MC 11

133 7 0
                                    

Dengan kecepatan penuh Kang Imron mengendarai mobilnya menuju pesantren Al Karomah. Hatinya masih tersayat karena perjodohan Ning Aira dan Sertu Adnan. Sudah sejak lama Kang Imron memang menaruh hati terhadap Ning Aira, putri kiainya. Namun, selama bertahun-tahun rasa itu hanya dipendamnya seorang diri, tanpa seorang pun yang mengetahui.

Kang Imron tidak pernah berharap bahwa perasaannya terhadap Ning Aira akan berbalas. Ia sadar diri hanya seorang abdi ndalem di pesantren milik abah pujaan hatinya. Kang Imron dan Ning Aira bagaikan bumi dan langit yang meski selalu bertemu tetapi sulit untuk bersatu. Kang Imron tidak pernah mempermasalahkan hal itu. Cukup menjadi sopir bagi pujaan hatinya saja ia sudah sangat bahagia. Paling tidak ia punya banyak waktu untuk bersama, mengobrol tentang banyak hal, diam-diam bisa menikmati cantik wajahnya, dan indah senyumannya.

Namun, sejak peristiwa kedatangan Adnan dan keluarganya ke pesantren untuk bertaaruf dengan Ning Aira, seketika membuat dunia Kang Imron porak poranda. Ia seakan tidak rela jika Ning Aira, sang pujaan hatinya harus bersanding dengan seorang tentara, abdi negara, yang menurutnya masih kurang ilmu agamanya. Ia akan lebih bahagia jika kekasihnya bersanding dengan seorang gus dari pesantren ternama. Namun, setelah melihat binar mata penuh bahagia dari pujaan hatinya terhadap calon suaminya itu saat di depan butik, kembali hati Kang Imron tersayat hebat. Mau tidak mau, ia harus mengikhlaskan semuanya. Seperti yang ia katakan bahwa lukanya akan sembuh seiring berjalan waktu.

💞💞💞💞

"Adek gugup, Mas."

"Santai aja, Sayang. Bismillah, insyaAllah semua akan berjalan dengan lancar, ya."

"Mas, emang seragam PSH (Pakaian Seragam Harian) Persit ini jilbabnya harus dimasukin, ya? Adek agak risih, nggak terbiasa soalnya."

"Iya, Sayang. Itu memang sudah ketentuan dari pusat, makanya kemarin Mas pilihin yang ukuran longgar biar Adek nyaman. Tapi nanti untuk seragam PSO (Pakaian Seragam Olahraga) Mas pilihin yang model syari kok."

Adnan dan Aira berjalan menyusuri koridor sebuah gedung di batalyon menuju kantor pasi pers.

"Ciee ... akhirnya pengajuan juga nih, ye ...! Gandeng dong tangannya, Bro! Ati-ati ilang tuh nanti bidadarinya," goda salah satu senior Adnan yang berpapasan di koridor.

Adnan dan Aira hanya tersenyum menangapinya.

"Udah, biarin aja, Sayang. Gak usah didengerin. Biasa, mereka sedang berusaha menjatuhkan mental kita. Aku belum berani menggandeng tanganmu karena kita belum mahram."

"Iya, Mas."

Keluar dari ruang pasi pers pun mereka berdua masih direcoki oleh candaan rekan-rekan Adnan.

"Wah ...wah ... akhirnya, Pak Bamin berhasil menentukan pilihannya, sudah yakin nih kayaknya," celetuk salah satu letingnya.

"Lho, perasaan kemarin yang nyamperin ke sini bukan cewek ini deh. Kok, sekarang ganti lagi, udah insaf  nih, Bro?" sahut yang lain.

"Kayaknya batalyon kita udah gak punya playboy lagi nih, karena si playboy kelas kakap sudah pengajuan nikah," seru yang lain lagi.

"Hehehe." Tawa mereka pecah bersamaan.

Sertu Adnan dan Ning Aira berjalan menyusuri koridor ttanpa menghiraukan candaan mereka.

"Izin, Pak Bamin, selamat siang!" sapa Prada Al Ghifari saat berpapasan dengan Sertu Adnan, atasannya di staf administrasi kompi.

"Selamat siang, Ghi," balas Sertu Adnan.

Prada Al Ghifari menoleh ke arah perempuan di samping Sertu Adnan. "MasyaAllah, lho, bukannya ini, Mbak Aira?!"

Muhasabah CintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang