Chapter 23

786 243 29
                                    

🍬Tidak akan pernah salah dengan hubungan darah karena sejatinya anak ataupun orang tua tidak bisa memilih dari rahim siapa dia terlahir, tapi akhlaklah yang menjadi penyambung keduanya dalam kebaikan.🍬

-- Happy Reading, Happy Fasting --
Marentin Niagara

Baru saja Subuh meletakkan telepon genggamnya di meja. Tiba-tiba benda itu berbunyi lagi, nama yang selama sepuluh tahun terakhir ini sangat dia hindari tiba-tiba muncul menggetarkan benda pipih yang selama ini dibawa ke manapun Subuh pergi.

'Papa', demikian tulisan yang terbaca di layar telepon genggam milik Subuh.

Mulanya Subuh juga enggan untuk menerima, tapi benda itu tidak berhenti menjerit yang membuat tangan Subuh akhirnya menggeser button berwarna hijau untuk mendengarkan suara di ujung teleponnya.

"Papa ingin bertemu, Lul. Tapi tidak di rumah mamamu. Ada hal penting yang ingin Papa sampaikan kepadamu," kata Gunawan.

"Untuk apa lagi? Tidak ada hal penting lagi bagi Alul tentang Papa setelah air mata Mama mengalir karena Anda," jawab Subuh dengan gigi gemeletuk menahan emosinya.

"Please, Alul. Kita ketemu dulu baru nanti Papa bicara, kita tidak mungkin bicara melalui telepon seperti ini."

Sebenci apa pun Subuh kepada papanya, kali ini dia memilih mengalah untuk bertemu dengan papanya. Sekaligus Subuh ingin mengatakan bahwa sebentar lagi dia akan menikah dengan seorang gadis yang mungkin telah dikenal papanya melalui cerita.

Sore harinya, Subuh menemui Gunawan di sebuah rumah makan sesuai dengan kesepakatan mereka. Dan saat Subuh tiba, Gunawan telah duduk sambil menikmati kopi panas kesukaannya.

Melihat putranya tiba, senyum Gunawan semakin merekah. Putra yang selama sepuluh tahun ini ditinggalkannya kini telah menjelma sebagai laki-laki yang gagah perkasa. Garis wajahnya menurun darinya tanpa sedikit pun ada penyimpangan.

"Katakan apa yang ingin Anda sampaikan, Alul tidak memiliki banyak waktu untuk bicara." Dengan tegas Subuh bicara setelah dia duduk di depan papanya.

Gunawan menatap putranya, dia tahu dengan pasti tatapan kekecewaan itu masih tergambar jelas sama seperti sebelas tahun yang lalu saat pertama kali putranya mengerti bagaimana ceritanya dengan Nurita. Tenaga keuangan yang sangat dipercaya oleh mamanya bersedia menjadi wanita idaman lain hanya karena rupiah.

"Papa minta maaf, Lul. Sebenarnya hal ini ingin sekali Papa lakukan dari dulu, tapi mamamu tidak pernah memberikan kesempatan Papa untuk bertemu denganmu. Baru-baru ini Papa memiliki nomer teleponmu."

"Bukan Alul yang berhak menerima maaf dari Papa, tapi Mama. Wanita yang telah papa sakiti hatinya." Alul enggan menatap papanya.

Meski lama tidak bertemu sedikit pun tidak ada rasa rindu yang mendera di hati Subuh. Rasa itu sudah lama terkubur bersamaan dengan sakit hatinya atas perangai papanya. Hingga percakapan keduanya terasa begitu dingin meski Gunawan berusaha untuk mengakrabkan diri.

Membangun bonding antara ayah dengan anak itu tidak semudah membalikkan tangan manakala hubungan itu telah ternoda dengan sikapnya sendiri. Gunawan merasakan kebencian yang ada di hati putranya telah mengakar hingga secuil pun Subuh tidak berusaha untuk mengimbangi niatnya yang ingin memperbaiki kesalahan di masa lalunya.

"Apa yang kurang diberikan Mama kepada Papa? Kehormatan? Derajat?" Subuh bertanya dengan suara parau.

"Lul, kamu tidak pernah tahu rasanya sebagai laki-laki yang tidak berharga dan tidak ada nilainya di mata keluarga."

Subuh tersenyum miris.

"Siapa yang menganggap laki-laki tidak berharga seperti itu?"

"Mamamu dan keluarganya. Papa ini seolah budak yang bisa didikte untuk melakukan apa pun sesuai dengan keinginan mereka. Tanpa mereka sadari bahwa Papa juga memiliki ingin yang mungkin berseberangan dengan keinginan mereka," jelas Gunawan.

Asmara SubuhTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang