MC 17

132 6 0
                                    

"Prang ...!"

Rima berlari tergesa-gesa menuju sumber suara. "Ya Allah, Bu, kenapa?"

"Nggak tau nih, Rim. Tiba-tiba gelasnya pecah gitu aja."

"Ibu kecapaian kayaknya, istirahat dulu deh, Bu. Biar Rima aja yang bersihin pecahan gelasnya."

Rima mengambil sapu dan serok di sudut dapur untuk membersihan pecahan gelas.

"Aww ... sakit!" keluh Aira.

"Ya Allah, Bu. Tangan Ibu berdarah kan akibat pecahan gelasnya. Sudh biar Rima aja yang bersihin."

"Minta tolong, ya, Rim."

"Siap, Bu!"

Aira mengobati luka di tangannya akibat pecahan gelas saat ia bermaksud memunguti pecahan gelas tersebut. Perasaan Aira tak keruan, seolah ada sesuatu yang mengganjal dalam hatinya, tetapi entah apa.

"Kok tiba-tina perasaanku nggak enak gini, ya. Tumben Mas Adnan nggak kasih kabar, apa dia belum mendapatkan IB sehingga ponselnya masih dikumpulkan dan belum dibagi?" kata Aira.

Ia merogoh ponsel dari dalam saku gamisnya dan menekan tombol hijau, menelepon suaminya. Namun, hasilnya nihil. Ponsel Adnan tidak aktif.

"Mungkin minggu ini memang Mas Adnan belum mendapatkan IB," lirihnya.

Aira malam itu memang sedang menginap di butiknya dengan ditemani Rima, asistennya. Mereka sedang lembur mengerjakan pesanan baju yang akan segera diambil oleh pelanggan. Tentunya, Aira sebelumnya telah mengantongi izin dari ibu komandannya untuk bisa bermalam di luar asrama.

Di batalyonnya, weekend ini juga sedang ada IB . Jadi, Aira bisa lebih mudah mendapatkan izin dari ibu komandannya.

"Ibu sepertinya kelelahan, istirahat saja, Bu. Biar saya yang melanjutkan mengerjakan payet gaunnya," kata Rima.

"Perasaanku nggak enak, Rim. Ya Allah, semoga Mas Adnan dan orang-orang yang aku sayang, baik-baik saja semuanya."

"Aamiin, Bu."

💞💞💞💞

"Astaghfirullahalazim. Apa yang aku lakukan dengan Chacha. Ya Allah, ampuni hambamu ini. Duh, Gusti. Aira, istriku, maafin, Mas, Sayang."

Adnan menyesali perbuatannya setelah ia tersadar dari buaian asmara bersama mantan kekasihnya.

"Mas, udah mau pergi?" Chacha mulai membuka matanya dengan senyum semringah.

"Dek, maafin, Mas," ucap Adnan dengan raut muka penuh penyesalan.

Chacha tersenyum memandang Adnan. "Iya, Mas, nggak apa-apa. Bukan semata salah Mas kok, karena Adek juga mau."

"Harusnya ini nggak sampai terjadi, Dek. Maaf."

"Kita sama-sama dewasa dan normal, Mas. Wajar hal ini terjadi begitu saja, kita berdua terlena dengan suasana."

"Masalahnya ... a-ku udah beristri, aku udah nikah, Dek."

"Apa?!"

Bulir bening meluncur begitu saja dari kedua sudut mata Chacha. Hatinya seakan terkoyak mendengar pengakuan Adnan, orang yang begitu dicintainya.

"Mas jahat! Kenapa Mas gak bilang kalo Mas udah menikah. Harusnya aku nggak membiarkan Mas tinggal, harusnya aku menyuruh Mas langsung pergi setelah mengantarku. Mas jahat!" umpat Chacha.

"Maafin, Mas, Dek." Adnan mengacak kasar rambut cepaknya.

"Pergi dari sini, Mas! Aku nggak mau ketemu kamu lagi, pergi!"

Muhasabah CintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang