Chapter 28

1.3K 273 26
                                    

🍬Menua itu kepastian bijaksana adalah pilihan.🍬

-- Happy Reading, Happy Eid Al-fitr --
Marentin Niagara

Bak hilang separuh napasnya. Mungkin demikian pepatah yang bisa mengibaratkan kelesuan yang mengikis semangat Subuh beberapa hari terakhir. Meski dia bekerja di kantornya, tapi tetap saja beberapa kali terlihat wajahnya murung dan banyak melamun. Hatinya memang tidak berada di tempat. Pikirannya mengembara ke mana sejatinya Asmara pergi meninggalkan semuanya.

"Padahal kamu tahu sebentar lagi kita akan melewati gerbang kebersamaan itu, Mar." Subuh menggulung lengan bajunya ke atas.

Di mobil dalam perjalanan pulang menuju rumah Rabani, Subuh masih mengira-ira di mana Asmara berada sekarang. Dari beberapa hari ini sang ayah juga memilih banyak diam dan menyendiri hingga Subuh pun yang harus aktif bertanya atau mengingatkan sesuatu kepada Rabani.

"Kamu tahu, Mara. Ayah selalu menangis ketika mengingatmu. Setidaknya tolong berikan kabar kepada beliau, aku tidak sampai hati melihatnya murung setiap hari." Subuh bicara tapi percuma, di dalam mobil dia hanya sendiri dan Asmara tidak akan mendengar apa yang dia katakan.

Tiba di rumah Rabani, rumah tampak sepi, sepeda motor yang biasa dipakainya sudah ada di garasi tapi pintu samping rumah tampak tertutup. Sepertinya pemilik rumah sedang beristirahat. Subuh pun hanya lirih mengucapkan salam dan tidak menemui siapa-siapa di dalam.

Langkahnya tertarik menuju kamar Rabani yang tertutup pintunya. Tangan Subuh terangkat perlahan untuk mengetuk pintunya. Dia hanya ingin memastikan calon mertuanya baik-baik saja di dalam kamar.

"Ayah, Alul boleh masuk?" tanya Subuh tapi tidak terdengar sahutan dari dalam sampai akhirnya dia memutuskan untuk membuka pintu perlahan.

Kedua mata Subuh tampak kaget manakala dia melihat Rabani sedang meringkuk di tempat tidurnya dan bergelung dengan selimut tebal. Gemeletuk gigi yang terdengar mengisyaratkan bahwa laki-laki itu sedang merasakan demam hingga refleks tangan kiri Subuh memegang kening Rabani dan dia memutuskan segera mengajak calon mertuanya ke rumah sakit.

"Tidak, Ayah. Alul tidak ingin Ayah sakit seperti ini, kita harus mencari obat. Alul janji akan menemukan Mara. Ayah jangan berputus asa." Tanpa menunggu persetujuan Rabani, Subuh segera berkemas dan membawanya ke rumah sakit terdekat.

фф

Sementara itu Asmara sudah mulai bekerja sebagai baby sitter di sebuah keluarga yang sangat disibukkan dengan pekerjaan mereka di luar rumah sehingga sang anak merasa kesepian sendirian di rumah. Berulang kali berulah hingga membuat pengasuhnya tidak kerasan sehingga dia akan mendapatkan perhatian dari kedua orang tuanya.

Lulu, demikian keluarganya memanggil. Gadis kecil kelas dua SD itu terlihat sangat cerdas hanya saja wajahnya selalu terlihat murung dan lesu.

"Mbak, habis ini kita ke mall saja!" katanya ketus.

Asmara hanya bisa mengikuti perintah nona mudanya sambil mengirimkan pesan kepada mama anak asuhnya ini jika sang anak ingin berkeliling di mall dulu setelah pulang dari sekolah.

Satu minggu menjadi bagian di keluarga Lulu, sepertinya kata refleksi diri menjadi tema utama dalan setiap aktivitas yang melibatkan Asmara. Dia seolah berkaca pada kenyataan yang selalu mengingatkannya pada banyak kejadian dalam perjalanan hidupnya. Kasih sayang dan cinta keluarga adalah hal yang paling mencolok mata dalam mengiring pertumbuhan Lulu.

"Kita pulang yuk, kan sudah lama jalan-jalannya."

"Sebentar, Mbak. Aku ingin beli sesuatu." Lulu mengajak Asmara berbelok ke gerai mainan.

Asmara SubuhTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang