Chapter 08

778 244 24
                                    

🍬Manis dan pahit itu hanya tentang rasa, tapi bagaimana hati, semuanya tercermin melalui sikap dan terbaca dalam setiap ucapan.🍬

-- Happy Reading, Happy Fasting --
Marentin Niagara

Kehebohan pagi ini di Fakultas Pertanian bukan karena kedatangan Asmara dengan luka di tubuh bersamaan dengan dua kruk yang menyangga dua lengannya untuk berjalan. Namun, seluruh mata nyaris menatap laki-laki yang berdiri tegap berjalan di depan Asmara dan membawakan peralatan tempur miliknya.

Sementara Rengganis yang dengan setia berada di samping Asmara bersama Rubina terlihat beberapa kali membantu sahabatnya ketika kesulitan untuk naik ke lantai yang lebih atas.

"Mar, aku harus meletakkan peralatanmu ini di mana?" kata Subuh ketika mereka telah sampai di ruang administrasi.

"Sebentar, saya lihatkan dulu, Mas Ustaz, tempat ujian Mara di mana?" Rengganis segera berlalu semantara Asmara memperhatikan Subuh yang sedari tadi menebarkan senyum kepada teman-temannya yang sengaja atau tanpa sengaja menatap kepada mereka.

Perasaan tidak suka yang tiba-tiba muncul di hati Asmara dirasakan saat beberapa teman wanita Asmara yang justru lebih memilih menyapa Subuh dibandingkan menanyakan keadaannya.

"Bisa nggak sih, nggak usah tebar pesona di kampus?!" Asmara mengalihkan pandangannya ketika Subuh menatapnya setelah dia menyelesaikan kalimatnya.

Bukannya menjawab Subuh justru memilih duduk satu kursi panjang yang sama dengan tempat duduk Asmara meski berjarak.

"Ish, malah demen dia jadi selebritis dadakan di kampus ini." Asmara semakin sewot tanpa bersedia menatap Subuh sedikit pun.

Subuh masih setia dengan senyum yang tersungging manis di bibirnya sedari tadi.

"Peningkatan hormon cortisol itu yang pasti akan mengurangi hormon serotonin dengan cepat. Sehingga manusia lebih memilih untuk marah-marah dan lebih sensitif dibandingkan untuk memilih bahagia dan menikmati hari dengan penuh cinta."

Kalimat panjang yang berhasil mengembalikan pandangan Asmara kepada Subuh lagi.

"Aku tahu kamu stres menjelang sidang skripsi, tapi kalau yang kamu maksudkan tadi adalah aku—" Subuh tersenyum kepadanya yang akhirnya membuat Asmara jengah.

"Bukankah senyuman itu ibadah, Mara?" kata Subuh lirih.

"Tapi nggak harus ditebar ke semua orang, kan, Buh?" Asmara tetap tidak terima. Tetapi setelah dia menyadari sesuatu, seketika kedua tangannya refleks menutup mulut yang membuat senyum Subuh terlihat semakin lebar.

"Maksud kamu, senyumku harusnya hanya buat kamu begitu, Mar?" tebak Subuh yang membuat Mara seketika berdiri.

Antara malu dan geram, Asmara tidak bisa mengartikan bagaimana perasaannya saat itu. Beruntunglah Rengganis datang tepat waktu sehingga tidak ada kesempatan untuk Subuh meledek Asmara setelah mukanya berubah warna.

"Mar—" Muka Rengganis mendadak sendu.

"Kenapa, Gan? Kok mukamu berubah sedih begitu?" tanya Asmara.

"Iya, Mar. Harusnya kamu sidang di ruang sidang gedung ini lantai dua, tapi karena di gedung ini tidak ada elevator jadi aku nego minta Bu Yuli memindahkan ke lantai satu. Tapi ternyata ruangan yang kosong ada di gedung D ruangan 101." Rengganis menekuk mukanya. Dia tidak sampai hati jika melihat Asmara berjalan sejauh itu.

"Memangnya gedung D dari sini jauh, Mbak Gani?" tanya Subuh.

"Kalau untuk kondisi Asmara sekarang ya lumayan, Mas Azlul."

Asmara SubuhTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang