Chapter 25

797 250 19
                                    

🍬Terkadang untuk bisa melompati sungai itu kita harus berlari mundur.🍬

-- Happy Reading, Happy Fasting --
Marentin Niagara

Rasa malu yang akhirnya membuat tangan Asmara menari di atas secarik kertas. Hatinya bukan baja yang bisa selalu kuat walau ditempa berbagai masalah. Mungkin ujung dari kata sabar yang dia pelajari harus berakhir sampai di sini. Asmara tidak mampu membayangkan seperti apa cibiran tetangga yang akan menyapa telinganya nanti.

Tekadnya sudah bulat, dia akan merantau ke ibu kota untuk menepi. Walau hatinya tahu, melarikan diri dari masalah itu bukanlah satu solusi. Namun, Asmara tidak mau ambil peduli. Mungkin dia dia menjauh, mamanya akan menyadari bahkan keluarga itu adalah segalanya dalam hidup.

Ayah yang Mara cintai seumur hidup,

Maaf jika akhirnya Mara harus menyerah. Bukan karena Mara tidak mencintai Ayah. Tapi justru karena Mara sangat menyayangi Ayah dan tidak ingin Ayah direndahkan sedemikian rupa oleh Mama.

Entah nanti Mara akan dapat pengampunan atau tidak dari Allah karena menelantarkan orang tua. Tapi Mara tidak bisa hanya diam dan menerima semuanya, Ayah. Mara harus bergerak dan satu-satu yang terlintas dalam pikiran adalah menjauh dari kalian untuk sementara waktu.

Kepergian Mara kali ini mungkin akan membuat hidup kita berbeda. Mara yang selama ini selalu ada di sisi Ayah tapi kini harus hidup terpisah. Walau kita akan berjauhan, Mara janji akan selalu memeluk Ayah dalam doa. Doakan Mara selalu dalam lindungan-Nya dan semoga Ayah selalu sehat. Tolong sampaikan permintaan maaf Mara untuk Subuh dan keluarganya, Ayah.

Mara pamit, tidak perlu mencari Mara. InsyaAllah Mara akan baik-baik saja.

Gadis yang sangat menyayangi ayahnya,

Sukma Asmara.

Asmara melipat kertas itu dengan rapi dan meletakkannya di atas nakas yang ada di samping tempat tidurnya. Dia segera berkemas dan menunggu pesanan taksi online yang akan mengantarkannya ke stasiun tiba di depan rumahnya.

Sebelum akhirnya pergi, Asmara memastikan kondisi ayahnya. Melihat Rabani terlelap dengan tarikan napas teratur membuat gadis 22 tahun itu tersenyum lega. Setidaknya dia bisa melihat sosok bijaksana itu sebelum meninggalkan rumah.

"Mara janji akan mengabari Ayah di mana nanti Mara akan tinggal. Semoga keluarga Gani yang ada di Jakarta bisa membantu Asmara mendapatkan pekerjaan." Asmara mencium kening Rabani sebelum akhirnya dia benar-benar pergi.

Berbekal dari alamat yang diberikan oleh Rengganis, setelah sampai di Stasiun Gambir, Asmara segera mencari taksi yang bisa mengantarkannya ke alamat yang tertera di pesan percakapan terakhir dengan Rengganis.

"Pak, tolong antarkan saya ke Kemang." Asmara kemudian membacakan alamat lengkapnya dan driver taksi segera meluncur ke alamat yang dimaksudkan oleh Asmara.

Sementara waktu, Asmara menonaktifkan telepon genggamnya. Dia tidak ingin mendapatkan banyak pertanyaan. Satu-satunya orang yang berhak tahu atas keadaannya hanya Rabani. Siang ini Asmara berencana untuk mengganti nomor teleponnya.

Sampai di rumah saudara Rengganis, Asmara disambut dengan baik. Bibi Rengganis ini telah sedikit mengetahui permasalahan Asmara lewat cerita yang disampaikan keponakannya. Itu sebabnya setelah Asmara tiba, dia segera meminta sahabat dari keponakannya ini membersihkan diri dan mengajaknya bicara sambil menikmati sarapan.

"Jadi Asmara ingin bekerja bagaimana? Nanti coba saya carikan info dari teman kantor," tanya Mira.

"Apa pun yang penting halal, Tante." Asmara tersenyum samar. Pikirannya masih tertuju kepada ayahnya.

Asmara SubuhTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang