." Subuh berdiri disusul dengan Usman di belakangnya.

Keduanya keluar rumah setelah mencium tangan Rabani dengan takzim.

Asmara SubuhTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang