Bayangan Aira masih saja selalu mengganggu pikiran Adnan hingga sulit untuk dimusnahkan. Jarang ia merasakan hal seperti ini terhadap perempuan. Pernah dulu, sekali, saat masih bersama mantannya, Chacha.
Adnan dan Chacha memang sempat berpacaran lama, namun di tengah jalan, Adnan mulai bosan dengan hubungannya, dan ia memutuskan Chacha secara sepihak tanpa alasan yang jelas. Sering Adnan merasa bersalah terhadap Chacha atas sikapnya, ingin ia meminta maaf tetapi tidak tahu harus menghubunginya atau mencarinya ke mana.
Setelah Chacha disakiti, sempat ia meminta balikan dengan Adnan, namun Adnan menolaknya. Sejak saat itu keberadaan Chacha tak lagi diketahuinya, nomor telepon dan semua media sosialnya juga tidak aktif lagi.
Setelah kehilangan Chacha, Adnan semakin berulah dengan gonta-ganti perempuan. Mulai dari Sonia, Laila, Andrea, dan masih ada beberapa lagi deretan nama perempuan lainnya yang bahkan Adnan saja kadang lupa dengan nama mereka masing-masing.Kini, bertemu dengan Aira seakan memberi aura yang berbeda. Ada sekelumit perasaan yang sulit dicerna, antara kagum, penasaran, dan entahlah. Kembali Adnan teringat percakapan dengan ibunya semalam tentang rencana perjodohannya. Perempuan itu bernama Medina. Dan itu artinya Adnan harus menyudahi rasa penasaran terhadap Aira.
"Le, ayo temenin Ibu belanja untuk oleh-oleh keluarga kiai Rohman."
"Kapan kita ke sana, Bu?"
"Besok, habis magrib."
"Kita berdua saja?"
"Ora, Le. Besok paman dan bibimu juga ikut serta. Pamanmu itu kan juga sahabatnya Gus Ahmad, jadi sekalian sowan."
"Bu, mohon maaf, misalkan besok ternyata Adnan kurang sreg dengan Ning Medina, apa perjodohan ini akan tetap berlanjut. Belum tentu juga Ning Medina juga mau sama Adnan. Siapa tahu Ning Medina punya calon sendiri."
"Wes, ojo kakehan mikir sing aneh-aneh. Kita tunggu saja keputusan Kiai Rohman besok. Umpama perjodohan ini tidak diteruskan pun, hubungan keluarga kita dengan keluarga Kiai Rohman akan tetap baik."
"Iya, Bu. Oh, iya, Adnan kemarin belikan Ibu gamis baru." Adnan mengeluarkan gamis warna maroon dari dalam paper bag butik Aira.
"Suka nggak, Bu?"
Ibu mengamati dan memegang gamis maroon itu. "Wah, bagus banget ini gamisnya, Le. Beli di mana kamu, pasti mahal, ya?"
"Alhamdulillah kalau Ibu suka. Besok dipakai nggih, Bu."
"Jelas Ibu besok pakai gamis ini. Terima kasih, ya, Le."
"Sama-sama, Bu."
💞💞💞💞
Aira dan Anisa sedang berkutat di dapur dengan dibantu Ummiknya. Mbak-mbak ndalem hanya bertugas belanja saja tadi pagi setelah subuh. Ummik sengaja tidak melibatkan Mbak-mbak ndalem kali ini di perdapuran karena ingin membiasakan Aira betah di dapur. Sejak dulu Aira memang agak malas kalau sudah berurusan dengan dapur. Bukan tidak bisa memasak, tetapi dia memang tidak suka berlama-lama di dapur. Kalaupun harus masak, ia pasti memilih menu yang simpel dan cepat.
Lain halnya dengan Anisa. Selama tinggal di butik, Anisa lah yang menghandle menu makanan setiap harinya. Ia jago meracik bahan-bahan makanan dan betah berkutat dengan bumbu-bumbu di dapur.
"Kita mau masak nih, Mik?" tanya Anisa.
"Mbak Anisa bisa bikin gurame bakar kan?"
"Bisa banget dong, Mik," jawab Anisa mantap.
Dengan lincah Anisa membersihkan gurame lalu meracik bumbunya. Tak butuh waktu lama, gurame bakar yang menggugah selera bikinan Anisa telah siap. Kemudian disusul dengan mengolah menu-menu lainnya."MasyaAllah, ternyata Mbak Anisa pinter masak, ya, enak lagi ini masakannya," puji Ummik.
"Terima kasih, Ummik. Alhamdulillah jika masakan saya juga cocok di lidah Ummik."
"Iya, bener enak ini rasanya. Nduk, mumpung kamu masih tinggal bareng Mbak Anisa, sekalian belajar masak, biar besok kalau sudah menikah udah pinter masak."
"Nggih, Mik."
💞💞💞💞
Mobil jenis Toyota melaju keluar dari pelataran rumah Ibu dengan dikendarai oleh Adnan. Mereka hendak menuju kediaman kiai Rohman. Beberapa bingkisan telah Ibu siapkan sebagai oleh-oleh.
"Bismillah, semoga silaturrahmi kita diridhoi oleh Allah swt," doa Ibu yang kemudian diaamiinkan oleh yang lain.
Dengan menempuh perjalanan setengah jam saja mobil yang mereka tumpangi telah memasuki area pesantren Al Karomah.
Abah, Ummik, Gus Ahmad beserta istrinya menyambut kedatangan mereka dengan penuh sukacita. Sementara Aira masih disuruh Abah menunggu di dalam dengan ditemani Anisa."Bu, kok saya jadi deg-degan gini, ya," ucap Adnan.
"Tenang, Le, nggak usah gugup."
Rombongan keluarga Adnan turun dari mobil dan berjalan menuju kediaman.
"Mbakyu, gamisnya njenengan kok ya matching sama gamis yang dipakai Ummik. Warnanya sama, modelnya pun senada," ucap Bibi Adnan kepada ibunya.
"Iya e, Dek. Padahal nggak janjian. Ini juga gamis baru dibelikan Adnan kemarin."
"Pertanda bagus kayaknya, Mbakyu."
Ucapan salam mengalun bersama dari rombongan keluarga Adnan. Senyum kedua keluarga tersenyum merekah bahagia. Adnan lalu mencium takzim tangan Abah dan Ummik, juga Gus Ahmad.
"Ini si Adnan Baihaqi?" tanya Abah.
"Njih, Bah, saya."
Abah menepuk pundak Adnan. "Wes gede kowe, Le. Ganteng, gagah lagi. Dinas di mana kowe?"
"Di Surabaya, Bah."
"Lho, sudah pindah Surabaya ta? Katanya dulu di Makassar?"
"Njih, Bah. Sudah dua tahun di Surabaya."
"Alhamdulillah. Ayo, mari silakan masuk."
Mereka lalu memasuki sebuah ruang tamu yang cukup luas dan mewah. Obrolan demi obrolan masih terus berlanjut.
Paman dan Bibi Adnan asyik temu kangen dengan Gus Ahmad selaku sahabatnya. Ummik pun terlibat obrolan yang cukup seru dengan calon besannya. Sedangkan Abah masih terus mengajukan pertanyaan kepada Adnan, entah hal apa saja yang Abah tanyakan.
"Lha kok ini tadi gamis kita kayak seragaman ya, Mbakyu. Sama-sama warna maroon dan modelnya pun mirip," ucap Ummik kepada Ibu Adnan.
"Nggih, Mik. Saya juga sempat kaget tadi, padahal kita nggak janjian. Lha wong gamis ini juga dibelikan Adnan kemarin pas dia pulang."
Oh, ya? Gamis dan kokonya Abah itu juga dari si Nduk, hasil desainnya sendiri."
Mbak-mbak ndalem mengantar minuman dan makanan kecil ke ruang tamu, lalu mempersilakan para tamu untuk menikmatinya.
Sedari tadi pandangan Adnan berkeliling ke seluruh ruang tamu yang berukuran 6x7 meter itu, demi mencari sosok yang bernama Ning Medina.
Seakan tahu isi hati Adnan, Abah lalu meminta Ummik untuk memangil putrinya keluar.
"Mik, tolong panggil si Nduk keluar biar bisa kenalan dengan Adnan dan keluarganya.
Setelah itu kita langsung makam malam.""Njih, Bah."
Jantung Adnan semakin berdegup kencang menanti Ning Medina. Begitu juga dengab Aira, ia bahkan sampai keluar keringat dingin saking gugupnya. Ia menggenggam erat tangan Ummiknya, sementara Anisa juga selalu berada di sampingnya.
"Nis, perutku mules," keluh Aira.
"Ih, kebiasaan deh kamu, Ra. Itu karena efek gugup, makanya tenang aja, Sayang."
Aira, Anisa, dan Ummikny kini tengah berdiri dk ambang pintu antara ruang dan ruang tengah. Kakinya tiba-tiba mematung tak mampu digerakkan sedikit pun. Pandangan matanya tertuju pada satu sosok yang selalu hadir mengganggu pikirannya beberapa waktu lalu. Kini, degup jantungnya berdetak sepuluh kali lebih cepat.
Mereka yang bertemu, kok aku yang deg-degan ya 🤭🤭🤭
KAMU SEDANG MEMBACA
Muhasabah Cinta
RomanceAira Medina, seorang putri dari kiai yang cukup ternama di desanya. Ia lebih memilih aktif di dunia bisnis dengan membuka sebuah butik baju muslim daripada mengurus pondok milik keluarganya. Ning Aira, desainer muda yang cantik dan ramah harus legow...