Puasa keempat masih aman?
.
.
.🍬Tiada keterlambatan untuk mengubah diri menjadi lebih baik.🍬
-- Happy Reading, Happy Fasting --
Marentin NiagaraBeberapa kali senyuman itu tercipta saat mematut dirinya di depan cermin. Rambut hitam legam itu tak lagi terlihat kala lembaran kain yang diberi nama jilbab menutup kepalanya. Wajah ayu milik Asmara semakin terlihat lembut di bawah temaram lampu kamarnya. Rabani yang sengaja diam sedari tadi padahal kedua matanya memperhatikan bagaimana putrinya mencoba memadupadankan pakaian dengan jilbab yang akan dia kenakan.
Entah ilham darimana yang bisa menembus hati batu Asmara dan membuatnya bersikap selembut salju ditengah gersangnya gurun yang tak sebatang pun tumbuh pepohonan untuk berteduh.
Rabani memilih menghindar ketika Asmara bersiap keluar dari kamarnya. Dia justru terlihat duduk sambil membaca beberapa buku tebal yang ada di pangkuannya. Seolah tidak memperhatikan perubahan penampilan putrinya saat Asmara meminta izin untuk berangkat ke masjid.
"Nanti buka puasa di masjid saya, Yah. Lumayan kan, untuk menghemat pengeluaran. Mujhid muzhid kata Ayah, tapi menurut Mara lebih cenderung ke arah kikir." Asmara tersenyum kecut menatap Rabani yang juga menatapnya di waktu yang sama.
"Asalamualaikum, Ayah," kata Asmara.
"Waalaikumsalam." Rabani menjawab sebelum bangkit dari duduknya.
Napasnya terhela sempurna. Tidak perlu memberitahukan kepada semua orang bahwa kita bisa melakukan. Sejatinya hal itulah yang selalu diajarkan Rabani kepada putrinya.
Trauma di masa lalu membuatnya sedikit mengekang keinginan putrinya. Andai saja dulu Rabani tidak melakukan itu, mungkin keluarganya sekarang masih utuh. Istrinya masih ada di sampingnya. Namun, lagi-lagi kalimat istigfar menjadi penjeda untuk tidak lagi menyesali takdir apa yang telah tertulis untuknya.
Tidak ada yang pantas untuk kamu ketahui tentang bagaimana cerita sesungguhnya mengapa mamamu meninggalkan kita, Mara. Biarlah kamu mengenal Ayah sebagai orang yang pelit dan kikir, padahal sebenarnya itu bukanlah keinginan Ayah. Ayah hanya tidak ingin kamu seperti mamamu. Hati Rabani kembali teriris mengingat semuanya.
Di tempat yang berbeda, halaman masjid kini mulai berdatangan jamaah-jamaah yang hendak menikmati buka puasa di masjid. Subuh juga sudah bersiap berjalan ke mimbar untuk memulai kultum menjelang berbuka puasa. Sementara mata Asmara tak mau berkedip saat langkah Subuh menjadi pusat perhatian seluruh orang yang ada di sana.
"MasyaAllah, jujur saya ingin mengambil Ustaz Azlul sebagai menantu, tapi bagaimana mungkin, kedua anak saya laki-laki." Suara Bu Rustam ini membuat ibu-ibu yang ada di sebelahnya tertawa lirih. Tapi mereka setuju pendapat dari Bu Rustam, Ustaz Azlul memang masuk dalam kategori menantu idaman ibu-ibu.
"Saya punya anak wanita, tapi apa mungkin Ustaz Azlul bersedia? Biasanya seorang ustaz pasti akan mendapatkan jodoh yang sepadan. Rasanya masih belum pantas kalau mengharapkan Ustaz Azlul menjadi menantu," kata Bu RT menimpali.
"Lalu menurut Bu RT siapa yang pantas? Asmara anaknya Pak Rabani?" sisip yang lainnya sambil tertawa lirih.
"Itu lebih tidak pantas lagi, Bu. Semua orang juga tahu kalau Mara itu anaknya guru agama tapi kelakuannya tidak ada pantas-pantasnya sebagai anak yang harusnya bisa menjadi panutan anak-anak yang lain," tambah Bu Khomsin.
"Benar, apalagi dia tidak mengenakan jilbab. Mana mungkin Ustaz Azlul melirik? Dan lagi kalau keluarga Ustaz Azlul tahu siapa mamanya, pasti mereka akan mundur teratur," kata Andrea. Tetangga dekat sekaligus teman mama Asmara ke mana-mana dulu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Asmara Subuh
Aktuelle LiteraturMenemani santap sahur selama Ramadhan, eh baru kepikir untuk buat cerita religi seperti ini...tanpa sinopsis, hanya menulis apa yang pernah terlihat oleh mata