🍬Hati adalah sesuatu yang tak mungkin berbohong pada diri sendiri.🍬
-- Happy Reading, Happy Fasting --
Marentin NiagaraMengempaskan sebuah kata pupus, karena sekali kaki melangkah maju tidak terbersit ada istilah mundur lagi bagi Subuh. Kebungkaman dan air mata Asmara tidak serta merta membuatnya putus asa lalu selesai dan balik kanan tanpa sebuah kepastian. Banyak kemungkinan yang harus dipastikan. Mungkin beriak yang tampak adalah wujud keterkejutan hati atas ketidaksiapan sebuah jawaban. Subuh yakin hatinya tidak bertepuk sebelah tangan. Asmara hanya butuh waktu untuk berpikir jernih untuk bicara.
Namun, tetap saja menunggu dalam ketidakpastian itu adalah pekerjaan yang paling membosankan. Tidak cukup sebuah kata sabar untuk menetralkan hati agar terlihat baik-baik saja.
"Mas Alul, melamun saja. Ditanya Abi tuh, kapan Bude Esti diajak ke rumah Mbak Mara?" kata Rubina.
"Lah iya lho, Lul. Bulik juga tidak mengerti mengapa kami harus merahasiakan kalau kamu ini keponakan sendiri," kata Hasna.
"Untung Bina nggak pernah salah sebut dia di depan orang-orang, Mi," sewot Rubina.
Rustam hanya tersenyum melihat keluarganya sedang mencerca Subuh ketika mereka sedang berkumpul untuk buka bersama di rumahnya. Apalagi terlihat keponakannya sedang melamun.
"Asmara masih belum memberikan jawaban, Lul?" tanya Rustam.
Gelengan kepala Subuh mewakili jawaban apa yang harusnya disuarakan.
"Apa perlu bantuan Rubina? Biasanya karena sesama wanita, mereka akan jauh lebih enak untuk bicara," usul Hasna.
"Sebenarnya Alul masih takut, Bulik."
"Takut apa kamu?" tanya Rustam.
"Paklik kan tahu jelasnya bagaimana hubungan antara keluarga Alul dan Mara. Dan sampai sekarang Mara sepertinya belum tahu siapa Alul sebenarnya, mungkin juga dengan ayahnya." Tatapan Subuh menerawang jauh ke belakang.
"Bin, temani adikmu ke masjid dulu." Melihat putrinya telah menyelesaikan makannya Rustam segera memberikan perintah untuknya agar segera meninggalkan meja makan karena dia akan bicara lebih serius dengan Subuh bersama istrinya.
Hening beberapa saat sampai Rubina meninggalkan meja makan dan mengajak sang adik berangkat ke masjid untuk persiapan melaksanakan salat Isya dan tarawih di sana.
"Sekarang Paklik tanya, motifmu melamar Asmara apa?" tanya Rustam.
Subuh menatap adik mamanya ini dalam-dalam. Tak lama kemudian pandangan Subuh beralih kepada bibinya.
Desahan napas seolah mengartikan bahwa Subuh memilih diksi yang pas untuk disampaikan kepada pamannya.
"Alul tahu Mara berbeda, Paklik. Dan yang pasti Pak Bani berhasil mendidiknya menjadi wanita yang baik tanpa harus membuka aib di masa lalunya. Sampai akhirnya takdir mengembuskan perasaan lebih di hati Alul untuk mulai mencintai Mara."
"Kamu mencintainya?" tanya Rustam.
Tidak ada jawaban yang terdengar. Lagi-lagi gerak tubuh Subuh yang menjawab pertanyaan itu dengan pasti.
"Tidak ada alasan Alul membenci Mara. Kami ada dengan hati dan kehidupan yang berbeda. Mungkin dulu iya, tapi setelah Alul mengenal Mara, rasanya terlalu naif kata benci itu tersemat," jelas Subuh.
"Lalu, tanggapan mamamu bagaimana?" tanya Hasna.
"Awalnya Mama juga ragu, takut Alul hanya ingin membalaskan semuanya pada Mara," jawab Subuh.
KAMU SEDANG MEMBACA
Asmara Subuh
General FictionMenemani santap sahur selama Ramadhan, eh baru kepikir untuk buat cerita religi seperti ini...tanpa sinopsis, hanya menulis apa yang pernah terlihat oleh mata