Chapter 17

770 249 19
                                    

🍬Adakalanya orang lain menjadi saudara, saudara sendiri justru menjelma seperti orang lain untuk kita.🍬

-- Happy Reading, Happy Fasting --
Marentin Niagara

Sejak Asmara mengetahui bahwa Rubina adalah sepupu calon suaminya. Sejak itu pula hubungan mereka semakin dekat. Asmara memang telah menerima lamaran Subuh meski keluarga besarnya belum datang secara resmi untuk memintanya langsung kepada Rabani. Rubina beberapa kali mengajak Asmara ke rumahnya, yang pastinya di sana sudah ada Subuh bersama kedua orang tuanya.

"Sebaiknya lamaran ini memang disembunyikan dulu, dan ada baiknya jika kalian segera bertemu dengan Mbak Esti. Tidak harus menunggu lebaran tiba. Rubina juga tidak ada kegiatan kan di sekolah?" tanya Rustam.

"Tidak ada sampai hari raya, Bi."

"Nah itu, Rubina siap menemani kalian jadi untuk apa menunda sesuatu yang baik?" kata Rustam dua hari yang lalu.

Pagi ini Asmara bersiap, setelah mengikuti gladi resik di Dinperpa rencananya Subuh akan mengajaknya berkunjung untuk berkenalan dengan sang mama. Walaupun dengan hati deg-degan tapi Asmara selalu ingat pesan dari ayahnya, menjadi diri sendiri, tidak perlu merasa kerdil karena semua manusia sama derajatnya di mata Allah. Yang terpenting dia tetap menjaga sopan santu dan unggah-ungguh ketimuran.

"Aku berangkat dengan ojek saja, Buh," tolak Asmara ketika Subuh berbaik hati berniat untuk mengantarkannya.

"Kamu juga masih harus mengetahui rumahmu dirubuhkan pagi ini, kan?"

Renovasi rumah Subuh mulai dilakukan, sebelum hari raya tiba, bangunan yang berdiri di atas tanah seluas 450 meter persegi itu harus selesai diratakan. Subuh sendiri kini tinggal di rumah Rustam sampai dengan pengerjaan rumah dan tokonya selesai dibangun.

"Ya sudah, kamu hati-hati di jalan. Kabari kalau acara akan selesai. Biar aku dan Rubina segera meluncur."

Asmara menutup panggilan telepon ketika suara klakson taksi online yang dipesan Asmara tiba.

"Ayah, Mara berangkat dulu. Doakan acaranya lancar ya?"

"Jangan lupa nanti bawakan buah tangan untuk mamanya Mas Azlul." Rabani mengusap kepala Asmara ketika putrinya mencium tangan kanannya.

"InsyaAllah, Yah." Asmara melesat bersama dengan mobil yang membawanya pergi.

Tidak banyak perubahan, Asmara juga hanya melengkapi dan pembagian tugas sudah sangat jelas. Gladi resik berjalan sangat lancar. Jika besok tidak terkendala cuaca, semua bisa dipastikan sudah sesuai dengan jadwal yang telah disusun rapi beserta panitia penanggungjawabnya masing-masing.

"Mara, besok jangan sampai terlambat ya?"

"Siap Pak Sanusi. Saya datang lebih pagi," jawab Asmara sebelum pergi.

Subuh sudah menunggu di dalam mobil bersama dengan Rubina di depan kantor Dinperpa. Keduanya masih saling mengolok saat Asmara berjalan mendekat.

"Dari dulu emang Mas Alul sudah sebucin ini dengan Mbak Mara. Nggak usah munak kali!"

"Apaan sih, Bin? Ya wajar kan, meminta informasi sebelum melangkah lebih jauh."

"Memangnya Mas Alul secinta itu ya pada Mbak Mara dari SMA?" tanya Rubina yang lebih terkesan pada kepo ingin tahu.

"Tapi Bude Esti sudah setuju, kan, Mas? Kasihan Mbak Mara kalau sudah sampai di rumah, eh Bude Estinya malah nggak setuju. Bikin Bina takut punya mertua aja nanti."

"Mertua, mertua, sekolah dulu yang benar. Kerja, baru ngomongin mertua."

"Nah, situ sendiri apa kabarnya? Mbak Mara baru saja selesai ujian skripsi sudah main lamar saja. Dia juga belum kerja woi!"

Asmara SubuhTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang