Chacha mendatangi batalyon tempat Adnan bertugas. Ia menemui petugas yang sedang berjaga di satri batalyon lalu menyerahkan sepucuk surat dalam amplop berwarna coklat. Amplop tersebut hanya bertuliskan nama penerima, tanpa nama dan alamat si pemgirim.
"Permisi, Om. Saya mau nitip surat ini untuk Pak Adnan Baihaqi," ucapnya.
Petugas jaga berseragam loreng yang dilengkapi senjata dengan pangkat pratu itu menerima surat dari tangan Chacha. "Tidak ada identitas pengirimnya, Mbak?"
"Iya, Om. Nanti Pak Adnan sudah langsung tau kok," jawab Chacha.
"Baiklah, nanti saya sampaikan ke Pak Adnan, Mbak."
"Terima kasih, Om." Chacha segera berlalu meninggalkan batalyon.
Setelah menjalani perawatan di rumah sakit Bandung beberapa waktu lalu, Chacha memutuskan untuk kembali ke Surabaya, kampung halamannya dan resign dari perkerjaannya sebagai perawat di rumah sakit.
Kanker otak yang bersarang di kepalanya kian hari kian bertambah parah. Dokter memvonis hidupnya tidak sampai satu tahun lagi. Ia ingin benar-benar menikmati sisa umurnya dan merasakan menjadi wanita seutuhnya dengan membiarkan janin yang ada di rahimnya tumbuh dengan sehat. Sempat ia menuruti saran Mega, sahabatnya, untuk menggugurkan kandungannya. Namun, usahanya selalu saja gagal. Akhirnya ia memutuskan untuk melahirkan janin tersebut meski dengan risiko yang begitu berat. Chacha kembali ke Surabaya dan menempati rumah peninggalan almarhum kedua orang tuanya. Harta peninggalan mereka ia gunakan untuk menikmati sisa hidupnya yang tidak genap satu tahun itu.
💞💞💞💞
"Permisi, Bu. Izin, ini ada titipan surat untuk Pak Adnan." Seorang tentara berseragam loreng dengan pangkat prada "menyerahkan sepucuk surat beramplop coklat kepada Aira di rumahnya.
"Surat dari mana, ya, Om?"
"Izin, Ibu. Saya juga kurang tahu karena di situ tidak tertera identitas pengirimnya."
Aira membolak-balikkan amplop coklat yang kini dipegangnya. "Baiklah, nanti saya sampaikan ke suami saya. Terima kasih, ya, Om."
"Siap, Ibu, sama-sama."
Aira membuka amplop coklat yang kini ada di tangannya. Sebelumnya ia telah meminta izin kepada suaminya yang sedang bertugas di luar kota terlebih dahulu.
"Surat dari mana sih ini, kok tumben gak ada identitas pengirimnya," kata Aira.
Perlahan ia membuka dan membaca surat yang dikirim oleh Chacha tersebut.
Dengan berurai air mata, Aira mengejak kata demi kata yang tertulis di sana. Ia bahkan sempat mengulang beberapa kali untuk memastikan bahwa ia tidak salah baca. Tangannya bergetar hebat, dadanya kian terasa sesak. Aira terduduk lemas di sofa warna mocca ruang tamunya. Kakinya kini seolah tidak sedang menginjak planet bumi lagi. Butiran air mata kian deras mengalir dari kedua netranya.Aira terus saja mengelus dadanya yang semakin terasa sesak. "Astaghfirullahalzim."
"Apa yang kamu lakukan, Mas? Kenapa kamu tega menyakitiku seperti ini?" ujar Aira dengan berurai air mata.Aira lalu mengambil air wudu dan melaksanalan salat sunah dua rakaat demi menenangkan hatinya yang sedang gundah. Ia curahkan segala perasaannya kepasa Rabb-nya. Aira bersimpuh di atas sajadah, memohon ampun atas segala dosa yang telah ia lakukan.
Untaian doa ia rapal untuk keselamatan, keberkahan, dan kebahagiaan keluarga kecilnya. Rasa kecewa terhadap suaminya membuat kepercayaannya mulai sirna. Namun, ia tidak bisa menghakimi suaminya begitu saja tanpa mendengar langsung pengakuan darinya.
"Mas, kapan Mas pulang? Ada hal penting yang ingin Adek bicarakan." Aira mengirim pesan kepada suaminya.
"Tiga hari lagi, Mas pulang, Sayang. Hal penting apa yang ingin Adek bicarakan, kenapa nggak bicara di telepon aja?"
"Enggak bisa, Mas. Hal ini harus dibicarakan langsung, nggak bisa lewat telepon."
"Ya udah, sabar, ya. Tunggu, Mas pulang," tulis suaminya.
Aira tidak sanggup jika harus ngobrol di telepon dengan suaminya, apalagi video call. Saat ini kondisinya sedang benar-benar terpuruk, maka ia cukup hanya mengirimkan pesan saja. Beruntung saat ini suaminya juga sedang sibuk, tidak bisa berbicara di telepon.
💞💞💞💞
Aira menghambur ke pelukan Anisa dengan air mata yang berderai.
"Kamu kenapa, Ra?"
Bukan jawaban yang Anisa terima melainkan tangis kepiluan yang tiada hentinya dari Aira, sahabatnya.
"Menangislah, luapkan semua emosimu. Lalu berceritalah apa masalahmu, aku siap menjadi pendengar setiamu dan penampung keluh kesahmu." Anisa mengelus lembut kepala Aira.
Setelah tenang, Aira lalu mengulurkan surat dengan amplop coklat yang kini ia ketahui pengirimnya bernama Chacha. Perempuan yang saat ini telah mengandung benih dari Adnan, suaminya."Ya Allah. Ini beneran, Ra? Kamu udah kroscek belum kebenarannya, takutnya ini hoax dan sekadar ancaman lho."
Kata-kata Anisa sempat membuat Aira berpikir. Bisa jadi yang dibilang Anisa adalah benar, secara Adnan, suaminya adalah mantan playboy kelas kakap. Seluruh penghuni batalyon bahkan sudah mengetahuinya.
"Trus, menurutmu aku harus gimana, Nis?" tanya Aira lemah.
"Kita temui perempuan itu. Kamu harus kuat, Aira. Aku akan temenin kamu. Buar kuhubungi si Chacha itu dan aku akan berpur-pura sebagai Mas Adnan. Ayo, kita cari tau dulu kebenarannya sebelum kamu mendengar langsung pengakuan dari Mas Adnan!" desak Anisa.
"Entahlah, Nis. Aku manut kamu ae lah." Bulir bening dari mata indah Aira berderai lagi.
💞💞💞💞
Seorang perempuan duduk sendirian di sebuah cafe yang cukup ramai oleh pengunjung. Tampak ia sedang menunggu seseorang. Segelas jus alpukat telah dihidangkan oleh pelayan cafe ke mejanya, ia lalu menyeruputnya pelan sambil mengedarkan pandangan ke seluruh sudut cafe, mencari sosok yang tengah ditunggu.
"Mas Adnan ke mana sih, lama banget!" desahnya.
Ia rogoh ponsel dari dalam tas tangan berwarna merah marun yang tergeletak di atas meja. Digesernya layar benda pipih itu demi menemukan kontak Mas Adnan yang baru saja menghubunginya siang tadi dan mengajaknya untuk bertemu di cafe ini. Beberapa kali panggilan yang dilakukannya tak kunjung mendapat jawaban.
"Mungkin, Mas Adnan masih di perjalanan," ujarnya.
Mobil yang dikendarai Anisa telah memasuki area cafe tempat mereka akan bertemu dengan Chacha. Dada Aira bergemuruh hebat saat hendak menapakkan kaki di cafe tersebut. Pikirannya dipenuhi dengan hal-hal buruk yang akan terjadi. Ia khawatir tidak mampu menghadapi semua ini.
"Nis, aku takut," ucapnya.
"Ning Aira Medina, sahabatku, sejak kapan kamu takut kepada selain penciptamu? Ini bukan Ning Aira yang aku kenal."
Air matanya kembali menetes.
"Tahan dulu air matamu, Ra. Jangan khawatir, ada aku di sampingmu."
"Duh, Mas Adnan lama sekali sih!" keluh Chacha sambil memegangi kepalanya yang mulai terasa sakit lagi. Ia ingat pesan dokter bahwa pikirannya tidak dipenuhi oleh rasa kekhawatiran, pikirannya harus selalu bahagia, tanpa beban.
"Assalamualaikum, Mbak Chacha, ya?" Aira memberanikan diri untuk menyapanya di meja cafe.
Chacha menoleh ke arah sumber suara. Ia mengernyitkan dahi memandang perempuan anggun dengan balutan hijab dan outfit yang match. "Iya benar, maaf, Mbak siapa?"
"Kenalin, aku Aira, istri Mas Adnan." Aira mengulurkan tangannya sebagai tanda perkenalan. Meski sebenarnya hatinya kini sedang hancur berkeping-keping.
Chacha membulatkan matanya memandang Aira.
"Brukk ...!"
Chacha tiba-tiba jatuh pingsan karena rasa sakit di kepalanya yang kian meradang.
Terima kasih sudag baca ceritaku 🥰🥰🥰
KAMU SEDANG MEMBACA
Muhasabah Cinta
RomanceAira Medina, seorang putri dari kiai yang cukup ternama di desanya. Ia lebih memilih aktif di dunia bisnis dengan membuka sebuah butik baju muslim daripada mengurus pondok milik keluarganya. Ning Aira, desainer muda yang cantik dan ramah harus legow...